----------
Menurut saya, AADC2 pada intinya berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tercetus di kepala penonton saat atau setelah menonton AADC. Jawaban yang bikin Cinta penasaran dan diamini penonton (perempuan?). Soal gimana Rangga di New York, gimana perasaan Rangga ke Cinta, ada apa sih dengan keluarganya Rangga dan apa sih sebenernya yang dipengenin Rangga atas hubungannya sama Cinta? Jadi, mungkin judul sekuelnya lebih tepat ada apa dengan Rangga? Hahaha. Enggak lah, kesannya lakik cheesy banget. Kalau perempuan cheesy kan jamak ya.
Asli deh, banyak banget opini saya soal film ini, saya sampai bingung mau start over dari yang mana.
Mungkin mulai dari gambar ya. Seperti biasa, Riri Riza memberikan gambar yang indah dan rasional dengan lokasi-lokasi syuting yang bisa ditelurusi dan ditangkap sisi cantiknya serta "kenormalan" penampilan Cinta dan Rangga (juga cast lainnya). Wardrobe-nya juga juarak (dengan gaya pengucapan a la Milly). Apalagi konon banyak memakai produk-produk kerajinan tangan dari seniman tekstil lokal. Cool! Saya cuma agak terganggu dengan close up pada saat Cinta dan Rangga bertemu untuk pertama kalinya sejak kandasnya hubungan mereka via secarik surat dari Rangga yang saat itu masih di New York. Tapi soal close up ini antara ganggu karena wajah Cinta jadi terlalu gede di layar bioskop atau ekspresi dan intonasi Cinta yang menurut saya "anu". Saya mengharapkan perjumpaan yang lebih feminin, dimana Cinta bisa menunjukkan sisi patah hatinya instead of sisi dendam sama Rangga dan ekspresi sok "hey-i-moved-on"-nya walaupun teman saya berpendapat lain, menurut dia itulah Cinta, dengan segala kegengsiannya, jadi nggak boleh ada air mata. Yah, bebas aja sih. Cuma, subjectively, momen itu kurang saya sukai terutama dari sisi pengambilan gambar close up dan intonasi suara Cinta.
Kemudian saya mau sok-sokan bahas akting, walaupun jelas saya cuma bisa komentar sekedarnya dalam kapasitas sebagai penonton AADC sejak 2002. Seperti gambarnya, akting pemain pendukungnya menurut saya pas. Hebatnya, menonton AADC2 berhasil menarik memori saya ke AADC karena semua karakternya masih berada dalam root yang sama. Bayangkan kalian punya temen deket dan setelah berbelas tahun mereka masih jadi orang yang sama secara karakter, walaupun mungkin ada yang jadi doyan dandan, jadi ibu-ibu, jadi wanita karir, atau nggak nikah. Itulah yang terjadi sama geng Cinta. Bahkan, openingnya pun langsung mengingatkan saya dengan AADC gara-gara lagaknya Cinta yang yaaa masih a la ketua geng dan gitu, deh. Hahahaha.
Kalau soal alur cerita dan tempo menurut saya masih asik dengan tempo yang normal. Nggak grasa grusu dan berkesan mau deliver semua hal yang terjadi bertahun-tahun dalam satu malam. Jadi saya sebagai penonton nggak ngerasa "kekenyangan" sama fakta yang terjadi selama Cinta nggak komunikasi lagi dengan Rangga. Semuanya diberikan pelan-pelan, melalui dialog yang tersirat jadi saya sebagai penonton bisa menyimpulkan sendiri gimana sih hidup Rangga pasca Cinta dan sebaliknya.
Karena kombinasi alur yang enak dan akting yang pas tadi, ke-anu-an yang saya sebutkan di paragraf kedua di atas, berhasil dinetralisir dengan tamparan Cinta ke Rangga di scene berikutnya. Itu seolah menegaskan kalau perasaan Cinta ke Rangga at that moment ya cuma kemarahan. Patah hatinya udah entah kapan tau. Dan di scene ini juga, kebangun suasana "normal" antara Cinta dan Rangga. Saya jadi ngerasa kayak nonton film dokumenter, bukan drama hasil akting pemainnya. I love it!
Yes. Kemistrinya masih ada-- |
----------
Sebetulnya tulisan di atas saya draft 12 jam setelah nonton AADC 2 di bioskop. Tapi setelah beberapa minggu berlalu, saya menemukan sebuah ide di kepala saya soal film ini. Berawal dari pikiran saya yang menganggap problem Cinta pada AADC 2 terlalu klise. Sudah move on dari Rangga, punya pacar baru dan bahkan akan menikah. Tapi kemudian Rangga muncul, ada flashback dan Cinta tiba-tiba sadar kalau tunangannya bukanlah sosok yang dirindukan. Mungkin seperti Rangga pada mantan pacarnya yang disampaikan melalui dialog manis: saya pikir dia kamu, tapi ternyata bukan. Kondisi ini menunjukkan satu hal paten: baik Rangga maupun Cinta sama-sama nggak move on. Buktinya, Rangga nggak berhasil punya hubungan dengan perempuan lain dan Cinta bahkan meninggalkan tunangannya.
Di sisi Rangga, cerita cintanya kepada Cinta masih terdengar manis dan gentle. Bukankah konon lelaki ketika telah menetapkan hati sulit untuk berpaling? Tapi, di sisi Cinta menurut saya efeknya jadi bikin saya ngerasa Cinta childish banget. She must be 30 something dan masak iya demi masa lalu dia bisa membatalkan semua rencana masa depannya yang sudah almost fixed dengan satu orang? Apalagi karakter Cinta kan memang well-organized person banget, yah walaupun pada akhirnya memang terbukti cuma Rangga yang bisa bikin chaos dunia Cinta.
But somehow, saya punya ide yang lebih menarik..
----------
Saya membayangkan Cinta masa kuliah yang patah hati berat. Berusaha meninggalkan segala sesuatu yang mengingatkan pada Rangga, salah satunya adalah sisi dirinya sendiri yang mencintai sastra, baik dalam bentuk puisi maupun drama. Ingat nggak sih, kalau sebagai perempuan mungkin kita pernah suka sepakbola karena kita jatuh cinta sama penggila sepak bola tapi ketika putus, maka musnah sudah kegemaran pada sepakbola? Bukankah hal yang sama terjadi pada Cinta? Cinta memang anak mading sewaktu SMA, tapi bukan tipe yang menyukai sastra seperti Rangga. Yang mengenalkan Cinta pada Sjumandjaya adalah Rangga dan Cinta kemudian kesengsem. Disinilah mixed feeling, apakah Cinta betul-betul menyukai sastra atau Cinta hanya menyukai Rangga dan kemudian mengamini semua kegemaran Rangga? Nah. Twist ini yang seharusnya dipakai ketika Cinta patah hati dan tumbuh dewasa.
Gambaran Cinta pada iklan Line sebetulnya sudah pas menurut saya. Cinta dewasa yang kerja di majalah. Dunianya bukan lagi soal sastra idealis. Dunianya materialistis. Kerja di majalah fashion, Cinta menjadi sosok yang fashionable, dekat dengan kalangan jetset, punya karir dan jaringan yang menjanjikan dan lupa siapa itu Sjumandjaya. Hidupnya berputar dari satu meeting ke meeting lain, dari satu fashion show ke lainnya, dan berlompatan di antara grand launching butik eksklusif. Cinta sukses melupakan dunia percintaannya dan memiliki karir gemilang. Hal yang dibanggakannya karena lahir dari kerja kerasnya sendiri. Buat apa punya pasangan tetap kalau setiap hari selalu ada undangan makan malam dan keesokan hari setia menanti setumpuk pekerjaan? Bagi Cinta, nggak ada waktu buat cinta.
Sampai suatu hari, datang Rangga (lagi).
Apa Cinta kembali jatuh hati? Iyalah. Tapi... terlalu banyak "tapi". Siapa sih Rangga? Apa pekerjaannya? Apakah dia akan tinggal di Indonesia? Jika nggak, lalu mereka harus mengalami sekali lagi LDR dan berakhir... basi? Atau Cinta harus ke New York? No, Rangga lah yang harus pindah ke Indonesia. Kenapa harus saya? Rangga yang harusnya ninggalin coffee shopnya dan balik ke Indonesia, bukan saya yang tinggalin karir saya dan start over something uncertain far away di New York.
That twists! Twist yang bakal dipahami betul oleh para perempuan single ibukota yang sudah mapan dengan pekerjaannya. Oke, dia love of your life, tapi semakin kita tua, cinta jadi nggak sesimpel dua perasaan yang saling menyambut, tapi merembet ke urusan lain. Kalau cuma sekedar Cinta yang disambangi Rangga kembali disaat dia sudah punya pasangan, itu sih problema cinta standar yang anak SMP juga paham. Menurut saya walaupun dibuat twist yang nggak pro-ABG, film ini tetap bakal jualan kok, karena AADC, Cinta dan Rangga sudah menjadi sebuah brand ali-alih film belaka. Kalau nggak jadi brand, nggak bakal Line pakai untuk iklannya.
Gimana?
Love,
Tita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar