Teruntuk perempuan-perempuan terdahulu di tanah Indonesia,
Mulai dari Sabang sampai Merauke,
Timor sampai ke Talaud,
Mulai dari masa Kutai Kertanegara sampai untaian pulau ini disebut Indonesia
Pertama-tama, aku ingin menghaturkan kekagumanku,
Pasti sulit bergerak gesit dengan batasan-batasan yang mengekang bagai kain bawahan mengekang kaki, tapi itu sama sekali bukan alasanmu untuk berhenti. Kau terus berpikir sambil menimba, menjerang air panas, memandikan selusin anak-anak, bagaimana supaya dapat hidup lebih baik, makan lebih baik dan mati dalam keadaan baik.
Pasti sangat iri rasanya tidak boleh pergi sekolah hanya karena kalian perempuan. Padahal mungkin kebanyakan laki-laki yang pergi sekolah itu cuma manusia dungu yang hanya mampu menghisap cerutu kiriman Sekutu. Padahal kalian juga mampu dengan mudah menjelaskan bagaimana sistem kerja katrol yang dipakai menimba air! Bagaimana jeruk nipis menyembuhkan penyakit batuk! Tapi hidup tetap sebatas tembok pekarangan rumah.
Pasti berat bagimu merasakan tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa padahal isi kepalamu mempunyai agenda untuk mengadidayakan tanah airmu. Tidak tahukah laki-laki bahwa bukan hanya mereka yang punya gagasan sosialisme, kemanusiaan dan kesejahteraan? Bahkan isi kepalamu ditambah dengan gagasan persamaan hak laki-laki dan perempuan, sesuatu yang juga mulia.
Mengapakah aku tidak diberi kesempatan yang sama? ucapmu. Namun hanya dalam hati. Mungkin sedikit tersampaikan oleh Kartini, Dewi Sartika atau Nyi Ageng Serang.
Tak cukupkah pembuktian diriku untuk dipandang sama? ucapmu. Setelah apa yang pernah dilakukan Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cristina Martatiahahu.
Apakah di benakmu kemudian? Kekuatan apa yang membuatmu terus berkata 'perjuangan belum berakhir'? Padahal sekitarmu tiada henti menggerusmu dengan teori kelaki-lakian. Sungguh tidak akan ada kekuatan sebesar itu. Akupun mungkin tak mampu.
Kedua, aku ingin meminta sudimu untuk memaafkanku.
Aku tidak lagi sulit bergerak, sudah banyak diciptakan celana dari berbagai bahan untuk perempuan begitupun dengan kesempatan, tapi aku malah menyulitkan diriku untuk bergerak, mengkang diriku dengan pikiran-pikiran yang tak sampai seujung kukumu. Aku tidak menimba lagi, tidak menjerang air lagi, dan tidak memandikan selusin anak-anak, tapi aku kadang berhenti berpikir.
Aku pun sudah boleh sekolah. Sampai setinggi apapun, strata 4 kalau ada. Berjuta beasiswa untuk perempuan diberikan. Aku didorong untuk sekolah. Tapi aku berhenti di strata 1. Bahkan lebih parah, aku berhenti membaca, aku berhenti menjawab pertanyaan-pertanyaan bahkan tentang kaumku sendiri. Aku kesampingkan itu, tergoda televisi dan promo diskon mal.
Aku sudah boleh berbicara tentang apapun untuk Indonesia. Melalui media apapun. Laki-laki tidak lagi superior di bidang ini. Tapi aku memilih diam, menghindari topik yang seperti tanpa jalan keluar ini. Aku lebih suka membahas lain yang tidak ada hubungannya dengan negara ini. Mendurhakai Ibu Pertiwi.
Apa baktiku sebagai perempuan berbangsa?
Ampuni aku.
Aku seharusnya mampu bergerak dan berpikir lebih gesit tanpa kain, tanpa anak selusin, tanpa kesulitan jerang air dengan kayu bakar. Aku seharusnya mampu menjadi lebih pintar dengan wawasan seluas dunia, tidak terbatas kasur, dapur dan tembok pekarangan rumah. Aku seharusnya bisa lebih lantang berteriak tanpa dilirik sinis sebagai gender tak pantas berpendapat.
Beri aku satu tahun lagi.
Dua puluh satu April tahun depan, akan aku tunjukkan, aku punya kontribusi sebagai perempuan berbangsa.
Sayang dan hormatku selalu,
prittakartika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar