Senin, 23 Mei 2011

Apa Rasanya Terbang?

Halo,

Saya makin yakin saya orang yang sangat gampang emosi. Untungnya saya menulis dengan lumayan baik. Jadi komunikasi tidak akan menjadi terlalu parah. Saya harap punya anak-anak dan suami yang senang membaca di kemudian hari. Karena mungkin lemari es akan penuh dengan memo-memo bertulisan tangan saya. Isinya akan macam-macam, mulai dari pujian, omelan sampai pengingat supaya anak-anak membawa bekal makan siang mereka.

Kamu dan orang-orang lain mungkin akan sampai pada titik bosan ketika tulisan saya mulai menggiring kalian untuk merasa demikian. Tapi sungguh, ini jauh lebih baik daripada saya berkomunikasi dengan mulut saya. Atau bahkan dengan jemari saya melalui layanan pesan singkat. Melalui dua medium itu, berbicara seolahmenjadi gerak refleks buat saya, tidak melalui proses berpikir dalam otak kanan ataupun kiri.

Banyak yang ingin dibilang melalui tulisan setengah-panjang ini. Tapi pastinya tiga perempatnya adalah rahasia. Cuma saya yang boleh tahu. Seperempatnya akan dengan senang hati saya bagi ke kamu. Satu persatu. Bait per bait.

Yang utama, saya bangga sekali. Dengan kamu. Saya bangga karena kamu bermetamorfosis begitu indah dari sebuah ulat kecil mungil berwarna hijau saja menjadi kupu-kupu cantik dengan sayap belang warna-warni dan kemudian terbang tinggi memecah belah indahnya langit pagi Setiabudi. Yang lain adalah persoalan-persoalan kecil, seperti soal rasa kangen, rasa ingin mengajak nonton Beta Maluku dan rasa-rasa biasa lain yang kerap juga dirasakan beberapa pecinta yang bertepuk sebelah tangan.

Saya ingat kamu datang dengan berjalan pelan, melihat sekeliling. Selangkah, dua langkah. Mencoba meraba apakah yang perlu dikerjakan untuk hidup. Tubuh hijau kecilmu bergerak maju perlahan. Pelan-pelan. Saya lihat kamu senang menikmati perjalanan. Berjalan kesana kemari bersama beberapa teman sepermainan, sesama yang berwarna hijau dan bertubuh mungil. Mengadu rasa dan asa dari satu tempat ke tempat lain, bertanya-tanya apakah ini tempat yang baik untuk membalut tubuh dalam kepompong dan bersiap untuk sebuah metamorfosis.

Saya juga ingat, masa itu tidak pernah mudah. Waktu terus bergulir dan tubuh hijau mungilmu harus segera mendapat tempat untuk bergelayut manja dan diam tenang dalam kepompong. Cemas juga memburu. Membuat sumbu emosi semakin pendek. Tapi seperti kamu selalu bilang pada saya beberapa bulan terakhir, sabar. Kamu mungkin tidak pernah tahu soal man shabara zafira, sabarlah maka kamu akan beruntung, namun kamu mempraktekkannya jauh lebih baik daripada saya. Ah, saya terlalu banyak teori.

Saya juga samar-samar ingat, ketika setelah perjalanan lelah, maka bertemu juga dengan tempat metamorfosis terbaik. Lalu kamu menanjak menaiki pohon sampai ranting tertinggi. Capek. Kurang tidur pun. Dan cukuplah tempat metamorfosis dengan pemandangan terindah menjadi bayaran semua kekurangan tidur. Pemandangannya jauh lebih indah dari yang dijanjikan pencakar langit manapun. Karena ini pencakar langitmu sendiri.

Lalu kamu membungkus diri dalam hangat sesuatu yang jamak disebut 'kepompong' dalam semua buku pengantar Biologi dasar.

Ah. Seperti baru kemarin. Baru kemarin melihatmu menatap kanan kiri jalan dan berpikir di persimpangan, akan belok kanan, belok kiri atau terus atau diam saja tak peduli yang dibelakang menyuruh maju sekalipun. Seperti baru kemarin, saya melihat semuanya, ketika sekarang semua terjadi di belakang mata.

Sungguh saya ingin mengantar kamu lepas landas dari kepompong. Bukan. Bukan sekedar lepas landas. Saya juga masih ingin berjumpa pada beberapa taman cantik tempat kamu mencari nektar. Atau menunggu di pohon dengan sisa-sisa kepompongmu juga tak apa, menunggu kamu pulang dan mendengar kamu cerita tentang langit dan berbagai jenis bunga.

Sekarang saya sedang mengintip kamu terbang pertama kali. Ingin melambai dengan saputangan bersulam pita warna merah muda tapi percuma. Tidak akan kamu lihat juga. Tapi saya bisa lihat jelas kedua sayap itu mengepak mantap, sayap warna-warni mirip koleksi krayon adik saya. Sayapnya mengantar kamu jauh ke langit atas sana, tempat dimana saya tak bisa kunjungi, karena tidak punya sayap juga.

Apa rasanya terbang? Tapi kamu tidak menjawab.

Dari jauh saya hanya bisa tiupkan keinginan muluk. Semoga masih ada taman untuk tempat bercerita. Atau semoga masih boleh duduk di dekat pohon tempat serpihan kepompong dan menunggu kamu pulang berbagi apa saja. Bahkan sebuah Teh Kotak pun.

Sun jauh,

Tita

2 komentar: