Minggu, 24 April 2011

Pembantu Rumah Tangga

Atau mereka biasa dipanggil dengan sebutan 'mbak', 'mbok', 'bibi' (no offense untuk suku Sunda, hehe) atau ada juga tetangga saya yang memanggil PRT-nya dengan sebutan 'bude' dan 'tanta'. Di rumah saya ada seorang PRT. Mbak Eni namanya. Tapi saya beberapa kali senang memanggilnya dengan sebutan 'nyai'.

Mbak Eni sudah bekerja di rumah saya sejak adik saya yang nomor dua berumur 3 tahun, atau saya sekitar umur 7 tahun. Kemudian dia pindah bekerja di pabrik kain dengan alasan gaji yang lebih besar saat saya berusia 12 tahun, namun kembali bekerja di rumah kami sejak 2004 sampai sekarang. Mbak Eni yang saya kenal ketika kecil jauh berbeda dengan Mbak Eni yang saya kenal pada 2004. Waktu saya kecil dulu, Mbak Eni gemar pakai celana jins pendek sobek-sobek. Lagu Elvi Sukaesih selalu terlantun lantang dan merdu dari bibirnya. Ketika saya sedikit besar, tahun 2004, Mbak Eni sudah pakai kerudung dan nggak nyanyi dangdut keras-keras lagi. Hihi.

Sebagai seorang PRT, Mbak Eni bener-bener super. Dia adalah penjaga saya, literally, karena pernah beberapa tetangga laki-laki yang kurang ajar didamprat habis sama dia. Dia juga guru ngaji Mama saya, karena dulu Mbak Eni pernah sekolah di pesantren dan ngajinya fasih sekali, merdu banget.

Aturan di rumah terhadap dia super jelas: Mbak Eni itu tugasnya bantu, bukan mengerjakan semuanya. Apalagi kalau sudah selesai Magrib, kecuali terdesak, itu sudah jadi haknya Mbak Eni untuk having her her-time. Terpaksa deh, gue cuci piring sendiri. Ahahaha.

Kami sangat dekat dengan Mbak Eni. Dia hapal betul tabiat masing-masing anggota keluarga saya. Kapan saya bad mood, kapan adek-adek saya ngambek, kapan Mama saya PMS, dan kapan Papa saya sensi. Dia hafal dan tahu persis how to handle us.

Malam ini, nggak ada Mbak Eni di rumah. Dia sedang cuti. Cieh. Mau nonton Uje (Ustad Jeffry) di masjid kampungnya di Parung. Tadi saya sempat mampir ke kamarnya untuk mengambil beberapa baju yang disetrikanya (dia memang suka menyetrika di kamar sendiri). Saya lalu terpaku pada sebuah baju. Baju muslim atasan warna hitam. Setelah saya ingat-ingat, Mbak Eni selalu (selalu, lho) pakai baju hitam itu setiap menghadiri acara yang menurutnya penting, seperti perkawinan kerabatnya di kampung. Saya lalu diam sejenak. Mikir.

Bagaimana bisa, setahun kemarin saya sudah menghasilkan uang sendiri, tapi belum pernah sekalipun membelikan dia baju bagus untuk ke pesta? Berapa sih, paling harganya? 175ribu? 250ribu? Astaga.

Saya makin diam. Malu, sih. Malu karena sadar saya begitu pelit. Disaat saya beli baju baru beberapa potong, saya malah nggak ingat sama sekali dengan Mbak Eni yang kamarnya persis di sebelah kamar saya. Padahal setiap hari dia yang urus semua urusan pribadi saya, mencuci baju saya dan merapihkan kamar saya. Pokoknya dia baik banget sama saya. Harusnya saya bisa kasih sesuatu sebagai balasan semua perbuatan baiknya.

Saya harus, paling tidak, sekali membelikannya baju pesta. Supaya dia gaya diantara teman-temannya. Oh iya, buat Ummi juga (ummi adalah mamanya Mbak Eni, waktu kecil saya suka main ke Parung dan ummi menganggap saya cucu sendiri. Manis, deh).

Yah. Wacana mengenai hak PRT memang masih alot dibahas dimana-mana. Pemerintah sih, tampaknya agak sulit diharapkan untuk memberikan naungan yang baik bagi mereka. Sebagai masyarakat yang sekolah cukup tinggi dan punya hati, baiknya memang saya mulai dari rumah. Berempati dan menghargai hak-hak Mbak Eni.

Tuhan. Semoga kuburan saya nggak sempit karena sempat terlalu pelit. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar