Jumat, 24 Juni 2011

Si Keren Idealisme

Wuih. Canggih banget saya bahas soal idealisme di blog super casual ini. Biarin ah. Untuk itu internet diciptakan: untuk mengekspresikan diri sengasal mungkin tanpa ganggu orang :)

This sexy word: idealisme, mulai menghantui otak saya sejak kuliah. Sewaktu SMA, persetan dengan idealisme. Jarang sekali saya gunakan kata itu karena kurang pas diletakkan di antara curhatan tentang mengapa pacar tidak telepon di Sabtu malam dalam buku Curhadan dengan teman-teman segeng. Ya, terlalu inklusif. Kata idealisme seperti hanya untuk orang-orang tua atau sok tua.

Mungkin saya beruntung bisa bertemu idealisme karena saya sekolah dengan jurusan hukum. Dimana dikenal salah satu kondisi ideal melalui untaian tulisan yang katanya diklaim sebagai idenya Socrates, Plato atau Aristoteles. Atau Thomas Hobbes. Atau yah, siapapun itulah. Kata idealisme ini makin santer berkumandang di telinga seiring dengan semakin tuanya kedudukan saya dalam strata sosial perkampusan. Entah mengapa, si idealisme ini kerap mampir. Entah lewat tulisan atau lewat mulut-mulut yang gegap gempita memberi kesan idealisme adalah hal termahal yang bisa dipunya seorang mahasiswa.

Tapi tetap. Sampai kuliah tingkat akhir, idealisme masih terlalu dekat dengan segala hal yang sifatnya susah dan anti-materi, bagi saya.

Kenapa? Saya menyalahkan lingkungan. Lingkungan saya membentuk imej idealisme yang dekat dengan serba-kesusahan. Semua yang katanya idealis, hidupnya morat marit, mulai dari jaman Bung Hatta diasingkan ke Banda Naira karena idealismenya atau Munir yang harus meregang nyawa di atas burung besi, konon juga, karena idealismenya. Gila. Gara-gara si idealisme, satu harus dibuang jauh dan yang lain harus tukar dengan nyawa. Ck. Dan komentar orang selalu: itu orang-orang idealis!

Lalu, malam menjemput saya dan memaksa saya sedikit berpikir diantara guling dan bantal super empuk. Apa begitu yang namanya idealisme?

Idealisme. Kalau mau niru cara pemotongan katanya Panji, nasional:is:me untuk kata 'nasionalisme', maka 'idealisme' menjadi ideal:is:me. Maka, bagi saya, pusatnya adalah ego. Maka, sialnya, idealisme menjadi hal super subjektif.

A merasa egonya adalah anti membeli barang palsu. Semua barang-barangnya asli bermerek tanpa oplosan sedikitpun. Berjuta-juta dibayar, deh. Ini ideal, menurut dia. Apa idealismenya? Apa dia idealis?

B merasa hidupnya adalah untuk memberantas kebodohan. B merasa turut dibebani kewajiban negara: mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka ia menjelajah satu kolong jembatan ke yang lain, membuka sekolah-sekolah anak jalanan. Gratis. Bujet belanjanya diubah jadi bujet untuk buku dan alat tulis. Apa idealismenya? Apa dia idealis?

Percaya deh, A dan B akan saling nyinyir. A akan nyinyir dengan B yang dengan 'kurang ajar' beli tas Hermes Birkin KW sekian di Mangga Dua. Dan yakinlah, B juga akan nyinyir dengan A yang tanpa empati menghabiskan berpuluh juta hanya untuk barang tentengan.

Siapa yang nggak idealis?

Entah kenapa, sejak malam itu, saya enggan lagi menentukan dengan diri sendiri soal siapa yang idealis. Apalagi kalau hanya dari membaca artikel di koran atau majalah, atau bahkan hanya menilai dari timeline Twitter.

Karena, entah kenapa, saya menyimpulkan: ukuran idealis adalah mengenai seberapa konsisten kita berpegang pada hal-hal yang ideal menurut kita. Dan konsistensi bukan dinilai dari sehari dua hari kenal atau sebait dua bait berita.


Love,
Tita

1 komentar:

  1. setuju titaa... akhir2 ini gw juga berpikir sperti itu, tp lo dgn tepat menggambarkannya.. hehe.. Idealisme masing2 orang ditentukan oleh keteguhan mereka untuk 'setia' pada apa dan hal yang "mereka bgt" =)

    BalasHapus