Jumat, 27 Mei 2011

Perempuan Secara Sosial

Siapa yang perempuan secara sosial?


I have ever promised to my self that I would post on my blog at least 1 post per two days. Tapi janji tinggal janji. Untungnya ada si ponsel pintar, jadi saya bisa simpan beberapa ide saya untuk blog di waktu-waktu dimana kurang mungkin buat saya untuk blogging.

Hari ini, saya menjalani salah satu rutinitas pengangguran, yaitu menjalani proses rekrutmen pada sebuah perusahaan. Dan hari ini saya merasa mati rasa. Tidak ada rasa deg-degan atau khawatir. Biasa saja. Seperti ritual bangun pagi.

Proses rekrutmen dan tetek bengeknya berjalan dengan lumayan lancar. Saya keluar gedung sekitar pukul tujuh kurang pada malam hari. Jalanan di luar gedung sudah dipadati kendaraan para commuter dari Jakarta maupun kota-kota penyangganya. Ah. Artinya lebih banyak menginjak kopling dan mempertahankan setengah injakan pada kopling dan gas. Fernando pun pasti capek.

Sepanjang jalan saya habiskan dengan berpikir. Sampai-sampai pada tol saya hampir memakan setengah jalur tengah, padahal harusnya saya di jalur paling kiri. Tersadar karena diklakson Avanza yang datang dari arah belakang.

Pikiran saya agak filosofis, karena mengandung hal membingungkan. Ya, pemahaman saya soal filosofis memang salah satunya berciri 'membingungkan' diri saya. Saya berpikir:

Apakah perempuan akan menjadi perempuan secara sosial ketika dikelilingnya tidak ada lagi laki-laki atau ketika si perempuan tidak sedang bersama seorang lelaki pun?

Pertanyaan ini muncul di tengah pemikiran saya soal pekerjaan. Beberapa post saya pada blog di waktu-waktu lalu menceritakan mengenai pekerjaan yang membuat perempuan kurang perempuan-wi, salah satunya pekerjaan lama saya. Pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktu dan seluruh isi pikiran saya. Tidak ada tempat untuk laki-laki. Padahal, egoisnya laki-laki mereka selalu ingin punya posisi terdepan dalam hidup seorang perempuan yang mengaku menyukainya. Pekerjaan lama saya merusak citra saya biarpun mati-matian saya bilang suka.

Anyway, saya menyadari itu benar. Sebagai perempuan tidak seharusnya saya mendahulukan pekerjaan dibandingkan dengan hal-hal lain yang sifatnya udah-dari-sononya bagi saya, seorang perempuan. Seperti, memasak, mengurus rumah, hamil, mengurus anak, mengurus keuangan rumah, dan lain sebagainya. Membiarkan diri terlalu larut pada urusan yang bukan 'tugas pokok' berdampak pada terlupanya tugas pokok tadi. Dan bisa didemo laki-laki (baca: kebanyakan laki-laki).

Itulah mengapa saya jadi pengangguran sekarang. Mencoba mencari pekerjaan yang lebih perempuan-wi. Lebih luwes jamnya dan lebih bersahabat permasalahannya. Sehingga saya bisa tetap fokus pada hal-hal udah-dari-sononya perempuan.

Tapi kemudian saya berpikir, kenapa saya harus sengotot itu mempertimbangkan hal-hal yang udah-dari-sononya itu? Kenapa saya sibuk memikirkan kodrat saya sebagai perempuan? Toh, tidak ada laki-laki yang harus saya urus dan tidak ada anak yang harus saya perhatikan.

Kemudian muncul lah pertanyaan tadi. Secara sosial, ketika saya sedang sendiri (oke, jomblo dan tidak menikah, maksudnya), apakah saya masih bisa dikatakan perempuan?

Secara fisik maupun biologis, membedakan manusia yang perempuan dan manusia yang laki-laki sangat mudah. Lebih mudah dari membedakan mana kecoak yang perempuan dan mana yang laki-laki. Tanda-tanda fisik jelas terlihat dan bisa beratus halaman kalau mau dijabarkan perbedaannya, dari yang kasat mata sampai persoalan kromoson yang sungguh sangat tingkat dewa pemahamannya. Dengan memiliki ciri fisik dan biologis sebagai perempuan, seperti payudara dan kromosom X, seseorang dapat dengan mudah dikatakan 'perempuan'.

Lalu, bagaimana secara sosial?

Biar saya beri contoh.
Perempuan secara fisik dan psikologis, katakan, lebih lemah daripada laki-laki. Oleh karena itu, ketika pulang larut malam, laki-laki umumnya akan mengantarkan perempuan sampai di depan rumah atau paling tidak sampai si perempuan berada di tempat yang dirasa aman. Hal itu terjadi ketika ada laki-laki.

Bagaimana jika hanya ada segerombolan perempuan? Contoh. Saya dan teman saya, Ayudi. Kami berdua perempuan tulen, secara fisik maupun psikologis. Suatu hari kami berdua pergi ke Grand Indonesia untuk mencobaiMagnum Cafe. Ketika tiba saat pulang di waktu malam, Ayudi mengantarkan saya sampai stasiun lalu dia pergi sendiri. Dia (perempuan) mengantarkan saya (yang juga perempuan). Begitu juga sebaliknya. Ketika Ayudi menginap di rumah saya, maka saya punya kebiasaan mengantarnya pulang sampai depan rumah. Saya (perempuan) mengantarkan Ayudi (yang juga perempuan) sampai depan rumah.

Lalu, secara sosial, siapa yang laki-laki siapa yang perempuan?

Saya rasa tidak ada yang perempuan dalam kondisi seperti tadi. Bahkan tidak ada jender. Yang ada hanyalah pikiran logis dan perasaan mengenai tega atau tidak tega, mampu (secara tenaga, materi dan kesempatan) atau tidak mampu. Saya ada kendaraan dan ada waktu, maka saya antar Ayudi sampai rumah, kasihan juga kalau dia harus pulang naik angkot. Begitulah.

Dan ketika tidak ada jender, maka fungsi fisik dan psikologis pun menjadi minim. Fungsi dan daya tarik fisik malah tidak berguna, kecuali dalam kondisi anomali.

Kondisi demikian saya sebut: genderless.

Dampaknya? Semua, kita, perempuan, tidak lagi terikat hal-hal yang bersifat jender. Tidak ada lagi kewajiban-kewajiban perempuan-wi karena yang menuntut terpenuhinya kewajiban-kewajiban itu hanyalah si lawan-jender alias laki-laki.

Saat ini, saya anggap kondisi saya genderless. Saya tidak sedang bersama laki-laki manapun. Hampir seluruh lingkungan saya adalah perempuan.

Jadi soal memilih pekerjaan yang perempuan-wi, masihkah harus saya pertahankan?


Mohon maaf atas kedangkalan akal.


Tita,
beberapa sentimeter dari titik terendah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar