Minggu, 22 Mei 2011

Kenapa Menikah (harus) Mahal?

Beruang aja resepsi nikahan!


Saya akan mencoba jadi sosiolog hari ini. Entah kenapa tiba-tiba pada tengah malam saya terbangun ada satu hal yang mendorong saya untuk tidur lagi dan bangun di pagi hari dengan menjadi seorang Auguste Comte era milenia yang perempuan. *rasanya haru sedih mengingat gagal mengambil mata kuliah Sosiologi setelah mama saya mengernyitkan dahi mendengar kata 'sosiologi'*

Pernihakan.

Well, untuk seseorang di luar sana, jangan berpikir saya ingin cepat-cepat menikah karena (terus-terusan) membahas soal ini, ya. This is just a common thing arrived on a twenty-something year old woman.

Oke, kembali lagi soal pernikahan. Pertanyaan yang selalu bergema di dalam kepala saya adalah kenapa menikah (harus) mahal? Dan setelah berpikir sambil merasakan getaran-getaran mulas akibat ingin buang air, saya sepertinya punya beberapa poin buah pengamatan maya saya. Let me break down my thought.

Pertama adalah masalah pernikahan itu penting.
Ya. Bagi kebanyakan manusia di tempat saya tinggal, pernikahan itu suatu fase penting dalam kehidupan yang tidak mungkin dilewatkan dengan cara biasa. Belum lagi embel-embel 'mantu pertama kali', 'pernikahan anak pertama', 'pernikahan anak satu-satunya', dan hal-hal lain yang menambah kepentingan momen itu. Jadilah, sebagai sesuatu yang penting, ingin sekali rasanya merayakannya besar-besaran. Mungkin rasanya mirip perasaan anak lima belas tahun merayakan Valentine's Day bersama pacar pertamanya.

Kedua adalah masalah kerabat yang banyak.
Untuk masyarakat dengan pola kekeluargaan super kental seperti masyarakat di sekitar saya, kerabat bukanlah hanya sebatas saudara sekandung, ayah-ibu, sepupu-sepupu dan sahabat karib, tapi juga meliputi tetangga, sepupunya sepupu bahkan sampai teman sekolah yang saat sekolah dulu pun bahkan jarang kita sapa. Begitulah. Belum lagi dengan fasilitas media sosial via dunia maya sekarang, semua orang tiba-tiba jadi kerabat. Kerabat yang banyak dalam konteks hajatan sudah tentu berarti makanan yang banyak dan tempat yang luas. Makanan yang banyak dan tempat yang luas berarti biaya. Nah, bagaimana tidak pernikahan menjadi mahal kalau definisi kerabat ini sedemikian luasnya meliputi orang sekomplek perumahan sampai kawan dari TK sampai kuliah magister dua?

Ketiga adalah masalah ego.
Ego dalam hal ini saya persempit jadi keinginan atau cita-cita. Kebanyakan single, terutama perempuan, mempunyai banyak sekali keinginan yang harus (atau sebaiknya) terwujud saat hari pernikahan mereka. Gaun yang bagus, pelaminan indah, rentetan seserahan yang menawan, termasuk seragam yang diberikan untuk setiap geng yang dipunya pada setiap jenjang pendidikan berbeda. Belum lagi keinginan mendatangkan penyanyi favorit laki-laki yang menyanyikan lagu-lagu sendu yang romantis, membuat ingin mencintai si calon suami selama-lamanya. Dan dalam dunia peruangan ini, kadang mewujudkan dan mempertahankan ego sungguh butuh biaya besar.

Keempat adalah gengsi.
Eits, jangan marah. Gengsi ini bisa gengsi si orang yang akan menikah atau gengsi orangtuanya. Kenapa gengsi? Seperti saya bilang, pernikahan bagi masyarakat ini merupakan satu hal yang penting. Kalau sudah penting, mengundang banyak orang pula, inginnya ini menjadi hal yang terwujud sesempurna mungkin. Tidak ada cela dan 'sesuai' dengan si empunya hajat. Kalau sampai tercela, apalagi soal makanan habis, bisa malulah tujuh turunan. 'Sesuai' dengan si empunya hajat? Ya kan, enggak enak kalau acara pernikahan anak pengusaha beromzet triliunan rupiah 'hanya' diadakan di rumah bukan di ballroom hotel Mandarin Oriental.

Keempat hal diatas manusia menurut saya, apalagi bagi manusia yang memang makhluk sosial. Karena percaya deh, kalau menusia hidup sendirian, nggak akan muncul empat hal diatas secara sadar, apalagi tidak sadar, dalam kepala mereka. *Auguste Comte mode: ON*

Tapi, hendaknya empat hal diatas bisa direm, menurut saya. Kenapa? Karena tentu banyak hal yang lebih penting sebagai sasaran penghabisan biaya dan banyak hal yang perlu diprihatinkan ketika ingin mengeluarkan puluhan, bahkan ratusan juta dari kocek sendiri.

Sasaran Penghabisan Biaya.
Ratusan juga habis hanya untuk semalam-dua malam. Kalau memang punya uang sendiri sejumlah segitu, lebih baik beli rumah, daripada nanti mesti numpang sama orangtua atau malah mertua. Sudah punya rumah? Belilah mobil. Sudah punya mobil? Well, bagaimana dengan berbatang-batang emas murni? Atau liburan island hoppers ke berbagai kepulauan indah di Indonesia? Mau yang lebih mulia? Ajak anak-anak yatim ke Dufan. Atau ambil beberapa adik asuh dan sekolahkan sampai perguruan tinggi. Intinya, jangan sampai nila semalam rusak susu selamanya. Lho? Iya, maksud saya, jangan sampai semalam yang mewah sekali itu merusak hidup beberapa tahun kedepan. Banyak sekali kasus dimana pasangan menikah dengan mewah tapi selanjutnya masih hidup prihatin, belum bisa DP rumah, DP kendaraan, dan kesulitan-kesulitan lain. Banyak pos kosong lain yang perlu disediakan biayanya.

Hal yang Perlu Diprihatinkan
Kemiskinan, misalnya? Tetangga atau saudara yang kerap masih suka kelaparan atau kesulitan bayar uang sekolah anak-anaknya? Tukang ojek langganan yang suka kekurangan beras? Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, nasip ratusan juta orang yang hidup dengan sebutan fakir miskin? Nah. Ini poin prihatinnya. Saya pernah menonton sebuah video pada Youtube, ditunjukkan oleh seorang teman yang waktu itu jadi gebetan *jadi deh, semangat nonton*. Di video itu diceritakan bagaimana kesenjangan sosial melanda sebuah negara bernama Indonesia. Dan fakta mencengangkannya, biaya sebuah pernikahan paket lengkap di Kartika Chandra (video buatan tahun 90 sekian, saat Kartika Chandra masih jadi primadona resepsi pernikahan) tidak akan pernah tertutupi bahkan ketika gaji seorang buruh pabrik selama hidupnya dikumpulkan jadi satu. Sedangkan si empunya hajat? Blar! Uangnya habis dalam semalam. Sedih, ya?

Di agama saya, berlebih-lebihan itu dosa. Di agama saya pula, sebuah pernikahan itu baiknya diadakan walimah atau pestanya. Kenapa? Tujuannya jelas, pertama adalah untuk mensyukuri sebuah prosesi yang suci dengan 'mentraktir' beberapa kerabat makan-makan dan kedua untuk memberitahukan ke masyarakat seluas-luasnya kalau si pasangan ini sudah resmi jadi suami-istri, jadi kiranya jangan digerebek kalau mereka berdua-duaan dalam gelap. Di Malaysia cukup menarik dan membantu usaha menyebar berita ini menjadi lebih simpel tanpa biaya, yaitu dengan cara diumumkan melalui speaker masjid di kediaman kedua pasang pengantin.

Intinya, use your money wisely. Karena hidup itu banyak keperluan dan kita harus pintar bikin prioritas supaya tidak kesusahan di kemudian hari. Selanjutnya, di atas langit memang masih ada langit, tapi di bawah tanah yang kita pijak masih ada lapisan lain. Kita boleh kaya dan masih banyak orang yang lebih kaya, yang mana nggak perlu kita sirikin. Tapi kita boleh kaya namun masih banyak orang yang hidup susah, yang mana perlu kita bantu. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia lain, entah karena hartanya atau ilmunya atau tenaganya atau bahkan hanya karena senyum dan doanya.

Jadi,
(masihkah) menikah (harus) mahal?

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

*suatu tempat di bagian selatan Jakarta.
Sayang,

Tita

2 komentar:

  1. Aku setuju dngn pendapatmu bhwa menikah tidak seharusnya mahal. Sekali lg mahal. Aku stress bin pusing mikirin ini krn bntr lg mau nikah. Gila aj cwokku hrs punya 3500 untuk resepsi dll. Itu uang bukan monopoli. Aku ga tega klo cwokku hrs kluarin duit sbnyk itu hny utk 1 mlm pesta, mkn2, salaman, foto. Ya gitu2 aj. Ga pnting buat aku. Msh bnyk yg hrs d pikirin utk k depannya kan. Ga taulah. Budaya indonesia nih bkin bangkrut.

    BalasHapus
  2. Aku setuju dngn pendapatmu bhwa menikah tidak seharusnya mahal. Sekali lg mahal. Aku stress bin pusing mikirin ini krn bntr lg mau nikah. Gila aj cwokku hrs punya 3500 untuk resepsi dll. Itu uang bukan monopoli. Aku ga tega klo cwokku hrs kluarin duit sbnyk itu hny utk 1 mlm pesta, mkn2, salaman, foto. Ya gitu2 aj. Ga pnting buat aku. Msh bnyk yg hrs d pikirin utk k depannya kan. Ga taulah. Budaya indonesia nih bkin bangkrut.

    BalasHapus