Selasa, 04 Oktober 2011

Dua Keluarga Menjadi Satu

Hai.

Saya nggak punya pacar, sih. Tapi saya punya dua telinga untuk mendengar dan cukup intelegensia untuk mencerna masalah. Hal mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang ingin saya bahas kali ini timbul dari keheranan saya, bahwa ternyata masih banyak pasangan yang kurang mengerti kalau mereka adalah duta besar bagi pasangan masing-masing di dalam keluarga.

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa dua manusia bersama adalah dua manusia yang berbeda, baik fisik, materi maupun spiritual. Kenapa? Simpel. Karena dua manusia ini mengalami pengalaman yang berbeda, salah satunya: mengalami keluarga yang berbeda.

Bagi yang sudah sedemikian serius dengan kekasihnya dan hendak menikah, mungkin sangat akrab dengan pedoman adat Timur yang mengatakan bahwa dua individu menikah artinya adalah juga pernikahan dua keluarga. Kita, sebagai masyarakat Timur, masih menerima bahwa pernikahan bukan mengecilkan jumlah anggota keluarga, tetapi menambah. Menambah anak, orang tua, paman, bibi, sepupu, keponakan bahkan kakek. Akan menjadi satu keluarga besar yang baru.

Lalu, apa arti keluarga? Family stick together and accept each other fools. Ini yang susah. Accept. Alias menerima. Nrimo.

Bagi orangtua kita, dan kita, saling menerima mungkin akan mudah. Lah wong kita berhutang materi-spiritual kepada mereka. Tapi, bagaimana dengan menerima orangtua pasangan? Atau bagaimana dengan orangtua menerima pasangan anak? Saya tertarik membahas pertanyaan kedua. Bagaimana orangtua menerima pasangan si anak?

Jawabannya simpel. Orangtua menerima pasangan si anak melalui si anak itu sendiri. Bukan melalui jalur yang lain. Well, normalnya adalah seperti ini. Itulah mengapa, sebagai anak, yang tentunya juga mencintai pasangan dan ingin pasangan diterima di dalam keluarga, kita adalah ujung tombak diterima atau tidaknya pasangan di dalam keluarga.

Kenapa?

Pertama, kita adalah orang yang paling dekat dengan pasangan, di dalam keluarga. Tentu kitalah pihak yang paling mengenal si pasangan. Kedua, orang tua (atau keluarga lebih besarnya), menginginkan anak-anaknya bahagia dengan apapun miliknya, pekerjaan ataupun pasangan.

Bagaimana?

Kita adalah representasi terbesar pasangan dalam keluarga. Kalau keluarga tahu kita sering dibuat sedih oleh pasangan, maka ketebak sudah bagaimana imej pasangan di dalam keluarga. Reaksi kita terhadap pasangan mencerminkan apakah kita bahagia dengan dia atau tidak. Jika terlihat tidak bahagia, jangan kan keluarga, tetangga sebelah pun pasti tidak akan bisa terima pasangan kita.

Selain reaksi yang kita bawa ke dalam rumah, cerita tentang pasangan kepada orangtua/keluarga adalah jalan yang baik. Disinilah dibutuhkan, atau bahkan dilatih, hubungan dan komunikasi yang baik antara kita, sebagai anak, dan keluarga. Sudah sepantasnya, kita banyak menceritakan tentang pasangan kepada keluarga, dari mulai hal yang baik sampai ke hal-hal yang buruk. Jadikan porsinya seimbang. Bukan hanya soal pasangan itu sendiri, tapi juga tentang keluarganya. Cerita-cerita ini membuat kedua keluarga mempunyai cukup waktu untuk menerima kekurangan dan menambalnya dengan kelebihan-kelebihan yang diketahui, dari kedua belah pihak. Dengan ini, maka penyatuan dua keluarga akan berjalan lancar.

Perbedaan antar kedua keluarga ini, bisa terjadi berdasarkan banyak hal, baik materi maupun pendidikan. Baik profesi maupun usia. Sebagai orang yang menjalani hubungan dan ingin hubungan itu direstui, kita adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk menerima perbedaan pasangan dan keluarganya. Setelah itu, mempromosikan keduanya di depan keluarga, akan lebih mudah.


love,
_tita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar