Kamis, 21 Juli 2016

Short Story: Mariana

Sekarang.

Di luar hanya hujan. Dan suara ribut klakson mobil-mobil yang seperti tak sabar untuk sampai tujuan. Setiakah suamimu di rumah? Hingga tak ingin rugi waktu barang dua menit pun? Aku menatap wajahku sendiri yang penuh sisa-sisa riasan dan terpampang kuyu pada kaca spion tengah di dalam mobil. Tak cantik. Ada sepasang lingkaran hitam membayangi dua mataku. Kemurungan semakin terlihat dari dua bola mata yang sama sekali tak berbinar. Siapapun yang melihat dapat dengan mudah mengambil kesimpulan akan dirku: aku tidak bahagia.

Jalanan di depan taman makam Tanah Kusir memang selalu megantri pada Jumat malam, apalagi di tengah cuaca hujan seperti ini. Entah ingin kemana beratus kendaraan bermesin tenaga kuda ini. Pulang menemui keluarganya di rumah, atau? Ah. Taik! Makiku. Memaki siapa? Enggak tahu. Kalau saja sosok laki-laki setinggi 182 cm itu duduk di samping kursi kemudiku, sudah pasti ia yang kumaki. Kutampar kalau perlu. Atau kupukul? Kebetulan stik softball di bawah kursiku belum pernah digunakan. Mungkin wajahnya bisa jadi sasaran empuk yang pertama. Ah.

Tik. Tik. Tik.

Aku menatap kosong pada kedua tanganku yang bertopang pada kemudi mobil. Lama. Dan kenapa mataku harus terpaku pada benda kecil berbentuk lingkaran yang melingkar manja di jari manis tangan kananku? Benda kecil berwarna silver. Dengan satu berlian putih cantik persis di bagian tengahnya. Bertahun-tahun aku berjuang demi ini. Bertahun-tahun kututup mata hatiku untuk hal lain. Hanya ini yang kuinginkan. Sampai nanti aku tersengal-sengal menikmati dicabutnya nyawa.


Lima tahun yang lalu.

”Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu.” Ucap Mariana disela tangisnya. Ayah ibunya pergi. Awalnya hanya ingin pergi umrah untuk merayakan pernikahan perak. Tapi rupanya mereka enggan kembali. Dua hari Mariana menunggu untuk menatap wajah beku ayah ibunya.

”Aku tidak akan kemana-mana. Tidak akan.” Reza memeluknya erat. Kekasihnya betul-betul sendirian sekarang. Mariana betul, hanya dirinya yang ia punya.

Dua minggu kemudian, Reza datang pada suatu pagi yang tanggung. Dengan kaos putih, celana pendek berbahan coduroy warna coklat tua dan tak lupa sepasang sandal jepit hitam polos kegemarannya. Mariana tercenung sebentar. Tidak ada kabar. Dan ini sangat bukan Reza.

”Aku sedang menyiram tanaman.” Ujar Mariana. ”Belum mandi.”

”Ah. Sudah berapa kali kamu tidak mandi ketika bersamaku. Tidak pernah bau.” Reza mengerling genit. Meledek. Mariana tertawa kecil.

”Ada apa? Aku pun tidak membuat sarapan.”

”Oh. Aku sudah kenyang. Ibuku yang rajin, tidak pemalas sepertimu, sudah menghidangkan sarapan paket nasi uduk lengkap di meja sejak subuh.” Mariana tergelak.

”Masuklah.”

”Tidak.”

”Lho?”

”Kemarilah.” Mengernyitkan dahi karena bingung, Marina melompati tanaman pendek tanpa bunga yang menjadi penyekat antara halaman rumah dan trotoar di depannya.

”Matikan dulu selangnya.” Reza meraih tangan Mariana, mengambil selang air yang sedari tadi dikepalnya. Airnya masih mengalir. Ah. Keran air terlalu jauh.

”Takut kusiram?”

”Iya. Nanti aku makin gemuk dan subur.” Mariana tergelak lagi.

”Ada apa, sih?”

”Nggak ada apa-apa.” Reza memainkan air yang mengalir lemas dari selang dalam genggamannya.

”Hey. Apa?” Mariana memegang pipi kekasih tiga tahunnya itu dengan kedua telapak tangannya. ”Tell me.”

”Nggak. Aku cuma...” Reza berhenti sebentar. Matanya bergerak-gerak mencoba mencari keyakinan dalam mata Mariana. ”ingin menikahimu.”


Sekarang.

Bayangan jalanan menjadi buram. Memperparah cacat astigmatisma pada kedua mataku. Hanya cahaya oranye-merah berebutan memasuki retina tanpa aku tahu persis itu apa. Belum lagi rasanya panas. Panas sekali disekitar mata dan telinga. Rasanya seperti ketel yang airnya sudah mendidih dan berteriak-teriak minta diangkat. Panas. Aku tak tahan.


Beberapa menit yang lalu.

”Istrimu tidak mencari?” perempuan dua puluh satu tahun berwajah teramat manis bergelayut manja pada pundak kiriku. Aku suka ketika dia bermanja. Ketika dia memainkan jemarinya pada bagian dalam lenganku sambil menonton serial TV favorit kami. Ketika suara riangnya tidak berhenti menceritakan kegiatannya sehari-hari walaupun tidak pernah kutanya, sepertinya. Aku selalu merasakan ditulari semangat dan jiwa muda dengan apapun yang dilakukannya. Apapun, yang sudah lama tidak dilakukan Mariana.

Mariana.

”Tidak.” Ya. Singkat saja. Aku enggan bicarakan dia. Sudahlah, jangan tanya.”

”Siap, Jenderal!” si manis mengucapkannya dengan kenes dengan kedua mata berbinar riang. Aku gemas.


Menulis pesan singkat tidak pernah kurasakan menjadi seberat dan sesulit ini. Aku hanya ingin sampaikan beberapa kata. Menelepon? Tak sudi aku mendengar suaranya. Apalagi alasan-alasannya. Aku tak perlu alasan. Mataku makin memanas dan mungkin bisa terbakar lalu menghilang jadi abu kalau masih harus mendengar semua justifikasinya. Basi.

”Aku sudah tahu.”

Hanya itu yang ingin kukatakan. Tidak banyak. Tidak ada pertanyaan. Membayangkan pertanyaannya saja sudah mual, apalagi harus menanyakannya. Aku memberinya hidup, tapi dia memberikan sepenuh hatinya pun tidak. Bagiku, dia tak pantas menyampaikan pembelaan.


Interaksi seksual kami tertunda. Suara pesan melalui WhatsApp bukan datang dari siapapun kecuali dia.

”Sebentar, aku perlu melihatnya.”

”Katamu tak perlu kita bahas.” Wajah mungilnya cemberut. Aku meremas pipi kanannya pelan.

”Sebentar, ya. Aku toh akan dua hari disini.”

”Oke.” Tidak ada binar puas dalam matanya.

Harusnya aku bersiap dengan semprotan asmaku ketika membuka pesan yang baru dikirim untukku. Selesai mataku menjelajah sampai titik, saat itu juga aku merasa kerongkonganku menyempit dan paru-paruku mengecil. Sulit sekali mendapat oksigen. Kupukul dadaku keras-keras sampai terbatuk. Si manis tampak panik. Dia langsung berlari ke arah tempat aku menyimpan tas dan menumpahkan seluruh isinya begitu saja ke lantai. Sementara aku mencoba berbaring dan membuka kancing kemeja satu persatu. Sulit. Si manis kemudian datang dengan sebotol obat asma dan membantu membuka kancing baju.

”Kenapa, mas?” Suaranya panik. Ingin menangis. Aku tak bisa menjawab. Tapi si manis langsung diam begitu ia mengambil ponselku dan melihat ke layarnya.

”Mas...”

Dadaku makin sakit. Aku rasanya mau mati. Apalagi dia?


Satu bulan yang lalu.

Tell me her name I want to know/the way she looks and where you go/I need to see her face I need to understand/why you and I come to an end…

Lina datang padaku sore itu. Ingin bertemu denganku dan berbicara, katanya. Aku baru akan masuk ke salah satu kedai kopi terkemuka, tempat kami janjian, sebelum akhirnya ditegur Lina yang juga baru sampai.

”Di mobil Mbak saja, nggak apa-apa ya?

”Kenapa?” Tanyaku. Heran. Mulai terbayang adegan transaksi narkotika dalan film-film detektif koleksi Abang. Ya, semenjak menikah, aku memanggil Reza dengan “Abang”, panggilan yang juga digunakan seluruh keluarganya.

”Saya buru-buru. Nggak apa-apa kan, Mbak?” Aku manut saja. Toh memang tidak ada masalah bagiku.

Sepanjang jalan dari lobi menuju tempat parkir yang memakan waktu sampai 10 menit tidak dihiasi percakapan apapun. Lina hanya diam. Aku pun jadi canggung. Ini sangat aneh. Dalam keramaian pusat perbelanjaan, kami hanya berjalan bersisian dalam diam. Tapi aku tak punya firasat. Tidak pernah. Kami memang tidak pernah begitu akrab sebelumnya, walaupun Lina sudah lama jadi sekretaris Abang.

“Bukalah.” Lina menyodorkan agendanya ke pangkuanku. Agenda kerjanya. Tempat ia mencatat semua hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, melayani dan meladeni kesibukan Abang. Kami sudah berada di dalam mobilku. Setelah beberapa detik yang canggung, Lina memulai pembicaraan dengan menyodorkan sebuah agenda.

”Apa maksudnya?”

”Bukalah dulu. Lihat catatan tanggal 30 Mei kemarin.” Aku membuka agenda dengan pelan. Mataku masih menatap Lina, mencoba mengerti apa maksudnya. Tak sabar, Lina membantuku membalik halaman demi halaman, sampai akhirnya dia berhenti.

”Coba Mbak cari tanggal 30 Mei.” Jemariku menelusuri halaman itu. Menyentuh angka-angka di dalamnya. Dua puluh tujuh, dua puluh delapan, dua puluh sembilan, tiga puluh...

”Lina, Abang tidak ke kantor?” Ini baru kejutan. Untuk apa pada 30 Mei ia tidak ke kantor padahal aku yang membuatkan sarapan dan menyiapkan bekal makan siang untuknya? Bahkan aku yang memilihkan celana dalam, kaus dalam, kaus kaki, kemeja, celana dan dasi yang akan dia pakai. Dia bercerita soal rapat-rapat panjang yang akan dijalaninya hari itu sambil aku mengguntingi kuku-kuku kaki dan tangannya.

”Tidak.” Lina menjadi pucat. ”Coba Mbak lihat lagi tanggal 3 Juni.”

”Apa-apaan ini?” Aku benar-benar bingung. Kemana Abang?

”Bapak tidak ke kantor, Mbak. Dan membatalkan perjalanannya ke Singapura. Harusnya Bapak ada rapat disana, tapi tidak jadi.”

”Lalu kemana dia, Lina? Dua hari dia nggak pulang saat itu!”

”Saya enggak tahu, Mbak. Sumpah. Saya nggak tahu.” Lina hampir menangis.

Tanganku gemetar memegang agenda Lina. Tidak mungkin Abang berbohong. Dan buat apa?

Suami berbohong apa lagi kalau bukan karena dia selingkuh? Terngiang bait dalam salah satu artikel majalah wanita langgananku.

”Ini yang terakhir, Mbak.” Lina menyodorkan tagihan ponsel Abang yang dibayarkan kantor. Ada banyak nomor yang sama yang diberi tanda dengan warna kuning terang. ”Ketika saya coba telepon, yang angkat perempuan.”

Aku sangat yakin saat itu rasanya bangunan tujuh lantai di atasku jatuh menimpa tubuhku, membuatku tidak bisa bergerak. Dan merasa mati.


Tell me again I want to hear/who broke my faith in all these years/who lays with you at night when I’m here all alone/remembering when I was your own…

081224452447
Calling

Halo?
Klik.
Tubuhku merosot ke lantai berlapis kayu dalam kamar. Sampai esok pagi, aku terbangun dalam posisi terduduk memeluk lutut. Abang tidak pulang.

Lina benar. Pemilik nomornya adalah seorang perempuan.

Sayang, aku ada roadshow customer di Denpasar. Pulang besok malam, ya. I’ve told you, kan? Love you.


Sekarang.

Tiiiiin!

Aku kembali terjaga setelah beberapa menit tubuhku seperti melayang-layang kembali ke hari-hari kemarin. Di depanku jalanan sudah kosong sampai 4 meter jaraknya dengan mobil di depanku. Rupanya antrian kuda besi sudah mulai berjalan dan penunggang yang antri di belakangku kehilangan kesabarannya.

Tiiiin!

Aku menurunkan rem tangan dan menginjak pedal gas pelan.

Banyak hal yang tidak pernah aku dan Abang miliki. Waktu. Anak. Kencan. Abang selalu sibuk, begitu juga dengan aku. Masih bagus kami sempat sarapan bersama. Karena di waktu makan yang lain, aku tidak mungkin menuntutnya makan di satu meja bersama. Mungkin inilah kenapa Tuhan tidak mempercayakan keturunan pada kami.

Ah, bukan. Kami memang tidak pernah terlalu berusaha. Aku malas merayunya lagi seperti dulu di masa-masa awal kami menikah. Abang juga begitu. Dan kami membiarkan ini terus terjadi. Satu hari, satu minggu, satu tahun. Lima tahun.


Sekarang.

Ya. Aku memang bekerja gila-gilaan demi dia. Istriku. Mariana.

Ketika menikahinya, dia seorang diri di dunia. Kami bahkan tidak berpesta. Perayaan kecil saja, cukup keluarga dan teman-teman dekat. Yang penting sah menurut agama dan dicatatkan oleh negara. Aku sangat mencintainya. Waktu itu. Walaupun aku tidak tahu apa bedanya cinta dan rasa ingin melindungi. Rasa berhutang budi.

Sejak hari pertama menjadi suaminya, aku tahu, aku butuh banyak tenaga untuk membuat dia bahagia. Istriku bukan dari keluarga sederhana seperti aku. Dia dapat melakukan apapun yang diinginkannya. Membeli apapun yang menarik perhatiannya. Berlibur bagi istriku bukanlah barang mewah.

Aku?

Keluargaku sederhana. Pernah pada satu masa, kami hanya makan tempe dan tahu selama berbulan-bulan. Ada satu waktu dimana ibuku berhutang kesana kemari untuk membayar uang sekolahku.

Aku tidak mungkin menariknya untuk hidup serba pas-pasan.

Untuk itu, aku bekerja keras. Terlalu keras. Sampai aku tahu, istriku kurang bahagia. Tapi aku diam saja. Aku sudah terlalu lelah dengan semua rutinitas. Dia pun diam.

Kami mulai tidak pernah bicara, kecuali ‘mau sarapan apa?’

Entah siapa yang kehilangan cinta terlebih dulu.


Kemarin.

“Aku capek. Dari awal menikah, kamu pikir untuk siapa aku kerja? Untuk siapa aku lembur setiap hari? Mengejar karir? Untuk kamu. Tapi kamu terlalu banyak meminta…”

Aku diam. Abang membalikkan badannya. Kembali aku disapa murung punggungnya. Ini sudah hari kesekian Abang tidak mau menghadapkan wajahnya padaku ketika tidur. Dia marah. Menurutnya, aku banyak menuntut.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya menangis. Dan Abang tetap diam. Aku ingat ayah dan ibu. Mereka yang tidak pernah membuat aku sedih seperti ini. Tidak pernah menuduhku banyak meminta. Aku merasa sangat sendirian.

“Kalau aku meminta kamu untuk setia saja, apakah itu berlebihan?”

Abang tetap diam.

Aku beranjak dari tempat tidur. Tidak sanggup seranjang lagi dengannya yang berhati terlalu dingin.


Sekarang.

Aku menunggu Abang menelepon. Setelah aku mengirimnya pesan, masihkah dia bersikap seolah tidak ada apa-apa? Kulirik ponsel yang tergeletak di kursi sebelah kemudi setiap menit. Tidak ada bunyi panggilan, tidak ada lampu menyala.

Buat apa?

Pandanganku mulai kabur. Buram. Berkabut. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Mobil-mobil disekelilingku berebut untuk berada di depanku. Mereka hanya terlihat seperti segerombolan kunang-kunang di tengah jalan bebas hambatan ini.

Kriing.

Abang. Mungkin.

Aku meraih ponselku. Tidak tahu siapa yang menelepon walaupun aku berharap itu Abang.

“Sayang..”

Benar Abang. Suaranya kecil sekali. Aku mendengar nada sedih di dalam pelan suaranya. Langsung saja mataku dipenuhi air mata. Seluruh wajahku rasanya panas. Aku tidak bisa melihat.

“Aku …”

Tiiittt. Nada terputus. Dan semua menjadi gelap.



I’ll let you go/I’ll let you fly/why do I keep on asking why?

Love,
Tita 21072016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar