Selasa, 09 Agustus 2011

Ketika Balikan Ternyata Bukan Solusi

Hai.

Sore ini saya agak santai. Dua teman pulang-bareng kebetulan tidak ikut pulang bareng, jadi saya punya waktu beberapa jeda berleyeh-leyeh sebentar di kantor dan baru mengangkat pantat nanti, sekitar pukul 5. Dilihat dari lantai 12, Jalan Jenderal Sudirman sudah penuh sesak. Rasanya ingin pinjamkan masker bunga-bunga saya ke sang Jenderal. Pasti dia kedebuan.

Well.

Saya sedang berpikir tentang sesuatu: balikan. Cieh. Ya, balikan. Atau istilah rapihnya, kembali ke kekasih lama yang sudah putus hubungan dengan kita.

Terdengar simpel. Kadang populis. Kadang chessy.

Beberapa orang memilih untuk balikan atau beberapa orang berpikir kenapa si A nggak balikan aja sama si B. Opini demikian kerap terjadi pada pasangan yang hubungannya sudah terlanjur berlarut-larut dalam satu tahapan yang tidak maju-maju, atau mungkin saking sudah sampainya pada tahapan paling wahid alias mentok.

Tapi, apakah benar sesimpel itu?

Hubungan yang pernah terjalin menjadi hubungan berkasih-kasihan dan kemudian terputus, pasti ada masalah. Ketiadaan masalah buat saya, tidak mungkin. Pasti ada, besar atau kecil, dengan daya rusak luar biasa atau bahkan terlalu tidak signifikan. Pokoknya ada masalah. Rumusnya bisa jadi: masalah + ego yang tidak mau dikompromikan = hubungan yang tidak bisa dilanjutkan. Maka, tus, terputuslah.

Mari melihat lebih dekat: masalah.

Ini adalah faktor utama yang kadang membuat sebagian para patah hati lupa bahwa mereka seharusnya tidak buru-buru membuat keputusan untuk balikan, karena somehow somewhat masalah belum terselesaikan.

A dan B adalah kekasih. A seorang artis cantik sedangkan B laki-laki dengan jam kerja super normal. A kerap sibuk dengan berbagai jadwal keartisannya, berbeda dengan B yang selalu punya waktu baik untuk kencan kilat pada jam makan siang, maupun kencan berlama-lama di malam minggu. Karena kesibukan A, maka pasangan ini jarang sekali bertemu. Masalah muncul dan kesepakatannya adalah berpisah.

Apa masalahnya? Waktu. Seharusnya A mau lebih fleksibel, tapi tampaknya ia enggan. Inilah egoisme. B juga bisa lebih fleksibel, mengdatangi A ke lokasi syuting, misalnya, atau sejuta cara kreatif lain, tapi tampaknya ia pun enggan. Inilah egoisme B. Ketika berpisah lalu apa yang muncul? Rindu, penyesalan dan sederet kata-kata melankolis lain. Tiba-tiba pun jadi gemar lagu-lagu Kahitna.

Kemudian, mereka ingin balikan. Karena bagi mereka, berdua lebih baik, lebih bahagia.

But they seem to forget the problem. Apakah sudah dipecahkan?

Kalau A tetap sibuk dan B tetap tidak mau kreatif, apakah akan ada pengakhiran hubungan kedua kali? Memulai kembali tanpa solusi masalah terdahulu, ibarat lagu dangdut gali lobang tutup lobang bagi saya. Kalau memang A atau B tidak ingin mengalah satu sama lain, well, hanya untuk saling menemani dengan status kekasih, it is just another fake that would be forgotten once they find another-shiny one.

Kebanyakan orang cuma takut sendirian. Atau, gengsi sendirian?


Cheerup,

Tita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar