Sabtu, 20 Agustus 2011

Soal Menjadi Pemilih dan Gengsian

Seorang teman dari masa kuliah, Titi namanya, semalam mengatakan pada saya bahwa postingan favoritnya dalam blog saya adalah yang berjudul 'He's Just Not That Into You'. Lalu, pagi ini tiba-tiba saya ingat hal itu dan membuat saya membuka kembali postingan bertanggal 4 Mei 2011 itu.

Well. Bagi saya, ternyata hal yang diungkapkan dalam postingan itu, kerap berulang. Entah bagaimana laki-laki terus melakukan kesalahan yang sama *loh, kayak perempuan enggak. Hahaha*.

Tapi saya enggak bicara soal yang kurang mengenakkan seperti itu. Pamali pagi-pagi membahas hal yang berpotensi merusak mood seharian. Yang ingin saya ceritakan pagi ini adalah mengenai betapa saya bahagia mengetahui bahwa saya bukan orang yang picky dalam memilih siapa laki-laki yang saya inginkan.

Saya perempuan normal yang, praise the Lord, mempunyai hal-hal yang dibutuhkan seorang perempuan untuk masuk ke dunia pasar publik dengan terms and condition standar. Artinya, bukan tidak mungkin ada satu-dua laki-laki tertarik pada saya. Tapi seperti sebuah teori standar Venus dan Mars, ketika si Mars tertarik, apakah harus Venus juga tertarik? Sayangnya, hal seperti itu tidak berjalan secara matis. Jika iya, maka tidak serulah dunia ini. Dan saya rasa Anang dan Ashanti berikut Syahrini tidak mungkin bisa sepopuler sekarang.

Soal ketertarikan. Bagi saya, perasaan tertarik adalah segalanya pada awal sebuah hubungan yang nantinya akan didasarkan pada sebuah rasa sayang, yang walaupun tidak dipungkiri, rasa bisa saja berkurang kadarnya dari masa ke masa. Hal ini berlaku bagi manusia yang membutuhkan manusia lain, sebagai lawanjenisnya ataupun yang dianggap sebagai lawanjenisnya. Kalau sudah membaca Madre karya Dewi Lestari, 'ketertarikan' ini buat saya adalah induk dari perasaan-perasaan selanjutnya. Tanpa rasa tertarik, well, turunan rasa tidak mungkin ada.

Saya adalah perempuan yang kerap tertarik terlebih dahulu pada seorang lawan jenis. Mungkin dari 5 lawan jenis yang saya suka, hanya 1 orang yang ketertarikannya tidak berawal dari saya. Dan dengan latar belakang seperti ini, beberapa teman menyebut saya: picky atau pemilih.

Awalnya, saya bisa dengan mantap berkata kalau saya tidak pemilih. Tapi setelah beberapa pertemuan dengan beberapa orang secara acak, saya mulai ragu. Kayaknya iya, saya orang yang pemilih. Lalu, masalah pemilih ini, kadang dibesar-besarkan oleh beberapa orang lain sehingga menjadikan saya punya dua sifat kurang mengenakkan: pemilih dan gengsian. Hah. Bakal jadi perawan tua, kata mereka.

Kemudian, ketika sedang hendak mengurasi rasa 'pemilih' saya, saya berpikir: memangnya saya nggak boleh memilih? Dan soal gengsi, loh bukannya itu soal menjaga harga diri tapi dalam versi dimana ego terdengar lebih besar dibanding logika?

Jelas saya punya hak untuk memilih, karena itu akan terkait dengan penggambaran saya di mata orang lain, terutama si orang yang tertarik pada saya. Dan hal ini penting untuk menentukan kalau saya punya gengsi: hanya mau dengan sesuatu yang sreg di hati saya. Gengsi banget kalau harus umbar sana sini padahal saya nggak menikmati. Maka, saya mantap. Iya saya pemilih dan gengsian.

Tapi, saya seorang dengan kemauan. Jika saya tertarik, saya punya cukup kemauan untuk mengusahakan terjadi timbal balik yang wajar dan bersifat simbiosis mutualisme. Dan saya rasa, saya nggak khawatir lagi dengan dua sifat saya diatas, karena sepemilih apapun dan segengsi apapun, ketika ada ketertarikan, saya masih punya kemauan untuk mengusahakan.


Happy Saturday!

love, tita

1 komentar: