Senin, 23 Mei 2011

Pak Edhie yang Mas Ibas dan Kapten Agus yang Mas Agus

Panggilan 'mas' tampaknya sudah terlalu jamak digunakan oleh masyarakat sekitar saya, walaupun tidak semuanya bersuku Jawa. Yang orang Minang pun, salah satunya etek saya memanggil suaminya dengan sebutan 'mas'. Panggilan 'mas' juga membawa banyak nuansa menurut saya, mulai dari nuansa unggah-ungguh penghormatan sampai dengan nuansa romantis, dengan syarat disebutkan oleh seorang perempuan kepada laki-laki dalam suasana remang-remang *loh*. Tapi bisa juga membawa nuansa 'membesarkan hati', seperti kepada anak kecil supaya iya merasa dewasa dan diharapakan dapat bersikap dewasa.

Panggilan 'mas' dalam perkara sebuah penghormatan, menurut saya sangat lumrah. Biasanya, yang dipanggil 'mas' itu orang-orang yang lebih tua dari saya. Kakak sepupu laki-laki saya misalnya, saya panggil Mas Koko. Dan sebagainya.

Begitu juga panggilan 'mas' dalam konteks mesra. Saya pun rasanya kalau punya kekasih orang Jawa, akan ikut-ikutan memanggil dengan sebutan 'mas'.

Sedangkan penggunaan 'mas' untuk membesarkan hati biasanya saya lakukan kepada adik-adik sepupu ataupun anak-anak lain yang usianya lebih muda. Tapi kebanyakan juga karena terbawa panggilan dari rumah si anak. Jadi ikut-ikutan memanggil 'mas'.

Bagaimana dengan Mas Ibas dan Mas Agus?

Edhie Baskoro atau ngetop dengan panggilan Mas Ibas, anak bontot presiden yang sekarang kerap dipanggil 'mas' bukan hanya oleh mamanya, papanya atau kekasihnya, Aliya. Beberapa orang partainya pun kerap saya 'pergoki' memanggilnya dengan 'mas' dalam media cetak. Padahal orang-orang partai itu bisa sepuluh tahun sampai sepuluh tahun lebih tua usianya dari si Mas.

Anas Urbaningrum, melalui konfirmasi via Twitternya kepada saya, menyebutkan alasannya mengapa memanggil Edhie Baskoro dengan Mas Ibas. Sopan santun, katanya. Karena ia dilahirkan dari keluarga Jawa yang membiasakan memanggil siapapun, seumur atau lebih muda, dengan sebutan 'mas' untuk laki-laki dan 'mbak' untuk perempuan. Jujur saja, saya tergolong puas dengan jawabannya. Walaupun juga penasaran ingin 'menangkap basah' Pak Anas memanggil kolega lain dengan 'mas', seperti Mas Mumtaz Rais atau Mas Nazaruddin atau Mbak Puan atau Mbak Aliya atau malah Mas SBY. I'll see. Pak Anas boleh ngeles sebagai orang Jawa, tapi rupanya, Pak Ruhut yang Batak pun memanggi Edhie Baskoro dengan 'mas', bukan 'bang'. (lihat referensi)

Awalnya, saya pikir hanya Edhie Baskoro saja yang dipanggil 'mas'. Tapi rupanya Agus Harimurti juga dipanggil 'mas' oleh Jubir Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha. (lihat referensi)

Saya setuju jika Pak Anas mengedepankan sopan santun. Memang negara ini sudah seharusnya penuh dengan manusia penuh santun dalam bertutur kata. Tapi saya menjadi sedikit terusik ketika saya ingat pengalaman lama saya, ketika saya masih SMA.

Saat SMA, saya punya seorang teman satu sekolah, biasa saya panggil Teteh, karena begitulah dia dipanggil di rumah. Ibu dari Teteh adalah guru Sejarah di sekolah kami, bernama Ibu Ihat. Ajaibnya, tidak seperti Pak Anas dan orang-orang dengan sopan santun lain, Ibu Ihat tidak pernah memanggil teman saya dengan 'teteh' di sekolah, kecuali bercanda dan itu sangat jarang. Dengan lempeng, beliau memanggil dengan menyebut nama, Lugina. Begitu juga dengan teman-teman sesama guru lain. Semua tidak memanggil 'teteh' ketika proses belajar-mengajar berlangsung.

Yang saya lihat dalam hal ini adalah soal profesionalisme. Saat itu, profesi Ibu Ihat adalah guru. Dan sebagai guru, beliau punya kewajiban untuk menyamakan kedudukan semua murid-muridnya, tanpa eksklusifitas, baik dari perkara nama panggilan, apalagi perkara nilai. Kalaulah beliau memanggi Lugina dengan 'teteh' di sekolah, maka konsekuensinya beliau harus juga memanggil saya dengan sebutan 'teteh', begitu juga dengan murid perempuan lainnya. Sekali beliau lalai, maka profesionalitasnya sebagai guru dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin beberapa murid akan menggunjingkan perihal perbedaan 'kasta' ini.

Begitupun saya harapkan dilakukan oleh semua profesional politik . Semasa ada sebutan resmi, yaitu Bapak/Pak/Ibu, menurut saya akan lebih elegan dan profesional jika dipanggil demikian. Jangan sampai ada pihak yang menggunjingkan di belakang hanya karena cara memanggil, seperti yang sedang saya lakukan sekarang. Atau lebih pahit lagi, jangan sampai orang jadi capek-capek fitnah dengan asumsi bahwa Pak Anas dan bapak-bapak lain memang 'menganakemaskan' Agus Harimurti dan Edhie Baskoro. Apalagi sampai sekarang, belum satupun politikus 'tua' kepergok oleh saya memanggil Mumtaz Rais dan Hanafi Rais, anak-anak Amien Rais, dengan sebutan 'mas'. Padahal toh sama-sama Jawa dan sama-sama muda di politik.

Lagipula, 'Pak Edhie' walaupun berkesan sangat kolot tapi terdengar lebih berwibawa. 'Mas Ibas' terdengar lebih menye-menye dan hanya cocok dikatakan oleh Mbak Aliya yang imut-imut. Begitu juga 'Kapten Agus', terdengar lebih gagah, seperti Kopral Jono dalam lagu, ketimbang 'Mas Agus' yang berkesan terlalu mudah tertembak di kepala pada medan Lebanon.

Ya, tho, Mas?
(eits, saya kan lebih muda. Boleh dong, panggil 'mas'?)


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar