Oke, this post will be a little
bit serious. And long.
Hari ini berita, baik online
maupun tidak, dan media social
ramai membicarakan
soal dilarangnya Gojek, Uber Taxi, Grabike dan sejenisnya oleh Kemenhub untuk beroperasi karena
dinilai tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai angkutan
umum orang. Saya, tentunya, sewot. Kenapa?
Kenapa Saya Memilik Ojek Online
Saya pengguna Gojek rutin, kalau
kata “setia” terlalu lebay. Setiap weekdays, saya pakai Gojek dari Stasiun
Kebayoran sampai kantor di area SCBD. Di awal ini, saya mau cerita dulu kenapa
akhirnya saya memilih memakai jasa Gojek. Saya seorang komuter karena tinggal
di daerah Tangerang Selatan tapi bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan.
Dalam seminggu, lima hari saya travelling Tangsel-Jaksel, yang jarak normalnya
sekitar 22 km. Untuk transportasi PP rumah-kantor, saya memilih menggunakan
commuter line/KRL dari Stasiun Sudimara.
Menggunakan kendaraan pribadi atau umum selain KRL dari rumah bagi saya tidak
masuk akal. Jalanan macet, terutama di sepanjang jalan dari Pasar Ciputat
sampai perempatan Lebak Bulus, tol non-JORR Bintaro pun sama. Saya harus berangkat
jam setengah 6 kalau mau sampai jam 7 lewat sedikit atau setengah 8 di kantor.
Wasting time. Dengan KRL, saya berangkat dari rumah jam 6.15, naik KRL jam 6.30. Jam 06.50 saya sudah
sampai di Stasiun Kebayoran dan dengan Gojek, jam 7.15 saya sudah duduk manis
di kantor. Satu jam saja waktu yang dibutuhkan. Gojek menawarkan saya biaya
perjalanan Rp15.000. Ojek konvensional? Rp30.000. Dua kali lipatnya.
Sebetulnya saya bisa saja terus
naik KRL sampai Stasiun Tanah Abang, transit dan berganti KRL Bogor dan turun
lagi di Stasiun Sudirman, kemudian naik Kopaja 19 jurusan Blok M, turun di
halte Polda dan melanjutkan jalan kaki ke kantor. Sampai kantor jam berapa?
7.45. Lama dan capek. Belum lagi Kopaja yang supirnya menyetir ugal-ugalan,
kondisi kendaraan yang jelek dan ancaman copet. Oh, ditambah lagi rekayasa
halte yang aneh di Stasiun Sudirman. Seringkali polisi dan Dishub galau. Kadang
kita boleh nunggu bis tepat di depan stasiun tapi sering juga diusir sampai
depan Wisma Indocement. Sesuka mereka aja. Padahal menurut saya, lebih efektif
halte tepat di depan Stasiun Sudirman, jalanan lebih lebar dan calon penumpang dan
angkutan umum gak akan berhamburan di jalan dan mengganggu arus lalu lintas
dari Jl. Jend. Sudirman menuju Landmark. Gimana dengan naik taksi dari Stasiun
Sudirman? Wew, selain lebih mahal, nyampe kantor juga sama lamanya. Gak
efektif. Jadi, turun di Stasiun Kebayoran dan menggunakan jasa ojek online
adalah pilihan terbaik yang saya punya, dengan kemampuan ekonomi saya dan
kebutuhan saya untuk sampai kantor lebih pagi.
Untuk layanan Uber Taxi, saya
agak jarang menggunakannya, tapi bisa saya simpulkan memang layanan ini jauh
lebih ekonomis dibanding taksi biasa dan armada yang memiliki kapasitas angkut
lebih besar menjadikan Uber Taxi pilihan enak untuk bepergian ramai-ramai. Apalagi
pembayaran cashless, sepanjang masih ada sisa limit kartu kredit, bisa pakai
Uber Taxi.
Ojek Online v. Ojek Konvensional
Selama 3 bulan rutin menggunakan
jasa Gojek, saya hanya sekali mendapatkan pengemudi yang rese. Saya komplain
via kolom rating dan comment yang disediakan dan setelahnya saya sama sekali
tidak pernah menemukan pengemudi yang rese lagi. Sejauh ini perjalan saya juga
berlangsung sangat aman dengan cara berkendara dan kelengkapan kendaraan yang sesuai
dengan peraturan. Berbeda dengan ojek konvensional. Saya beberapa kali harus
menggunakan jasa ojek konvensional hanya karena masalah kepraktisan, yaitu
ketika pulang kerja, sampai di Stasiun Sudimara dan akan menuju ke rumah. Ojek
konvensional sudah berjejer rapi di depan stasiun, tinggal tunjuk dan jalan. Tidak
perlu buka aplikasi. Sungguh, hanya itu kelebihannya. Ojek konvensional, selain
sering menembak harga seenak jidat, seringkali tidak memiliki kelengkapan
kendaraan yang seharusnya. Tidak jarang saya mendapatkan tukang ojek yang
ternyata nggak punya kaca spion, suara knalpot yang berisik atau posisi jok
yang dimodifikasi sehingga sangat tidak nyaman untuk diduduki. Pengemudinya juga
sering ugal-ugalan, kadang anak-anak muda yang mungkin uangnya hanya buat
mabok-mabokan atau minimal beli rokok. Dan tidak ada fasilitas helm. Boro-boro,
kadang pengemudinya pun tidak pakai helm. Sungguh meresahkan dan tidak nyaman.
Salah saya, kalau saya memilih
ojek online? Saya konsumen dan punyak hak-hak yang dilindungi undang-undang. Saya
bebas memilih produk barang dan jasa yang saya butuhkan dan sukai.
About the Law
Kebetulan saya pernah sekolah
hukum. Dan karena Kementerian Perhubungan mengungkit soal “tidak sesuai dengan
peraturan” maka saya mencoba melihat ke peraturan perundang-undangan mengenai
angkutan umum, lebih spesifik mengenai kemungkinan adanya celah dalam peraturan
untuk modifikasi bisnis angkutan umum menjadi berbasis daring/online.
Dalam UU LAJ No. 22/2009 dan PP
Angkutan Jalan No. 74/2014, mobil dapat menjadi angkutan umum non trayek (kalau
trayek contohnya Kopaja 19 dengan trayek Blok M-Tanah Abang, di luar trayek tsb
dilarang mengangkut penumpang) dengan beberapa pilihan yaitu sebagai taksi,
angkutan dengan tujuan tertentu, keperluan pariwisata dan angkutan untuk
kawasan tertentu (misal di kawasan industri atau bandara). Yap, UU dan PP
spesifik menyebutkan “taksi” sebagai satu-satunya angkutan umum non trayek yang
fleksibel (yang lain kan dibatasi fungsi, wilayah dan tujuan). Taksi boleh
seliweran kemana-mana, sepertinya batasannya hanya jarak karena saya pernah
naik taksi dari Karawaci ke Cilegon (kawasan plat B ke kawasan plat A). Dan taksi
beroda empat (lihat Pasal 42 (3) PP 74/2014, disitu taksi dikatakan meliputi mobil sedan dengan 3 ruang dan non
sedan dengan 2 ruang). Tidak ada ruang untuk kendaraan bermotor roda dua
sebagai angkutan umum non trayek di Indonesia. Namun, bagi Uber Taxi, masih ada
celah. Apalagi Uber mengklaim dirinya sebagai perantara/broker antara pemilik
kendaraan dengan calon konsumen.
Angkutan Umum Roda 4 Non Taksi?
Saya mau bahas Uber dulu, yang
rodanya empat. Hehehe. Sebelumnya, saya kasih tau definisi Kendaraan Bermotor Umum.
Dalam PP 74/2014 Pasal 1 (5),
definisi Kendaraan Bermotor Umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan
untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Please emphasize
on last phrase: “dipungut bayaran”.
Uber, hanya menerima pemilik kendaraan roda
empat untuk dipasarkan via aplikasinya ke calon konsumen jasa. Uber sama sekali
bukan taksi karena tidak pakai argo dan tentunya tidak punya izin taksi. Dalam rantai
hubungan produsen dan konsumen, Uber adalah broker. Dia membuat aplikasi,
membuka pendaftaran bagi produsen jasa angkut mobil untuk dipasarkan ke calon
konsumen jasa. Persis pasar dalam arti sebenarnya. Bayangkan Uber adalah Pasar
Modern BSD, para pemilik kendaraan adalah tenant
dan calon konsumen masuk ke pasar untuk milih akan belanja ke tenant yang mana. Dengan kegiatan
seperti ini, Uber jelas tidak butuh izin sebagai penyelenggara angkutan umum
orang. Kalaupun ada pihak yang memerlukan izin penyelenggaran angkutan umum
orang, maka pihak itu adalah si pemilik mobil. Apa salahnya Uber? Secara filosofis,
bisnisnya dia biasa aja. Cuma beda media dan barang yang dijual. Sama aja kayak
Bukalapak.com. Pasar juga. Kaskus? Sama. Mungkin Uber mirip banget sama FJB
Kaskus dengan rekber (Rekening Bersama). Beda barang jualan.
Uber mungkin bakal kesandung masalah harga. Uber
mempunyai harga standar, yang ditawarkan sama kepada seluruh calon konsumen
walaupun pemilik mobilnya beda. Kesepakatan harga mungkin dibuat oleh Uber agar
tidak perlu rempong bikin harga beda-beda antara pemilik kendaraan satu dengan
yang lain. Ini bisa jadi problem karena secara umum, sebuah “pasar” tidak
menentukan harga yang boleh ditawarkan penjual/tenant ke calon pembeli. Si pengelola pasar hanya berhak atas uang
sewa (dalam hal Uber, fee). Untuk harga seharusnya murni kesepakatan antara pemilik
kendaraan dan calon konsumen.
Tapi tetep, saya maunya fair. Kalau memang Uber
dipersalahkan karena menggunakan mobil yang bukan merupakan angkutan umum
orang, gimana dengan “omprengan” yang kerap mengangkut pekerja dari daerah
Bodetabek ke pusat Jakarta? Omprengan ini biasanya untuk rute-rute Cibubur,
Bekasi Timur, Bogor. Banyak lho, teman-teman saya yang pakai jasa omprengan
ini. Kalau dibandingkan dengan mobil-mobil yang ditawarkan via Uber, mereka
sama: sama-sama bukan taksi, bukan mobil pariwisata tapi ngangkut orang dan
memungut bayaran. Platnya juga nggak kuning. Dan biasanya dioperasikan orang
perorang. Kalau mau bicara menegakkan
aturan, omprengan gini juga seharusnya kena. Yakan?
Oh, apa Kemenhub udah tahu soal Nebengers.com?
Bisa makin ruwet mereka. Di Nebengers, ditawarkan mobil dan motor, dengan
sistem nebeng. Tapi enggak selalu nebeng for free, pemilik kendaraan dibolehkan
meminta imbalan, misal dalam bentuk uang tol, patungan bensin. “Dipungut
bayaran”, juga kan walaupun kecil atau bentuknya tukar barang/barter?
I Stand for Ojek
(Online and Old-School)
Seperti sudah ditulis di atas, motor roda dua
tidak masuk kategori kendaraan umum angkutan orang non trayek. Ada kekosongan
hukum karena bukan dilarang, tapi tidak disebutkan. Sama halnya keberadaan
pembantu rumah tangga sebelum Permenakernya keluar, bukan dilarang tapi hanya
tidak disebutkan di aturan manapun. Bedanya, Kementerian Tenaga Kerja cukup
berbesar hati dan peka terhadap kebutuhan masyarakat. Alih-alih melarang
sesuatu yang “tidak ada hukumnya” Kemenaker berusaha mengakomodir sedemikian
rupa agar PRT bisa tetap bekerja secara legal, aman dan nyaman sehingga para
ibu tidak perlu pusing merasa kehilangan tenaga untuk membantu di rumah (kalau
Kemenaker meng”haram”kan PRT). Walaupun masih ada kekurangan, tapi penerbitan
permenaker PRT harus diapresiasi.
Bagaimana dengan ojek (online dan konvensional)
dan tanggapan Kemenhub?
Yang saya pelajari di bangku kuliah melalui sebuah
mata kuliah berjudul Teori Hukum Pembangunan, Prof. Mochtar Kusumaatmadja
mempunyai pendapat bahwa hukum harus dapat menjadi sarana pembaharuan bagi
masyarakat. Yang saya tangkap dari teori guru besar Fakultas Hukum Unpad
tersebut adalah: hukum harus “mengerti” kondisi masyarakat. Harus peka. Harus melihat
kebutuhan, keresahan dan keinginan masyarakat. Bahkan dikatakan, untuk
pembaharuan tersebut hukum harus menjadi panglima, artinya apa? Hukum harus
berada some steps ahead dari keadaan masyarakat pada saat itu. Berpikir ke
depan. Futuristik. Bukan ketinggalan di belakang, apalagi menolak mengakomodir
perubahan. Saya rasa UU ITE merupakan suatu produk hukum bisa jadi contoh hukum
yang mengakomodir perubahan.
Apalagi fenomena ojek sudah ada sejak lama. PP
74/2014 diterbikan di tahun 2014 tapi kenapa tidak peka terhadap fenomena ojek
konvensional? Kenapa saya tekankan disini ojek konvensional, karena Gojek,
Blu-Jek dll hanya berbeda dari sisi cara menjual jasa saja, tapi barangnya,
objeknya sama, yaitu kendaraan umum orang beroda dua. Saya kira, semua orang di
pemerintahan, terutama Kemenhub, tahu betul adanya ojek dan saya jamin 70%
pegawai Kemenhub pernah pakai jasa ojek. Apakah pada saat itu Kemenhub
mengirimkan surat ke Polri meminta penertiban ojek konvensional? Apakah itu
menjadikan pangkalan-pangkalan ojek konvesional sebagai target razia polisi
atau Satpol PP? Sebelum ada Gojek, Grabike dll, ojek konvensional bertebaran di
depan Stasiun Palmerah dan dijaga Polantas. Bukan diusir, tapi Polantas hanya
menjaga supaya ojek tidak terlalu mangkal ke tengah jalan. Tidak dilarang,
dirazia atau ditahan.
Andai saja Kemenhub bersedia menerima kenyataan
kalau ojek sudah sejak lama jadi angkutan umum dan mengakomodir melalui
peraturan perundang-undangan, urusan keabsahan usaha Gojek bisa sedikit terurai
dari yang semula riwet kayak benang kusut. Gojek bisa dikategorikan sebagai
perusahaan angkutan umum, misal. Yang penting, barangnya (ojek) dulu diatur.
Akhirnya, saya jadi menyimpulkan kalau Kemenhub
enggan mencoba mengakomodir perubahan masyarakat. Entah repot, entah tidak
sempat, atau… ada tekanan pengusaha atau organisasi pengusaha yang terancam
dengan perubahan pola transportasi umum masyarakat ini?
Saya dan pengguna jasa transportasi umum
lainnya, sudah cukup capek dengan pilihan transportasi umum yang terbatas,
padahal kebutuhan terhadapnya sangat tinggi. Bahkan bukan hanya terbatas, tapi
juga tidak aman. Metromini dan Kopaja yang ugal-ugalan, halte yang minim
fasilitas, terminal yang seram, KRL penuh sesak dengan keterlambatan jadwal
yang seolah jadi rutinitas, angkot yang lebih banyak ngetemnya, dan
ketidaknyamanan lain yang masih saja aja di usia Indonesia yang sudah 70 tahun
ini. Apa salahnya melegalkan alternatif transportasi umum lain selain yang
sudah ditetapkan dalam peraturan?
Oh iya, kabar sedikit melegakan datang dari teman saya yang wartawan. Katanya, sejauh ini Polri masih meninjau aspek kebutuhan masyarakat dan konflik ojek online dengan ojek konvensional, sebelum betul-betul menindak ojek online. So, mungkin para Pak Polisi kali ini betul-betul melakukan pengayoman terhadap masyarakat.
Regards,
Tita