Kalau ditanya pendapat saya soal poligami, saya bisa membagi fase pemikiran saya dalam 3 periode; jauuh sebelum menikah, periode setelah menikah dan periode setelah punya anak. Dalam masing-masing periode, saya punya pendapat yang berbeda, yang sebagian besar dipengaruhi oleh pengalaman.
Jauh sebelum menikah, saya bisa dibilang gak pernah kepikiran soal poligami. Kayaknya pertama kali ngeh waktu nonton acara gosip yang bilang kalau Parto punya istri muda. Waktu itu saya gak mikir muluk muluk, cuma mikir: ih kaya gitu aja istrinya ada dua. Iya, fisik. Hahahaha. Kemudian mulai inget lagi ketika Aa Gym poligami. Tapi ya saya gak pikirin juga sih, lah istrinya kayaknya juga adem ayem aja.
Yang kedua, fase setelah menikah. Maksudnya, persis setelah menikah banget ya, newlywed gitu. Karena masih euforia berlebihan, saya gak respek tuh sama poligami. Dan gak kepikiran sama sekali buat mengiyakan dan bahkan sampai mau dipoligami. Amiiit. Hahahaha.
Sampai saya tiba di tahap yang sekarang. Periode setelah melahirkan.
Menjadi ibu baru yang amatir itu betul-betul bikin stres. Belum lagi ditambah urusan rumah tangga yang lain. Kayaknya sih saya nggak baby blues, tapi masa-masa itu bukan masa yang gampang untuk dilalui. Saya capek, harus begadang, nyusuin, nahan sakit bekas luka sesar dan banyak hal printil lain yang could not meet my expectations. Iya, saya orangnya banyak mau dan sok perfeksionis. Dan punya bayi itu susah banget jadi perfect according to my standard. Termasuk to have a perfect posture. Semua hancur minah pasca melahirkan. Hahaha.
Masalah gak cuma itu. Selain punya bayi, saya juga (masih) punya suami yang juga punya kebutuhan. Kebutuhan yang cuma bisa dipenuhi dengan bantuan saya. Yap, sexual needs.
Sementara bagi saya, dan mungkin kebanyakan perempuan, pleasure is not always about making love, laki-laki kayaknya gak gitu deh. Oke, mereka pasti punya hobi, tapi begitu liat istri di rumah pake hot pants, ya maunya dimamam. Beda sama kita, mau suami gapake apa apa juga sebodo lah, malah cenderung ngomel: geloooo!
Kondisi pasca melahirkan bukan kondisi yang nyaman bagi saya buat make love. Apalagi flirting, apalagi foreplay. Hissshh. Gendut, capek, unhappy, jelek. Seriously, those were on my head. And it took soo much time and understanding from my beloved husband sampai akhirnya saya bisa kembali enjoy making love to him. Fiuh.
Considering that experience, dan mengaitkannya sama poligami, saya realize satu hal, kalau mungkin poligami itu ada sebagai salah satu jalan keluar perbedaan fitrah laki laki dan perempuan. Perempuan, nggak menjadikan hubungan seksual sebagai basic need. Saya bisa tetep happy walaupun sebulan gak make love, asal suami saya bageur. Serius. But how about him?
Nggak usah ketika istri sakit dan nggak bisa melayani kebutuhan suami, ketika istri sehat wal afiat tapi secara psikologis kesulitan untuk memenuhi kebutuhan suaminya dan suaminya gak ikhlas, harus ada solusi. Either istrinya berubah, atau bolehin suaminya poligami. Fair enough? Saya rasa iya. Kalo gakmau dipoligami, ya supaya sama sama senang, mesti saling memenuhi kebutuhan dong.
Sejak itu, saya mulai melihat poligami sebagai solusi. Ketika istri sudah tidak mampu atau tidak mau memenuhi kebutuhan syahwat suami, tapi nggak benci juga sehingga cerai juga bukan solusi.
Kalo ditanya mau atau enggak, saya sih masih jawab gakmau. Makanya, konsekuensinya harus pinter2 atur diri biar bisa jalanin tugas sepenuhnya sebagai istri. Kalau udah ampun nyerah banget yaaa bisa jadi.
Makanya, romantis banget suami yang sampai tua cuma punya 1 istri. Artinya dia pengertian sekali. Bisa ngalahin ego dan fitrahnya, demi terus bikin hepi istrinya, yang pasti lebih suka untuk jadi satu satunya :)
Love,
Tita