Sabtu, 14 Mei 2011

Menjadi Perempuan



Saya suka sekali dengan Shanty.

Iya, Shanty yang artis itu. Suka bukan dalam arti ngefans berat, tapi saya menjadikannya salah satu contoh bagaimana menjadi perempuan.

Sebagai seorang individu yang lumayan berpendidikan (ya, jenjang S1 sekarang tampak lumayan mengingat banyak lulusan S2, entah betulan atau oplosan), saya paham betul apa yang wajib saya lakukan sebagai perempuan. Baik hal-hal yang muncul dalam kepala berdasarkan keinginan dan keyakinan diri sendiri, maupun hal-hal yang di 'doktrin' lingkungan saya melalui norma-norma.

Sebagai perempuan, saya sebaiknya memasak. Sebaiknya bisa hamil. Sebaiknya bisa mengurusi anak-anak. Sebaiknya bisa mengatur uang dan banyak hal 'sebaiknya' lainnya, termasuk tuntutan beberapa laki-laki bahwa perempuan sebaiknya jadi ibu rumah tangga.

Saya pernah merasakan menjadi perempuan yang super. Super bagaimana? Ya, super. Hampir semua hal bisa saya kerjakan sendiri. Mulai dari mencari uang sampai menyetir mobil. Saya terbiasa berangkat pagi dan pulang sangat larut malam dengan kedua kaki saya sendiri. Bung Karno pasti bangga, karena saya Berdikari. Tidak ada istilah diantar pulang, dijemput berangkat kerja, dan hal-hal princess lainnya. Bahkan ketika sakit pun, saya bisa menempuh jarak Kuningan-Ciputat seorang diri saja. Tidak merengek pada siapapun. Ya, mengeluh sedikit mungkin, entah via BBM atau Twitter. But deep down inside, I indeed could do those things by myself.

Kondisi diatas memaksa otak saya berpikir bahwa saya baik-baik saja sendirian. Dan saya baik-baik saja mengerjakan semua hal ini, mulai dari bekerja giat hingga larut sampai bepergian dari pagi sampai malam, sendirian. Saya merasa ini hidup saya. Hidup yang sungguh menyenangkan. Karena saya merasa mandiri. Sebagai perempuan, merasa mandiri membuat saya powerful. Saya pun enggan meninggalkan gua ini. Saya nyaman disini.

Tapi ketika membuka mata lebar pada sekeliling, ternyata banyak aspek dan unsur dari gua saya yang tidak sesuai dengan pikiran kebanyakan orang, terutama laki-laki. Saya harus peduli. Karena laki-laki tempat asal tulang rusuk saya. Rasanya terlalu kurang ajar kalau tidak mengindahkan keberadaan mereka. Saya berhutang sebuah tulang rusuk.

Ketika nanti menikah dan saya masih bekerja dari pagi hingga pagi lagi, apakah itu baik? Apakah itu masih menjadikan saya seorang perempuan yang baik? Saya khawatir. Walaupun di satu sisi, saya sebenarnya kurang rela. Haruskah melepaskan hal-hal yang menjadi hasil jerih payah saya?

Lalu saya melihat Shanty.

Yang saya tahu, dia mati-matian memperjuangkan karirnya, mulai dari menjadi penari, VJ MTV sampai akhirnya bisa benar-benar jadi penyanyi. Hal ini diperjuangkannya berbelas-belas tahun. Bukan waktu yang sebentar. Dan ketika dia sampai pada cita-citanya, dia menikah. Lalu pergi ke Hongkong. Karirnya? Dipasrahkan, mungkin ya. Artinya, digeser dulu skala prioritasnya.

Kemudian saya merasa berlega hati. Sebagai perempuan, mungkin hidup saya 70 persen adalah pengorbanan. Tapi itulah menjadi perempuan. Esensinya. Tinggal kita pandai-pandai pilih laki-laki. Laki-laki yang bisa membelikan sepasang Manolo tanpa perlu kita bekerja? *biggrin*

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar