Apa sih masalah ter-lebay yang mungkin dipunyai oleh seorang perempuan berusia hampir 24 tahun dan hidup di pinggiran selatan kota Jakarta dengan keluarga yang (Alhamdulillah) tidak brokenhome?
I was talking about myself. Hahaha.
Yap. Diri saya sendiri.
Biarkan saya menceritakan hidup saya selama hampir 24 tahun ini secara sangat singkat.
Saya lahir di keluarga yang cukup. Seingat saya, saya nggak pernah merasa susah makan atau susah beli mainan. Tapi, masih tetep kudu merasakan indahnya naik Metromini, Angkot, Andong, dan transportasi publik lain karena di rumah cuma ada satu kendaraan dan itu dipakai bekerja orangtua saya. Sampai saya kuliah kemarin, tidak pernah ada kesulitan finansial yang berarti. Makan cukup, belanja pakaian pun cukup.
Prestasi? Mmm, saya anak yang biasa-biasa saja. Fluktuatif sebenarnya. Saya pernah rangking 2 di kelas (waktu kelas 1 SMP kalau nggak salah) tapi juga pernah dapat straight 5 untuk Kimia, Biologi dan Fisika di kelas 2 SMA. Ketika kuliah pun saya menikmati berbagai variasi nilai, mulai dari A, B, C sampai D. Untung saya masih agak rajin kuliah, jadi belum pernah merasakan E.
Pertemanan? Saya rasa saya orang yang menyenangkan. Karena seingat saya, saya belum pernah dimusuhi siapapun, kecuali karena rok abu-abu saya kependekan atau nggak sengaja memiliki bentuk poni yang sama dengan senior waktu di SMA. Teman saya lumayan banyak. Cukuplah untuk sebagai tempat sampah (baca: curhat) dan teman main menggelinjang bergila ria. Populer? Nggak kayanya. Kalaupun waktu SMA saya agak ngetop, itu karena saya benalu sama orang-orang ngetop alias ngintil mulu. Hahahaha.
Percintaan? Ini juga biasa. Tidak ada yang terlalu ups atau downs. Saya pernah punya pacar, pernah ngerasain mutusin pacar, diputusin sampai dibilang 'nggak usah hubungin gue lagi'-pun pernah. Normal lah. Bukan kisah cinta yang terpisah karena maut lantaran pacar saya kena Leukimia dan saya butuh bertahun-tahun untuk move on (oke, ini terinspirasi sama Endless Love si drama Korea itu).
Intinya, hidup saya sangat normal. Sama sekali tidak mengadopsi cerita sinetron Indonesia manapun.
Lalu belakangan, saya merasa hidup saya agak rollercoasting. Apalagi sekarang. Super single dan tak punya pekerjaan di usia hampir 24 tahun dan di tahun kedua kelulusan saya. Is it hard? Yes! Pada awalnya. Kenapa? Karena seperti yang sudah saya ceritakan panjang lebar, hidup saya senantiasa berjalan sangat normal. Tidak banyak liku dan drama. Namun, entah kenapa Tuhan memilih untuk menguji kesabaran saya di tahun ke 24 hidup saya.
Berat, lho, menghadapi ini. Apalagi saya anak pertama. Sudah tidak seharusnya orangtua saya mengeluarkan sepeser pun rupiah untuk saya. Dana sudah harus dialokasikan sepenuhnya untuk kedua adik saya. Saya pun hampir 25 tahun. Sudah seharusnya saya tidak menambah-nambah pikiran orangtua saya dengan tidak memulai hubungan serius dengan laki-laki yang bervisi pelaminan. Selintas, saya berpikir, saya jauh diluar ekspektasi orangtua saya. Jauh sekali. Belum lagi tekanan, yang dirasakan, datang dari orang-orang sekitar. Baik yang menanyakan langsung, maupun yang hanya berbagi cerita akan menikah atau akan naik pangkat. Saya merasa tertinggal jauh di belakang.
Tapi saya rasa, inilah nikmatnya punya Tuhan. Terkadang, ini bukan masalah dosa atau pahala, neraka atau surga. Tapi mengenai tempat mengadu dimana kita sudah tidak perlu tahu malu. Karena kita toh nggak bisa lihat wajah Tuhan kalaupun Dia memandang kita dengan tatapan pathetic untuk setiap keluhan yang kita buat. But, He'll be there. Saya pun bisa percaya sepenuhnya sama Dia, kalau Dia Maha Menepati Janji. Dia Maha Adil dan pasti akan mengembalikan semua yang memang seharusnya jadi milik saya, pekerjaan dan jodoh. At my lowest point pun saya mengimani bahwa kata-kata ibu saya selalu benar. Beliau tidak pernah berpesan panjang-lebar. Hanya satu: sabar. Entah karena dia orang Jawa atau apa, tapi hanya itu yang selalu beliau bilang.
Saya pribadi punya kata-kata tambahan selain sabar. Kata-kata yang saya ulang berkali-kali setiap kali saya merasa fubar.
"Maka, nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan?"
At my lowest point, saya banyak belajar sabar. Dan tahu? Somehow, I don't feel that I am at my lowest point right now.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar