Selasa, 23 Agustus 2011

Kepada Laki-Laki

Ada hal dari perempuan, ehm sebenarnya banyak, sih, yang ingin sekali supaya bisa dimengerti oleh laki-laki. Selain perubahan hormon yang tidak kami inginkan saat pre menstrual syndrome maupun soal the next big thing: bahwa kami, bagaimanapun juga, adalah serdadu yang mereka pimpin.

Kok dimengerti?

Begini.

Laki-laki are to be known as our leader. Baik secara agama, bagi yang berkeyakinan sama seperti saya, maupun secara sosiologis. Sebanyak apapun presiden perempuan di atas bumi ini, laki-laki akan tetap terorientasi untuk memimpin dan feminisme seperti akan lebih gagal panen dibanding atheisme. It's like: dari sononya. Hahahaha.

Perempuan yang tahu diri (dalam arti tahu betul tugas pokok dan fungsi mengapa mereka diciptakan) pasti memiliki kesadaran tinggi untuk mengikuti pemimpinnya, laki-laki. Bukan dalam arti mengikuti-apa-saja-kata-mereka tanpa kecuali, tapi lebih kepada kesadaran bahwa laki-laki harus dipercaya sebagai pemimpin perjalanan.

Contoh terkecil simbiosis ini terjadi pada sepasang laki-laki dan perempuan, lupakan soal anak dulu, karena saya nggak tau apa rasanya ;)

Ketika seorang laki-laki dan perempuan berkomitmen untuk menjalani hari-hari ke depan bersama-sama, maka pada saat itulah, kesadaran masing-masing mengenai do dan don'ts seharusnya sudah ada. Dan sebagai makhluk adaptable, pasangan ini akan saling menyesuaikan diri satu sama lain. Dalam hal penyesuaian inilah kemudian muncul kondisi dimana perempuan sering kali 'kalah tua' karena takdir yang saya singgung diatas: untuk dipimpin.

Sebagai perumpamaan. Akan tidak aneh laki-laki melarang perempuan bekerja, tapi, akan kah super aneh ketika perempuan yang melarang laki-laki bekerja? Well, you tell me. Saya bukannya menihilkan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan laki-laki seperti, terpaksa menyukai film drama atau memaksakan diri bersabar dengan segala kerewelan perempuan, namun terkadang, perempuan do the most big thing, that sometimes related to their future.

Sadar nggak ya beberapa laki-laki, kalau perempuan mereka rela untuk berhenti terlalu mengejar karir, yang mana mungkin adalah cita-citanya sejak SD, demi ikut si laki-laki yang, mungkin, kebetulan harus bertugas dengan berpindah kota? Atau perempuan yang harus ikhlas berhenti sekolah atau menunda, karena punya anak (nggak mungkin kan suaminya yang disuruh urus anak)? I see those examples with my own eyes.

Ironisnya, penyesuaian-penyesuaian besar itu kerap terjadi sebelum komitmen akhir terbentuk: pernikahan. Jadi, bagi beberapa perempuan apes, setelah semua penyesuaian yang dilakukan bisa saja si laki-laki pergi meninggalkan begitu saja. Asem.

Kerjaan sudah terlanjur dilepas. Kuliah sudah kepalang tertinggal jauh. Cita-cita sudah terlanjur dikubur terus ditiban konblok.

Maka, ketika mengeluhkan perempuan kalian, cobalah pikir sejenak (mungkin dengan pup tanpa membawa majalah atau koran, cukup rokok saja), sejauh mana penyesuaian yang sudah dilakukan si perempuan? Lalu, tegakah? Kemudian pikir ini: apakah kamu yakin, ada perempuan lain di luar sana yang mampu melakukan penyesuaian yang sama untuk egomu?

Terimakasih :)


lotslove,
tita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar