Saya punya teori baru. Hasil merenung saat poop. Ups!
Ya. Keheningan toilet dan suara renyah air membentur keramik toilet bermerek bukan Toto memang membawa inspirasi tersendiri buat saya. Dari dulu. Mulai dari permasalahan hidup hanya seputar ujian Kimia dan senior menyebalkan, sampai.. ah.. hal-hal yang sebenarnya itu-itu saja namun selalu saya kemas dengan berlebihan dalam kepala :)
Back to topic. Kembali ke judul, maksud saya. Sombong Terselubung? Wow wow. Ya, saya memang sedang mencari-cari dosa manusia, but hey, nggak ada malaikat berwujud manusia di 2011 seperti ini, kan? *hehehe*
Sombong. Rasanya mudah melakukannya ketika seseorang adalah laki-laki tampan. Atau perempuan super cantik. Atau pemuda dengan orangtua kaya. Atau fresh graduate dengan gaji bak manajer sebuah kantor swasta. Atau seseorang dengan kombinasi semuanya. Bagi mereka, sombong seperti meludah. Cuh! Tinggal dilepeh, di manapun, lega. Ikhlas. Nggak susah.
Sejak kecil saya selalu diingatkan supaya tidak sombong. Lalu saya pikir, apa yang mau disombongkan? Saat itu saya usia sekolah dasar dan berpikir tidak mempunyai hal-hal untuk terlalu disombongkan. Kemudian waktu berjalan cepat, seperti dibawa oleh KRL Jabodetabek. Dan inilah saya. Hampir dua puluh empat tahun. Apakah saya tetap yang sama?
Tahun berlalu. Dan perjalanan hidup mengajarkan saya lumayan banyak hal kalau tidak mau dibilang sangat banyak. Mulai dari mengenai bagaimana menjawab 'ya' dengan bumbu 'tapi' sampai bagaimana mengangkat diri supaya lebih merasa berharga. Perhatikan hal terakhir: mengangkat diri.
As a human, we sometimes being compared to others, either by ourselves or by others. Sebagaimana fitrahnya sebuah perbandingan, supaya menang, yang perlu dilakukan adalah mengangkat diri supaya memperoleh poin lebih tinggi. Bagaimana nasib mereka yang tidak punya hal-hal primer standar untuk dibanggakan, seperti keindahan wajah atau tubuh, materi dan kecerdasan? Well then, secara naluriah, saya mencari dongkrak diri. Supaya harga naik.
Kata saya kepada diri sendiri:
"Dia emang cantik, sih, tapi lihat deh, pakai bajunya norak banget! Kampungan. Kayak perempuan turun gunung. Huff. Masih mending gue, deh. Nggak senorak dia. Tampang boleh cakep, tapi..."
Yak, itu salah satu contoh.
Lalu keheningan toilet dan renyah suara air membentur keramik membuat saya berpikir. Bandingkan dengan si sombong (dengan segala hal primer standar yang saya sebut tadi). Mungkin di dalam kepalanya hanya: "gue orang kaya, mau apa lo?" atau "gue paling cantik seangkatan" tanpa tambahan orang kedua. Tanpa komparasi. Kenapa? Mereka sudah merasa paling superpower. Nothing compares to them.
Bagaimana dengan si standar? Yap! Dongkrak diri! Hasilnya?
Bukan cuma sombong, tapi sayajuga nyela orang.
Hey, dosanya jadi dua. Membuat saya menjadi tambah jauh dari menyamai level si sombong. Sudah muka pas-pasan, penyakitan hati pula. Hiiy.
This may be so simple. Tapi ini hal besar kalau dilakukan terus menerus, yah, seperti celengan recehan. Lama-lama bikin berat juga.
Setelah poop, saya janji sama diri sendiri, lebih berhati-hati mendongkrak diri.
Sun sayang,
Tita
poop-ing always makes some of us become a great think-er. the more you poop, the more great you are. ahahaha
BalasHapus