Saya selalu melihatnya seperti Themis. Dewi Keadilan. Rambut mereka sudah sama panjang. Hanya dia tidak membawa timbangan dan pedang kemana-mana. Tapi mungkin pedangnya adalah kata-katanya dan timbangan adalah hasil sinkronisasi pikiran dan hatinya. Pasti itu dibopong kemanapun. Matanya juga tidak literally ditutup kain hitam. Tapi dia memang enggan melihat ke kiri dan ke kanan. Tatapannya hanya lurus ke depan. Melihat apa yang dia anggap paling lurus. Jalan paling lurus.
Saya mengenalnya lima tahun lebih. Saya masih ingat rambut panjang tipis kemerahannya dan sosok tubuh ukuran sedang berpakaian kemeja hitam menenteng map besar berdiri di depan pagar bercat putih di sebelah kiri Grha Sanusi Hardjadinata. Sapaan hangat meluncur dari mulut kecilnya. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan wajahnya yang super judes di kala diam. Ternyata orangnya sangat baik. Dia berdiri di belakang saya, mengantri sesudah saya. Beberapa jam kemudian, resmilah kami sebagai mahasiswa baru angkatan 2005 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dengan nomor pokok beriringan, saya 097 dan dia 098.
Lima tahun setengah cukup membuat saya hapal gerak gerik si Themis. Bagaimana air mukanya mengisyaratkan apa yang dia rasa. Juga cukup bagi saya untuk merasa tenang dengan si Themis. Saya menikmati kata-kata frontalnya, bercandaan garingnya, dan kuliah-kuliahnya tentang psikologi atau tentang beberapa mata kuliah favoritnya. Saya senang menghabiskan waktu mencecar pernyataannya tentang teori atau fakta apapun, dan mendebatnya sampai mampus, walaupun sering kali saya yang kalah dan argumen saya mendarat berakhir dalam semangkuk cuanki. Saya suka perhatiannya yang sering berlebihan tapi tokcer membuat saya tertawa keras samapai mengangis kencang.
Setahu saya, banyak ujian Tuhan untuknya. Dan kali ini, ujian itu tiba lagi. Saya hanya bisa melihat dari jauh. Dirundung merinding dari kaki sampai kepala. Petang yang bergerak menuju malam seperti melengkapi pemandangan yang sedang saya lihat. Themis saya duduk disana, beberapa meter serong ke kanan dari tempat saya berdiri. Rambut panjangnya terurai lemas, mungkin selemas kaki-kakinya. Telapak tangan kanannya membelai pelan kepala seorang yang terbaring lemas di hadapannya. Seseorang yang menggenggam hatinya dua setengah tahun belakangan. Themis ini biasa ditinggal laki-laki, tapi bukan berarti dia selalu siap dengan kesendirian. Bukan, laki-laki kali ini bukan perkara kesendirian. Mimpi terlanjur dibangun berdua. Di setiap timeline hidup ke depannya terlanjut dituliskan nama si Themis dan si laki-laki. Tidak ada rencana B. Hanya dia. Kanda, dia menyebutnya. Kanda, ini ada Tita. Katanya, ketika saya menghampiri. Tak ada sautan. Senyum canggung yang biasa diberikan pun tidak ada.
Sedekat apapun saya, saya tidak akan pernah tahu dalam hatinya. Seperih apa penderitaannya. Yang saya tahu, dia berani. Melewati entah berapa banyak sakit hati, walaupun di sela tangis, di sela kehilangan napsu makan dan sakit kepala luar biasa. Pada akhirnya, saya selalu melihat dia berdiri lagi, dengan segudang cerita untuk dibagi kepada saya. Betapa hidup memang terjadi, life do happens, dan kita cuma bisa menjalani.
You thought me that, dude.
Dan kamu akan mengajarkan saya sekali lagi, meyakinkan saya sekali lagi, bahwa kuatnya perempuan ada dalam tangisnya. Kalau bertetes-tetes air mata bukan berarti kita menyerah kalah. Ini adalah darah yang harus mengucur di medan perang. Untuk sebuah kemenangan.
Halo, Nevrina, saya Tita.
Saya tahu sejak hari itu, saya akan bangga punya teman kamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar