Senin, 29 Agustus 2011

Ketika Gayung Belum Bersambut

Gayung bersambut.

Saya selalu penasaran: kenapa harus gayung? Tidak adakah benda lain yang lebih eksotis? Kenapa tidak tangan? Kenapa tidak jari? Kenapa tidak kata? Tapi betul sih, gayung itu berarti intim. Bagaimana tidak. Dia mengintip bagian intim saat mandi. Bolehlah. Karena yang diurai dengan frasa 'gayung bersambut' biasanya adalah sebuah hal yang intim. Kepentingan yang intim.

Beberapa minggu belakangan, saya merasa seseorang mengetuk pintu dan lumayan mengusik untuk dibukakan. Well, seorang yang mengetuk pintu berarti ingin masuk kan? Saya pun berkenan sedikit mengintip dari jendela.

Cukup beberapa menit mengintip, saya sudah tidak sabar untuk membuka pintu. Supaya si tamu bisa masuk.

Tapi, gayung tidak bersambut rupanya.

Mungkin hanya petugas sensus yang cuma perlu berdiri di depan pintu dan mengecek berapa usia saya supaya bisa jadi data untuk Pemilu 2014.

Walaupun gayung tidak bersambut, tapi saya suka ketika ada yang mengetuk pintu dan saya tertarik membukanya. Kenapa? Karena saya akan bersiap-siap. Saya akan memakai baju sedikit rapih, mengambil hijab, bahkan mencuci muka. Saya akan ganti celana pendek sobek-sobek saya dan kaus kutang melar-melar. Saya bersiap. Dan itu positif. Pantat saya jadi terangkat lebih cepat dari atas kasur.

Kalau saja tidak pernah ada pengetuk pintu yang membuat saya tertarik, mungkin saya enggan berbenah. Jadilah saya gadis dengan celana pendek sobek-sobek dan kutang melar-melar dengan pantat selebar tempat tidur queen size.

Dan kalau saya tertarik lebih jauh,

Saya akan memasak untuk pengetuk pintu. Karena dia tamu. Dan mengagungkan tamu adalah keharusan.


Salam sayang,

tita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar