Rabu, 03 Agustus 2011

Merasa Kehilangan Itu Egoisme Terbesar (Menurut Saya)

Hai.

Saya kangen menulis blog. Sekangen saya kepada beberapa selinting orang. Kangen kepada orang tidak selamanya bisa dipenuhi, seperti cangkir yang berharap diisi teh manis hangat namun apa daya tetap kosong karena kehabisan stok kantong teh. Ini salah satu kangen yang selalu bisa diobati dengan ciamik: menulis.

Kehilangan.

Pagi ini saya terpikirkan hal menyeramkan ini. Saya pikir: kehilangan adalah egoisme terbesar manusia. Kenapa egoisme? Saya sungguh tidak bermaksud untuk menyepelekan perasaan kehilangan siapapun yang pernah merasakannya, baik kehilangan hal-hal sepele sampai hal-hal penting yang tampak sudah seperti menjadi bagian hidup. Bukan. Tapi seperti mata uang, hidup ini dua sisi dan saya harap saya bisa cukup membantu melihat sisi yang lain, selain sisi yang secara manusiawi langsung terasa.

Kehilangan itu sedih. Kesal. Putus asa. Apa lagi? Bahkan beberapa kehilangan cukup untuk membuat manusia rasanya ingin hilang juga saja.

Kehilangan itu egois. Karena kehilangan dekat dengan kepemilikan. Tata bahasa Inggris bahkan dengan lantang menggolongkannya menjadi kata posesif: mine, yours, ours, theirs. Tidak pernah memiliki maka tidak akan pernah merasa kehilangan. O if only life could goes on in that simple way.

Saya beberapa kali merasa kehilangan: barang dan manusia. Dan entah ini terjadi pada orang lain atau tidak, namun beberapa kali itupula saya selalu melihat kehilangan itu dari sisi saya: dompet hilang, ah padahal saya sudah beli itu mahal-mahal. Kekasih hilang, ah padahal saya sudah memberikan apa yang saya punya dan bisa. Dan mama saya pun setuju, ketika ia kehilangan orang tuanya, hal yang terpikirkan pertama kali olehnya adalah tentang dirinya: saya yatim piatu, saya belum memberikan banyak bagi orangtua, saya belum membahagiakan mereka, dan beberapa saya-saya lainnya. Pada akhirnya baru mama saya berpikir: bagaimana orangtua saya di kehidupan selanjutnya? Bahagiakah? Lalu berdoalah dia. Itu setelah melalui proses akuisme yang lama.

Keyakinan saya mengenai kehilangan adalah egoisme makin bertambah ketika rasa kehilangan itu hanya bisa menghantui atas sesuatu yang saya butuhkan dalam level yang tinggi. Misal, punya kekasih, selalu diantar-jemput, ditemani ini-itu, lalu ketika ditinggalkan, maka kehilangan akan hinggap lebih lama dalam hati. Atau punya orangtua, semua hidup kita bergantung padanya baik materiil maupun spiritual, ketika kehilangan, seperti seluruh dunia ikut menghilang. Karena somehow beberapa manusia merasa butuh hal yang sudah hilang itu.

Maka, belajar merasa tidak kehilangan, bisa menjadi salah satu penakar egoisme yang baik. Karena ketika sesuatu itu hilang, bukan hanya saya saja yang sulit. Si dompet saya yang dicopet mungkin berakhir tragis di tong sampah. Atau kekasih yang meninggalkan saya mungkin juga merasa hal yang sama dengan saya. Lucu sih, tapi saya harus sarankan: ketika kehilangan, berempatilah dengan hal yang hilang. Karena dia pun belum tentu baik-baik saja dengan menjad hilang.


Mohon maaf atas kedangkalan akal.


Sayangselalu,
Tita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar