Rabu, 20 Juli 2016

Working Mom Series: Why Am I Working?

Saya ibu bekerja. Bekerja di kantor, jadi pegawai orang lain, punya jam kerja tetap dan jatah cuti tahunan. Walaupun peraturan jam kerja kantor tidak terlalu ketat, dalam arti saya masih bisa datang terlambat atau izin di tengah weekdays karena anak tetiba sakit, tetap saja jam kerja saya tidak bisa dibilang fleksibel. Setiap hari kerja, dapat dipastikan saya harus meninggalkan rumah untuk ke kantor paling telat pukul 8 pagi dan sampai ke rumah paling cepat pukul setengah tujuh malam. Saya nggak punya kuasa untuk mengatur sendiri jam kerja saya.

Selama saya kerja, anak saya diasuh oleh asisten rumah tangga yang sudah mengasuh anak saya sejak usianya 4 bulan. Saya termasuk beruntung, karena tinggal berdekatan dengan orangtua dan mertua, sehingga di sore hari, ketika urusan masing-masing orangtua dan mertua sudah selesai, biasanya anak saya akan bermain bersama kakek neneknya sampai saya pulang ke rumah. Paling nggak, kehidupan anak saya nggak melulu sama mbaknya, ada keluarga yang juga menjaga dan mengajak bermain sementara saya (dan suami, tentunya) bekerja di luar rumah.

Pernah sih ada yang nanya secara langsung, kenapa saya harus kerja. Asal tahu saja, saya pun awalnya nggak yakin, buat apa sih saya kerja? Bekerja untuk mendapatkan uang adalah hal yang pasti. Tapi masa iya semua hal kita lakukan hanya semata-mata demi uang? Masak iya saya sematerialistis itu, sampai-sampai saya tega titip anak ke mbaknya hanya demi uang? Apa iya waktu bersama anak saya tidak lebih berharga daripada harta?

Bukan, bukan. Itu bukan judgement orang lain. Itu pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan buat diri saya sendiri, ketika saya masih ragu dengan alasan kenapa saya bekerja. Sebagai manusia, saya pengennya melakukan suatu hal yang telah saya pikirkan dengan matang, baik tujuan maupun konsekuensinya, simply supaya saya nggak gampang goyang sama situasi atau opini orang lain. Males aja kan kalau jadi plin plan di tengah jalan lalu mengambil keputusan gegabah dan menyesal di kemudian hari? Iya, saya meminimalisir penyesalan.

Ada masa dimana saya pengen banget stop kerja. Entah itu karena masalah anak atau masalah teknis semata, seperti jalanan ke kantor yang makin macet atau badan yang lebih gampang capek. Pengennya di rumah aja, urus rumah dan anak, nunggu suami pulang, gak pusing mikirin pulang kerja naik apa atau kehujanan di tengah jalan. Tapi pernah juga seminggu full di rumah, ternyata badan juga nggak lebih rileks. Kerjaan di rumah lebih banyak rupanya, apalagi untuk manusia tipe gak bisa kotor model saya. Yang ada, seharian sibuk ngelap, ngepel, nyapu, beberes. Akhir minggu malah minta pijet, lebih-lebih daripada seminggu full kerja di kantor.

Some mothers are happy mother because they achieved something outside their motherhood-
(Gambar dari: http://mayaclinic.in/blog/tag/working-mom/)

Seiring berjalannya waktu dan semakin baiknya saya mengenal diri saya sendiri, saya mulai bisa memahami kenapa saya memilih bekerja. Kenapa saya tahan dengan keputusan ini sampai hari ini. Kali ini saya mau ceritakan salah satu faktor dari dalam diri saya yang membuat saya bertahan berangkat pagi naik komuter ke tengah Jakarta dan pulang ke peraduan Tangerang Selatan di malam hari selama 5 hari dalam seminggu.

----------
Sedikit flash back ke masa sekolah saya, tepatnya SMP. Ketika mulai kelasi 2 SMP, mama saya memberikan saya uang jajan dengan sistem bulanan. Saya diminta menghitung berapa kebutuhan saya selama sebulan dan jumlah tersebut yang akan diberikan mama saya sebagai uang jajan bulanan di setiap awal bulan. Di luar uang jajan bulanan, saya tidak dibolehkan minta uang jajan lagi. Uang jajan lho ya, kalau keperluan sekolah beda lagi. Kalau saya ingin ada kenaikan uang jajan, maka saya harus buat laporan kenapa uang jajan saya kurang dan perlu dinaikkan. Apakah karena ongkos angkutan umum naik? Atau karena saya ada les atau kelas tambahan sehingga butuh uang makan lebih banyak. Hal ini berlangsung sampai saya selesai kuliah. Kurang lebih 9 tahunan lah ya.

Dari kebiasaan itu, saya ternyata menjadi orang yang nggak biasa minta uang dan menikmati mempunyai kuasa atas pengeluaran saya sendiri. Gimana saya mau minta-minta uang, lha mama saya nggak bakal kasih, kecuali untuk alasan sekolah dan saya kurang nekad untuk mark up keperluan sekolah saya. Jadi, saya harus berpuas diri dengan uang bulanan saya dan merasa sangaaat senang kalau tiba-tiba mama saya kasih bonus uang jajan tambahan. Di sisi lain, uang jajan bulanan memberikan saya kebebasan untuk menggunakan uang tersebut sesuka hati saya. Nggak ada pertanyaan "buat apa?", pertanyaan yang kayaknya wajib diajukan orangtua kalau anaknya minta uang. Saya bebas pakai uang untuk nonton bioskop, beli kuteks, creambath di salon daaaan lainnyaaa. Yah, paling konsekuensinya jadi super irit dengan bawa bekal makan siang dari rumah,

Rasa nyaman memiliki uang sendiri ternyata berlanjut sampai menikah. Saya selalu enggan minta uang ke suami untuk keperluan saya, misal beli eyeliner atau tas atau ngasih uang ke adik-adik. Kadang karena nggak tega, atau karena males dikomentarin kenapa barang belanjaan saya mahal atau nggak penting. Saya hanya nyaman minta minta uang ke suami untuk keperluan rumah dan anak, karena ya menurut saya itu memang tanggung jawab beliau kan? Dan kalau sampai suami kasih saya uang lebih dari yang dibutuhkan untuk keperluan rumah atau anak, saya jadi punya beban untuk membelanjakannya dengan wajar. Saya jadi ragu mau jajan Cha Time sering-sering atau makan siang mevvah sama wece-wece (kebetulan suami saya bukan tipe orang yang suka makan aneh-aneh di mal, beliau pecinta makanan tradisional dengan selera terbatas pada bakso, pempek, mi ayam dan kawan-kawannya).

Jadi, no wonder saya tahan menghadapi badai bekerja dan ngurus rumah serta anak-suami. Ternyata kebebasan finansial yang saya punya sekarang sudah berlangsung sejak lama. Saya nggak menyalahkan orangtua, ndak apa-apa. So far saya enjoy aja kok, meskipun jauh di lubuk hati punya cita-cita suatu saat bisa menghasilkan uang dari rumah. Bukan apa-apa, lama-lama aku capek menembus rimba Jakarta~

----------
Begitulah. Makanya saya miris sih kalau ada yang buat judgement asal-asalan soal keputusan seorang ibu untuk sambil bekerja atau full time hanya mengurus rumah dan keluarga. Setiap ibu punya pertimbangannya masing-masing dan terlalu kompleks kalau mau diteliti alasannya. Yang pasti ada pertimbangan berdasarkan faktor dari dalam dan luar diri masing-masing ibu. Dari mulai hal yang tampak sepele seperti saya misalnya (hanya masalah kebiasaan), sampai ke alasan yang memang penting dan mendasar.

Kalau kata mama saya, jadi manusia yang penting eling. Eling maksudnya bukan sekedar ingat dan tidak lupa, tapi juga nyadar. Jangan denial meluluk apalagi kalau urusannya sudah menyangkut keluarga. Dan yang nggak kalah pentingnya adalah memikirkan diri sendiri. Bukannya egois, tapi ibu juga manusia, punya passion, cita-cita atau kegemaran. Sebisa mungkin kita ini buibu punya kesempatan buat melakukan hal yang kita suka. Supaya mood tetap terjaga karena konon happy mom means happy family :)


Lots love,
Tita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar