Rabu, 27 April 2011

Dipeluk Mama

Topik yang sangat umum, saya rasa.

Mama. Ibu. Bunda. Umi. Atau sebutan mahasuci lainnya.

Tapi sebagai sosok sekaligus 'pekerjaan', membahas Mama (saya menggunakan kata Mama, ya) tidak akan pernah habis. Saya malam ini ingin berbagi cerita singkat. Cerita yang langsung terjabar dalam pikiran saya, hanya karena sentuhan Mama beberapa menit saja, tidak sampai lima menit mungkin.

Suatu pagi buta di hari Senin.
Malam Senin, karena adik bontot saya sedang TC Paskibra, saya mencuri posisinya, tidur sama Mama. Ini adalah kali pertama setelah kira-kira 15 tahun atau lebih saya tidak tidur berdua saja dengan Mama. Saya anak pertama dan langsung mendapat kamar sendiri ketika lahir. Kebetulan juga tidak gila ASI. Jadi memang bisa tidur sendiri. Kalau kata Mama, dari umur tiga tahun juga sudah tidur sendiri. Jadi, tidur bersama Mama merupakan salah satu hal 'ajaib' buat saya.

Mama saya punya kebiasaan bangun jam 3 pagi, atau sekitarnya. Kadang untuk berdoa, kadang sahur karena ingin puasa. Pagi itu, saya ikut terbangun sebenarnya, cuma masih malas sekali, jadi saya memilih untuk mencoba tidur lagi. Ketika saya sedang berada diantara sudah tidur-dan-belum, saya merasa tangan lembut membelai pelan rambut saya. Pelan dan dengan gerakan teratur. Mama saya. Lalu saya pura-pura merem.

Apa yang saya rasa?
Terharu dan aman.
Saya merasa beliau tahu belakangan saya sering memberatkan pikiran saya dengan hal-hal kurang penting sehingga mood saya berantakan. Beliau juga paham betapa saya sesungguhnya memendam berjuta rasa karena menjadi pengangguran yang kehabisan tabungan. Saya rasa beliau mengerti belakangan anak gadis tertuanya lumayan cengeng dan hobi menangis menggerung-gerung.

Ah. Mungkin Mama hanya menduga-duga. Tapi dugaan seorang Ibu itu 99,9% benar!

Ya, Mama.

Beberapa bulan ini memang saya suka negative thinking. Berpikir Tuhan usil sama saya. Memberi cobaan yang tidak saya duga-duga. Saya juga pusing tujuh keliling karena digit tabungan makin berkurang dan belum dapat pekerjaan. Hah. Mam, calon suami tak punya, bahkan di akhir bulan depan mungkin harus menodongmu lagi uang jajan. Dan, iya, Mam, kali ini patah hati lagi. Tapi saya berlebihan sekarang. Lupa kalau masih punya beberapa cc otak untuk dipakai selain beberapa ons hati.

Mungkin terlalu banyak rahasia di antara kita, Mam. Banyak hal yang saya takut menceritakannya. Takut Mama sedih atau malu punya anak saya. Tapi Mama selalu berhasil tahu. Paling tidak, tahu suasana hati saya. Sekaligus tahu bagaimana menghilangkan biji kedondong yang serasa menyumbat tenggorokan ini.

Sebuah belaian lembut beberapa menit. Sebuah Magnum Classic. Sebuah joke garing yang entah kenapa, saya selalu ngakak dibuatnya. Sebuah ijin untuk melaju di JORR dalam 120 km/jam. Dan masih banyak sebuah-sebuah lain.

Dan setengah jam lalu, sebuah pelukan. Pelukan disaat saya menangis kencang. Sampai susah napas. Mama cuma balas peluk dengan erat dan bilang: Mama selalu doakan kamu, Nak. Ah! Setelah itu ikut menangis pula Mama. Jadilah kami sepasang ibu-anak berlomba menangis.

Tapi saya tenang. Pelukan itu lebih rasanya dari pelukan sahabat manapun. Belum lagi bisikan doanya di telinga saya. Dipeluk Mama, obat hampir semua sesak saya.

Tuhan. Sayangi Mama, sejuta kali lipat dari sebagaimana Mama menyayangi aku sejak kecil. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar