Jumat, 19 Agustus 2011

Pers: Pelemahan Intelegensia (?)

Eaa.

Judul saya ilmiah banget ya, Pers: Pelemahan Intelegensia (?). Baiklah. Mengklaim diri sebagai seorang sarjana hukum yang tidak membeli ijasah, saya merasa perlu membuat perenungan-perenungan yang sifatnya agak melibatkan banyak logika dibanding perasaan. Walaupun sebagai perempuan yang bukan merupakan hasil peralihan jender, saya agak sulit pakai logika. But this is why human are perfect among other creatures: we are able to adjust ourselves based on conditions, no matter what the gen and hormone influences us.

Pers. Dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999, Pers didefinisikan sebagai:

[lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media eletronik dan segala jenis saluran yang tersedia]

Panjang ya? Ahahaha. Oke, pada intinya, menurut saya, pers itu merangkum informasi yang diperoleh dengan metode jurnalistik lalu kemudian disampaikan. Mendengar kata 'jurnalistik' disini menuntun saya pada sebuah profesi: wartawan. Maka, bagi saya, pers dekat sekali dengan wartawan. Keberadaan pers adalah karena wartawan exist.

Wartawan sendiri, di mata saya, merupakan profesi yang menuntut banyak dari sebuah pribadi, mulai dari waktu, keberanian, konsitensi, dan yang paling top notch: intelegensia. Bagi saya, nggak mungkin wartawan nggak pintar. Kalaupun tidak pintar, itu sama menyebalkannya dengan penyanyi yang suaranya jelek.

Sebagai sesosok yang pintar, seharusnya wartawan melalui pers, mampu membuat orang lain juga pintar. Loh? Iya, dong. Apalagi nantinya hasil kegiatan jurnalistik mereka dipublikasikan dan disampaikan, pastinya berisi suatu hal yang either berguna atau memberi input baru pada otak pembacanya. Yah, paling banter, bisa mengingatkan pembaca tentang suatu hal yang sempat terlupa.

Lalu, bagaimana kalau pers (boleh nggak saya include wartawannya juga?) malah membuat yang membaca menjadi bodoh? Well, at least I do. Saya merasa semakin kesini, presentase merasa makin pintar dan merasa makin bodoh setelah mengkonsumsi pers, terutama dari layar kaca, adalah 50:50.

Contoh simpel. Kata paten. Beberapa waktu lalu, saat kita heboh karena Malaysia mengklaim beberapa budaya Indonesia, hampir semua pihak teriak: patenkan ini, patenkan itu, dan sebagainya (lihat ini) (well, tapi kok diapprove ya sama Kemenkumham? CMIIW). Padahal, undang-undang jelas membatasi paten pada inovasi yang terkait teknologi. Jadi jelas kata 'paten' tidak bisa seenaknya digeneralisasikan sehingga bisa diaplikasikan pada semua produk. Bagaimana dengan tari (Reog Ponorogo, misalnya) atau lagu (Rasa Sayange yang bikin heboh karena jadi jingle di iklan Malaysia, misalnya). Akan lebih baik kalau pers mau memperkenalkan hak atas kekayaan intelektual lain, supaya mispersepsi tidak terus-terusan terjadi.

Itu pada tataran yang simpel. Kenapa simpel? Karena pelemahan intelegensianya terletak pada kata, mudah terlihat, mudah dikoreksi.

Hal yang lebih besar lalu muncul saat pers mulai mengulang-ulang berita yang itu-itu saja tanpa ada perkembangan terbaru, dimasukkan teori-teori 'katanya' dan lalu menghilangkan isu dari pokok berita beberapa bulan kemudian tanpa pernah disinggung lagi padahal isu dan permasalahannya tidak pernah selesai. Inilah pelemahan intelegensia.

Pers membuat seolah-olah semua pendengar, pembaca dan penontonnya adalah penikmat infotainment yang makin dibumbui aneh-aneh makin girang serta tak butuh aspek lain kecuali sensasi. Persoalan Gayus, berbulan lalu, dibahas sana sini tiada henti. Sekarang, biarpun vonis sudah dijatuhkan, tapi persoalan yang pernah terungkap bukan hanya mengenai satu orang itu saja. Lalu kemana pers? Tidakkah mereka penasaran dengan efek domino dijadikannya Gayus terpidana? Kemudian muncul Nunung menuai sensasi, lalu Nazaruddin. Siapa besok? Pesan saya pada semua objek sensasional: jangan khawatir, you will soon be forgotten. Dan pers punya peran besar menyebarkan sifat pelupa dan mudah melupakan ini, bagi saya.

Saya nggak pernah peduli sebuah badan pers ditunggangi siapa dengan kepentingan apa. Karena memasukkan unsur kepentingan dalam disiplin ilmu seperti, ng, membuyarkan semua teori agung dan lalu berkata 'kumaha engke'. Apa ini soal meraup untung banyak? Manusiawi.

Dan manusiawi juga bagi penikmat pers untuk kemudian memintarkan diri dan menjadi pintar tanpa bantuan pers (dan wartawannya). Lalu pada saat itu, media pers sensasional cuma bisa manyun. Oplah turun. Mana uang? Mana popularitas? 2014 masih jauhpun, tapi ilfil sudah melanda mayoritas orang manusiawi yang saya maksud pada paragraf ini.


openupyoureyesandmind,

love, tita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar