Minggu, 01 Mei 2011

Halo, Buruh :)

Selamat hari Buruh Internasional.

Sebagian awam, begitu mendengar kata buruh, yang terlintas adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar di dalam pabrik. Berseragam, bekerja dalam jumlah sangat besar dan semuanya merupakan masyarakat dari golongan kurang mampu. Intinya, kalau bisa punya mobil, bukan buruh, deh! Ya, sesempit itu.

Mari kita lihat.
Definisi buruh atau pekerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Ya, seluas itu.

Dan menurut saya, selama ini saya termakan oleh kesempitan berpikir tersebut. Yang berujung pada keapesan diri sendiri, sih. Tema 'buruh atau bukan' ini yang menjadi salah satu indikator keapesan saya akibat berpikir terlalu sempit. Akibatnya fatal, yaitu pengabaian hak-hak saya sendiri sebagai seseorang yang bukan cuma menanggung status sebagai manusia.

Salah satu faktor tidak tegaknya hukum, menurut saya, adalah ada beberapa pihak yang sesungguhnya dilindungi oleh hukum, bahkan secara khusus, contoh anak dan buruh, tidak mengetahui atau tidak mau tahu kalau mereka segitu dilindunginya. Jadilah, hukum cuma jadi riasan bak bangles warna-warni dalam pergelangan tangan seorang peragawati. Apalagi kalau penegak hukumnya cuek. Makinlah, dua-duanya cuek. Hapus saja peraturannya dari lembaran negara. Kan nggak begitu. Karena seperti yang didoktrinkan di kepala saya sejak tingkat satu, dan saya sort of menyetujuinya, hukum adalah panglima dan sarana perubahan dalam masyarakat.

Saya akan persempit dalam tema buruh ini, salah satunya sebagai penghormatan saya kepada manusia-manusia yang menyandang status buruh, dikarenakan sebagai individu lulusan sarjana, saya belum bisa berbuat apa-apa.

Buruh. Apa itu? Lihat atas. Sudah? Maka unsur-unsur buruh sangat mudah: bekerja dengan menerima imbalan. Lalu saya berkaca, apakah saya pernah disebut sebagai buruh? Tentu pernah! Saya pernah melakukan pekerjaan dan saya diberikan imbalan berupa gaji dari itu. Tapi, ternyata dulu saya gengsi untuk disebut buruh dan keburu diracuni dengan pendapat beberapa orang kalau pekerjaan saya adalah profesi. Jadi, saya persempit pengertian buruh dalam kepala saya dan mendongakkan dagu sambil berpikir, saya seorang profesional.

Dulu saya bekerja pada sebuah kantor konsultan hukum sebagai salah satu junior associate atau yah, sebut saja posisi paling bawah, helping hands bagi senior-senior saya yang sudah bertahun-tahun bekerja disana. Beberapa orang menyebut pekerjaan saya dengan 'pengacara' atau 'lawyer'. Tapi tidak ada istilah ini dalam konteks lembaga resmi. Dalam undang-undang yang disebut-sebut adalah 'advokat', yang mana untuk dapat dikatakan 'advokat' seorang sarjana hukum perlu memenuhi beberapa persyaratan lain. Singkatnya, saya tidak pernah jadi advokat. Saya hanya pembantu advokat. Lalu, saya buruh?

Bukan, saya lawyer. Begitu pikir saya waktu itu. Wong gaji saya besar dan jabatan saya bergengsi. Saya S1, lho, masak jadi buruh. Saya pun tidak merasa melakukan pekerjaan kasar. Yah, walaupun kadang menggotong-gotong Bantex tebal terasa kasar juga. Intinya, saya bukan buruh. Maka dari itu, saya, salah satunya, tidak berhak atas uang lembur dan hari libur minimal 1 hari atau 2 hari dalam satu minggu.

Padahal, kalau mau diselami, saya ini pernah jadi buruh. Dan kalau saja saya mau mengakui diri saya sebagai buruh, saya bisa mendapatkan hak-hak saya yang tercantum dengan gagah dalam undang-undang. Saya bisa banyak istirahat atau banyak uang karena lembur terus. Tapi, saya kemakan gengsi. Atau kemakan perasaan nggak enak hati macam perasaan emban terhadap Tuan Puteri? Istilah anak jaman sekarang, perasaan nggak enak hati macam pembantu baru. Padahal saya mampu lho berpikir dan menganalisa ini. Saya kan, sarjana hukum. Empat tahun saya makan lembar demi lembar peraturan perundang-undangan.

Pengabaian hak oleh individu, bisa karena tak tahu, bisa juga karena gengsi. Salah satu faktor tidak tegaknya hukum seperti yang saya bilang tadi, lah.

Melindungi mulai dari diri sendiri. Mari. Karena tanpa peduli dengan diri sendiri, bagaimana mau peka sama orang lain?

Mohon maaf atas kedangkalan akal :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar