Selasa, 10 Mei 2011

Mindset Itu Tentang Apa Yang Di-Set Oleh Mind


Tampak bukan solusi, ya, judul saya?

Memang bukan solusi. Saya nggak mau sok tahu dan sok hebat menjanjikan solusi. Saya lebih senang dibilang sebagai pemberi ide. Atau pemuncul ide yang sebenarnya sudah ada dalam kepala tapi terlupakan entah karena apa.

Mindset. Apa sih? Itu bahasa Inggris, sih. Lalu apa istilahnya dalam bahasa Indonesia? Saya, entah kenapa, mempunyai perasaan sangat kuat kalau mindset dalam bahasa Indonesia artinya adalah 'pola pikir'.

Pola pikir. Apa itu? Dalam ruang imajinasi saya yang saya duga tidak hanya menguasai otak kanan tapi juga otak sebelah kiri, pola pikir berarti pattern ajeg yang menuntun kita untuk berpikir. Pola pikir akan bersahabat karib dengan 'sudut pandang'. Setiap pola pikir tergantung pada sudut pandang dan setiap sudut pandang akan mempengaruhi pola pikir.

Sudahlah, sok tahunya.

Kenapa sih saya tiba-tiba berpikir tentang 'pola pikir'? Sebenarnya hal ini pasti pernah terlintas dalam kepala saya, cuma saya lupa kapan waktunya. Dan baru-baru ini, pikiran itu muncul lagi. Fokus dan tesis saya kali ini adalah:

Betapa emosi itu sangat bergantung dengan pola pikir. Tergantung pada mindset. Tergantung pada apa yang disetting dalam pikiran kita.

Sok tahu? Well, kali ini adalah pengalaman pribadi. Jadi tipe penelitian saya kali ini sangat empiris.

Begini,
Adik kandung perempuan saya akan menikah bulan Juli. Saat saya belum menikah. Inilah kondisinya. Satu kondisi yang (ternyata) memancing emosi beragam dari beberapa pihak. Yang saya yakin, dilatarbelakangi kuat oleh pola pikir.

Saya. Saya orang yang simpel. Dan agak ajeg. Jika saya berpikir melakukan A maka hasilnya adalah B, maka itulah yang akan terus bercokol lama dalam kepala saya. Saya jarang berpikir negatif, mungkin karena saya cuek. Dan saya lumayan optimis. Ditularkan dengan sangat baik oleh mama dan papa saya.

Maka, ketika saya harus 'dilangkahi' adik saya menikah duluan, saya tidak merasakan kekhawatiran apapun. Tidak secuil pun. Rasa 'tidak mau' pun tidak ada. Saya betul-betul santai menanggapinya. Karena bagi saya itu hal super biasa. Tidak ada yang heboh. Dilangkahi atau menikah duluan, sama sekali bukan urusan fundamental dalam hidup saya. Saya yakin, ini karena saya dikuasai pola pikir simpel tadi, sehingga saya tidak merasakan emosi berlebihan mengenai hal ini.

Dan saya menjadi lumayan terkejut, ketika ternyata, mengenai hal ini, saya menemukan tanggapan yang berbeda-beda. Mulai dari mama saya, tante-tante saya, bahkan teman-teman seusia saya.

Mama saya ternyata sampai menangis-nangis cerita pada adik iparnya. Tidak tega sebenarnya, kata dia.

Tante saya pun demikian. Merasa sedikit ngilu hatinya, katanya. Beberapa malah (saya rasa) menatap saya dengan takjub dan tidak henti memeluk saya.

Beberapa teman saya kaget dan memuji saya 'sangat baik' walaupun ada juga yang bertanya 'kok mau?'.

Saya tidak menyalahkan pola pikir mereka. Karena sepertinya, tidak pernah ada yang salah dengan cara berpikir orang. Tapi kembali ke bait diatas, mereka hanya memiliki pola pikir yang berbeda dengan saya. Bahkan ketika usia dan latar belakang pendidikan sudah sama pun, tidak menjamin cara berpikir akan sama.

Pada akhirnya, kedua telinga saya memang harus lebih banyak mendengar. Supaya hati saya lebih peka dengan orang-orang yang punya pola pikir lebih rumit dari punya saya. Dalam kondisi sekarang, saya harus lebih peka dengan Mama saya. Karena ternyata, keputusan ini bukan sekedar keputusan yang mengakibatkan beliau harus keluar uang berpuluh-puluh juta dan melepas salah satu anak gadisnya, tapi beliau juga mau tidak mau terbebani dengan perasaan 'tidak-enaknya' kepada saya. Bagi saya mungkin ini super sepele. Namun tidak buat beliau. Itulah mengapa saya butuh empati. Supaya bisa menyelami perasaannya dan menyesuaikan diri. Tidak hanya untuk keadaan satu ini.

Pola pikir memang berbeda. Tapi selalu ada waktu untuk empati. Toleransi. Tepa selira. Dan istilah manis lainnya, yang dapat dengan mudah kalian temukan dalam buku Pendidikan Moral Pancasila Kelas V SD Kurikulum 1994.

Tita. Sambil nonton Opera van Java.

*mohon maaf atas kedangkalan akal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar