Saya aslinya galak. Paling nggak, itu kata adek-adek saya Dan Mama saya juga. Saya tidak suka barang-barang saya dipindahkan seenak jidat oleh siapapun. Saya tidak suka baju saya dilunturi apapun. Saya benci orang bergerak lelet apalagi ketika tiba saat saya harus menyupir dan berujung pada saya terpaksa ngebut untuk menebus waktu akibat keleletan. Saya juga tidak suka dengan orang yang tidak mengerti dengan cukup sekali peringatan dari saya.
Dan saya santai-santai aja tuh menjadi galak. Saya nggak pernah begitu nggak tega. Apalagi kalau tidak perlu bertatap muka. Makin jadi kadar ketegaan saya. Buat saya, penting untuk orang lain tahu apa yang ada dalam pikiran saya tentang mereka. Supaya nggak ada salah paham apalagi GR-GRan.
Belakangan saya dibuat agak kesal. Kesal banget, sih. Dan terpaksa saya jadi agak galak. Ketus. Kepada orang yang sebenarnya tidak pernah ingin saya galaki. Kenapa harus galak? Karena dia menyinggung sudut damai hati saya. Membuat saya jadi uring-uringan dan berujung pada menjadi super-panasnya ubun-ubun. Hhh. Ingat Tuhan pun tampak percuma. Tapi tetap saja baru 'agak'. Tidak bisa sepol dulu. Segalak dulu. Segengsi dulu.
Beberapa bulan terakhir, saya sudah agak jarang galak. Apalagi gengsian. Dan saya rindu saya yang galak. Yang bisa berkata 'tidak' kepada seseorang dan pendirian itu bertahan lebih lama dari masa kadaluarsa susu Ultra. Saya rindu saya yang gengsian, yang nggak peduli dengan dampak ucapan saya, apakah orang sakit hati atau tidak, apalagi berpikiran untuk minta maaf atas tindakan dan ucapan yang barusan dilakukan. Saya rindu berdiri dengan dagu terangkat lumayan tinggi di atas tanah bumi ini. Rindu menyalak keras setiap saya merasa terancam.
Saya merasa berubah. Berubah menjadi lebih lembek. Tidak gampang galak-galak seperti dulu-dulu. Entah kenapa. Kalau kalian jawab karena cinta, saya siap-siap lempar kalian pakai bantal cinta. Walaupun setelah dipikir-pikir, mungkin saja. Mungkin saja kadar galak saya jadi berkurang setelah saya bertemu seseorang yang menggenggam sekepalan hati saya. Saya jadi luluh dan mau berubah. Tidak lagi galak. Tidak lagi gengsian. Tidak lagi berjalan dengan dagu terangkat lumayan tinggi.
Itu berjalan cukup lama dan, oh, demi Tuhan saya lupa bagaimana cara melakukan ketiga hal diatas. Saya lupa bagaimana cara menjadi galak, menjadi gengsi dan mengangkat dagu lumayan tinggi. Ini menyulitkan saya. Karena saya selalu saja menjadi lembek seperti bagian tengah surabi Notosjuman. Menyebalkan. Diremehkan, pikir saya. Saya tidak menyesal menjadi lebih lembut, yang saya sesali adalah betapa otak saya malah mengganti 'galak' menjadi lembut. Tidak bisakah dia mengkombinasikan keduanya? Sehingga bisa saya gunakan kapan saja saya membutuhkan? Ah.
Sungguh sangat rindu saya yang galak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar