Rabu, 27 April 2011

Seperti Uang Koin

Apa sih seperti uang koin?

Kalau hasil nguping pembicaraan penumpang sebelah, atau dengar komentar teman-teman segeng yang sama sok-tahu-nya dengan saya, istilah 'seperti uang koin' itu diibaratkan sebagai satu hal yang punya dua sisi. Muka dua? Ouch, itu terlalu kejam. Tentu bukan begitu maksudnya. Lebih positif (kerena sesungguhnya tidak baik memenuhi pikiran saya dengan hal-hal non-positif).

Lalu teman saya yang sarjana hukum nyeletuk: kenapa nggak seperti pedang bermata dua? Oh. Tentu tidak semaskulin itu. Pedang berfungsi menebas, membuat luka. Makanya istilah itu digunakan salah satunya dalam lembaga penahanan, karena di satu sisi menebas hak asasi manusia untuk bebas, tapi jika itu diutamakan, maka akan menebas hak asasi manusia lain, yaitu merasa aman dari rongrongan pelaku kejahatan. Yah, cukup kuliahnya.

Maka itu, jelas tidak enak pakai bahasa pedang bermata dua. Uang koin lebih pas. Kenapa uang? Mmm, materialistis? Hahahaha. Bukan. Supaya lebih dramatis saja. Karena ketika terjatuh akan berbenturan dengan lantai dengan ramainya. Cring cring! Menarik perhatian. Semua pasti noleh. Bahkan mungkin beberapa akan mencari dengan matanya. Lumayan 500 perak, bisa untuk beli sebiji gehu (toge tahu alias tahu goreng).

Cukup.

Saya ingin cerita tentang sesuatu, yang sangat 'uang koin'. Dua hal yang ada dalam satu.

Hal pertama.
Saya memanggilnya Jendral. Menurut Wikipedia, jenderal adalah salah satu pangkat ketentaraan, di Indonesia digunakan oleh TNI Angkatan Darat dan dilambangkan dengan empat bintang. Menurut kacamata super-awam saya, jenderal itu galak, tegas, berani dan berdiri tegak. Saya pasti nggak berani menatap matanya. Takut. Wibawanya buat saya ngeri menjawab pertanyaan, takut salah. Karena kalau saya salah, akan ada hukuman. Mungkin push-up. Atau lari 12 putaran lapangan sepak bola? Ah. Dua-duanya bikin ngeri.

Karena pandangan super-awam itulah saya menyebutnya jenderal. Orang yang saya takuti nomor dua setelah ayah saya. Eh. Bahkan dalam kondisi tertentu, saya paling takut sama jenderal. Kalau jenderal sudah bilang 'tidak', merajuk berjuta kali pun tampaknya tak ada pengaruh. Dia akan tetap dengan 'tidak'-nya. Ketika jenderal marah tapi saya malah memilih cemberut daripada push up, jenderal ini tidak akan peduli. Saya nggak paham hatinya terbikin dari apa, keraskah? Atau malah alot? Buat jenderal, ketika bersamanya, maka hukumnya lah yang berlaku. Saya? Letnan Dua. Percuma mendebatnya.

Tapi jenderal ini lucu. Perutnya sudah tidak six packs. Gendut. Terlalu banyak makan bakmi. Atau kwetiauw sapi? Ah, mau sebuncit apa perutnya, dia tetap jenderal. Tak pernah mau menurunkan pangkatnya sedikit di depan saya. Ya sih, mana ada lagi pangkat perwira di bawah Letnan Dua. Kecuali jenderal mau jadi Bintara atau Tamtama lagi.

Jenderal itu gagah! Dia mencarikan makan malam-malam. Sendirian! Saya sih, nggak berani. Jenderal juga bawakan barang yang buat perempuan lumayan berat juga mencarikan taksi. Dia juga bersih, suka beres-beres yang kotor-kotor. Lucunya lagi, jenderal baru tahu kalau eskalator Carefour bisa menahan trolinya supaya tidak meluncur. Kebanyakan perang?

Hal kedua.
Saya memanggilnya Amang. Amang itu ada dua kegunaan, untuk menyapa ayah atau untuk menyapa laki-laki pada umumnya. Saya merasakan keduanya, maka itu saya sebut Amang.

Amang paling keras menegur ketika saya salah, seperti Papa. Walaupun, Amang lebih keras, kadang. Apapun yang ditegurnya dari saya, kalau mau saya pikir-pikir semenit dua menit, bermaksud untuk melindungi saya, seperti naluri laki-laki pada umumnya terhadap perempuan. Amang cuma tidak ingin saya ceroboh, bertindak bodoh apalagi salah. Tidak ingin saya dilihat rendah orang. Yah walau, seperti anak gadis kebanyakan, saya suka keras kepala, tidak percaya Amang, dan berpikir dia hanya kolot saya seperti Papa saya atau posesif saja seperti laki-laki kebanyakan.

Amang adalah bahu ternyaman untuk bersandar, seperti Papa. Saya merasa bisa berpuas-puas menangisi apa saja, mulai dari yang penting sampai hanya soal badai menjelang menstruasi. Dan seperti (mungkin) laki-laki kebanyakan, Amang cuma bisa suruh saya diam. Tapi tidak marah. Atau kadang seperti Papa, menyogok dengan coklat. Oh iya, Amang juga seperti Papa. Kadang suka saya minta 10ribu perak untuk ongkos dan karena dia laki-laki, agak gengsi untuk tidak kasih pastinya. Amang juga bingung kalau di supermarket. Katanya, seharusnya saya yang hapal letak barang-barang karena saya perempuan. Ah, dasar laki-laki.

Amang ingin saya nyaman. Tidak membiarkan saya menutup pagar yang berat. Dan yang paling menyenangkan, menyetujui saya yang malas mandi kalau akhir minggu. Amang seperti salah satu titik cerah ketika sekeliling saya hanya ada hitam. Sungguh seperti laki-laki yang beberapa jauh jarak tahunnya dengan saya. Dia juga senang ajak saya diskusi, tidak ingin saya menjadi tua dan tolol. Ah, pokoknya bawel mirip bapak-bapak ke anak perempuan. Mirip laki-laki yang punya perhatian ke perempuan.

Inilah maksud uang koin saya. Satu orang tapi Amang dan jenderal.

Setelah marah besar, bisa jadi sangat lembut. Setelah tertawa-tawa, bisa jadi sangat galak hanya karena saya salah omong. Ketika mengirim pesan, kadang singkat dan harus segera dilaksanakan, kadang panjang, seperti lama tidak berjumpa dan ingin berbincang banyak. Kadang memberi jam malam, kadang membiarkan saya lari-larian di luar sampai puas.

Sekarang, jenderal sudah selesai bertugas. Amang pun sudah merasa harus melepas saya. Tapi pernah diajar seorang jenderal itu membekas, lho :) dan pernah diperhatikan Amang membuat saya punya standar laki-laki yang baik. You soon will be proud of me.



Sudah tidur, Amang?
Siap, Jenderal! Saya nggak akan begadang-begadang lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar