Senin, 31 Oktober 2011

Cerita Cat Kuku


Saat itu warna cat kukunya mirip ini. Punya saya:: Frankly Scarlet by Revlon :)

Hai.

Semalam saya mimpi digentayangin blog. Dia ngambek karena sering saya lupakan. Hihihi.

Malam ini, saya mau sedikit nyolek si blog dengan sebuah cerita yang... sederhana. Cerita yang berhasil saya ingat dengan detil berkat bantuan cairan berwarna semi coklat-merah muda sebanyak 15 mil dalam botol bertuliskan Revlon. Cerita kemudian berputar lancar di dalam kepala selama saya mengoleskan cairan itu perhalan di setiap kuku-kuku saya. Makin kencang berputar, ketika saya harus mengolesi kuku-kuku di tangan kanan saya. Artinya, saya harus mengoleskannya dengan tangan kiri. Sebagai seorang right-handed, saya sangat tidak terlatih menggunakan tangan kiri. Pemolesan cat kuku pun menjadi sedikit butuh perjuangan.

Cerita membawa saya kembali ke.. entah berapa tahun lalu. Pada sebuah teras kos-kosan di bilangan Tubagus Ismail, Bandung. Cuaca seingat saya cukup dingin. Yah, walaupun Tubagus Ismail memang, entah kenapa, selalu menghadirkan suasana dingin. Mungkin karena malam. Dan lantai teras yang pandai menghantarkan rasa smriwing.

Sebenarnya semua biasa saja. Sangat biasa. Percakapan biasa. Makanan biasa. Dan minuman biasa. Saya mendengarkan celotehan sambil mengolesi cat kuku pada kuku-kuku kaki. Kemudian, ketika tiba giliran kuku-kuku di tangan kanan, saya berhenti sejenak. Malas.

Tak sampai lama, si lawan bicara membantu saya mengolesi cat kuku pada tangan kanan. Tanpa diminta, tanpa saya perlu merajuk. Perlahan sekali sampai akhirnya selesai juga. Walau rasanya seperti seabad.

Ada pelajaran yang saya ingat. Bahwa, tidak semua orang sangat ringan tangan membantu, tanpa pedulikan apa aktivitasnya. Tujuannya sederhana: sekedar menunjukkan perhatian dan kepedulian. Kalau boleh meminjam istilah Syahrini; buat saya, itu sesuatu banget :)

Kenapa begitu spesial? Karena si yang membantu mengoles cat kuku adalah laki-laki. Dan kejutan kedua, dia bukan laki-laki yang sedang ada-maunya :))


Love,

Tita

Selasa, 04 Oktober 2011

Dua Keluarga Menjadi Satu

Hai.

Saya nggak punya pacar, sih. Tapi saya punya dua telinga untuk mendengar dan cukup intelegensia untuk mencerna masalah. Hal mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang ingin saya bahas kali ini timbul dari keheranan saya, bahwa ternyata masih banyak pasangan yang kurang mengerti kalau mereka adalah duta besar bagi pasangan masing-masing di dalam keluarga.

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa dua manusia bersama adalah dua manusia yang berbeda, baik fisik, materi maupun spiritual. Kenapa? Simpel. Karena dua manusia ini mengalami pengalaman yang berbeda, salah satunya: mengalami keluarga yang berbeda.

Bagi yang sudah sedemikian serius dengan kekasihnya dan hendak menikah, mungkin sangat akrab dengan pedoman adat Timur yang mengatakan bahwa dua individu menikah artinya adalah juga pernikahan dua keluarga. Kita, sebagai masyarakat Timur, masih menerima bahwa pernikahan bukan mengecilkan jumlah anggota keluarga, tetapi menambah. Menambah anak, orang tua, paman, bibi, sepupu, keponakan bahkan kakek. Akan menjadi satu keluarga besar yang baru.

Lalu, apa arti keluarga? Family stick together and accept each other fools. Ini yang susah. Accept. Alias menerima. Nrimo.

Bagi orangtua kita, dan kita, saling menerima mungkin akan mudah. Lah wong kita berhutang materi-spiritual kepada mereka. Tapi, bagaimana dengan menerima orangtua pasangan? Atau bagaimana dengan orangtua menerima pasangan anak? Saya tertarik membahas pertanyaan kedua. Bagaimana orangtua menerima pasangan si anak?

Jawabannya simpel. Orangtua menerima pasangan si anak melalui si anak itu sendiri. Bukan melalui jalur yang lain. Well, normalnya adalah seperti ini. Itulah mengapa, sebagai anak, yang tentunya juga mencintai pasangan dan ingin pasangan diterima di dalam keluarga, kita adalah ujung tombak diterima atau tidaknya pasangan di dalam keluarga.

Kenapa?

Pertama, kita adalah orang yang paling dekat dengan pasangan, di dalam keluarga. Tentu kitalah pihak yang paling mengenal si pasangan. Kedua, orang tua (atau keluarga lebih besarnya), menginginkan anak-anaknya bahagia dengan apapun miliknya, pekerjaan ataupun pasangan.

Bagaimana?

Kita adalah representasi terbesar pasangan dalam keluarga. Kalau keluarga tahu kita sering dibuat sedih oleh pasangan, maka ketebak sudah bagaimana imej pasangan di dalam keluarga. Reaksi kita terhadap pasangan mencerminkan apakah kita bahagia dengan dia atau tidak. Jika terlihat tidak bahagia, jangan kan keluarga, tetangga sebelah pun pasti tidak akan bisa terima pasangan kita.

Selain reaksi yang kita bawa ke dalam rumah, cerita tentang pasangan kepada orangtua/keluarga adalah jalan yang baik. Disinilah dibutuhkan, atau bahkan dilatih, hubungan dan komunikasi yang baik antara kita, sebagai anak, dan keluarga. Sudah sepantasnya, kita banyak menceritakan tentang pasangan kepada keluarga, dari mulai hal yang baik sampai ke hal-hal yang buruk. Jadikan porsinya seimbang. Bukan hanya soal pasangan itu sendiri, tapi juga tentang keluarganya. Cerita-cerita ini membuat kedua keluarga mempunyai cukup waktu untuk menerima kekurangan dan menambalnya dengan kelebihan-kelebihan yang diketahui, dari kedua belah pihak. Dengan ini, maka penyatuan dua keluarga akan berjalan lancar.

Perbedaan antar kedua keluarga ini, bisa terjadi berdasarkan banyak hal, baik materi maupun pendidikan. Baik profesi maupun usia. Sebagai orang yang menjalani hubungan dan ingin hubungan itu direstui, kita adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk menerima perbedaan pasangan dan keluarganya. Setelah itu, mempromosikan keduanya di depan keluarga, akan lebih mudah.


love,
_tita

Sabtu, 01 Oktober 2011

Perempuan Bersyukur

Hari Selasa kemarin, saya merasa sangat beruntung menjadi perempuan yang berada dalam komunitas yang menghargai perempuan. Waktu itu saya sedang di atas kereta pukul setengah tujuh dari stasiun Sudimara. Seperti bisa, kereta sudah sangat penuh ketika saya masuk. Setelah agak mendesak masuk, saya akhirnya bisa berdiri di depan deretan kursi. Saat itulah, seorang laki-laki yang sedang duduk, berdiri dan memberikan saya tempat duduknya. Lalu saya duduk. FYI, duduk di atas kereta pukul setengah tujuh dari Sudimara itu sangat langka.

Pujian untuk Tuhan.

Kemudian, beberapa hari lalu, seorang laki-laki menahan pintu lift yang akan tertutup dengan tangannya sampai dia meringis sendiri (lucu, deh), ketika saya hampir terjepit.

Lalu siang tadi, ketika saya pergi makan siang dengan beberapa teman kantor, salah seorang teman kantor laki-laki membukakan pintu taksi untuk kami, perempuan.

Puji-pujian untuk Tuhan.

Begitu banyak penghargaan dan kemudahan, saya merasakannya, bagi perempuan. Gerbong khusus, tempat menunggu khusus di beberapa halte busway, cuti hamil, keringanan pekerjaan ketika hamil bahkan pebisnis pun mempertimbangkan perempuan melalui produk ladies parking mereka.

Pada komunitas yang masih menghargai perempuan seperti ini, saya rasa tidak ada salahnya untuk mari kita balas, dengan hal kecil pun. Mulai dari senyum yang tersungging manis setiap berpapasan dengan orang yang menyapa, bertutur kata lembut dan sabar.

Susah sih, di era polutan nan memancing emosi ini. Hahaha *ups, tertawa terlalu ngakak*



sayang,
tita

Kamis, 22 September 2011

kereta pukul tujuh belas lebih tiga puluh

hampir dua tahun ini saya naik kereta
bersebelahan dengan orang-orang
teman
teman baik
teman lama tak ketemu
orang asing
perempuan dengan baju bagus
pada kereta pukul delapan belas lebih dua puluh lima

tapi belum pernah seorang yang
tidak terdeskripsikan seperti kamu
pada kereta tak biasa
kereta pukul tujuh belas lebih tiga puluh

ada sedikit cerita
pamer senyum
lalu sentuhan pelan di lutut
sudah azan magrib, katamu

kemudian ada banyak cerita
beberapa puntung rokok
perjumpaan dengan fernando
perjalanan yang berputar untuk sampai rumah
dan
lambaian tangan lalu terimakasih

kereta pukul tujuh belas lebih tiga puluh
hanya itu
satu kali
kereta pertama dan terakhir
sayang sekali. padahal keretamu selalu penuh.


---sudirman kavling 22-23

Senin, 29 Agustus 2011

Ketika Gayung Belum Bersambut

Gayung bersambut.

Saya selalu penasaran: kenapa harus gayung? Tidak adakah benda lain yang lebih eksotis? Kenapa tidak tangan? Kenapa tidak jari? Kenapa tidak kata? Tapi betul sih, gayung itu berarti intim. Bagaimana tidak. Dia mengintip bagian intim saat mandi. Bolehlah. Karena yang diurai dengan frasa 'gayung bersambut' biasanya adalah sebuah hal yang intim. Kepentingan yang intim.

Beberapa minggu belakangan, saya merasa seseorang mengetuk pintu dan lumayan mengusik untuk dibukakan. Well, seorang yang mengetuk pintu berarti ingin masuk kan? Saya pun berkenan sedikit mengintip dari jendela.

Cukup beberapa menit mengintip, saya sudah tidak sabar untuk membuka pintu. Supaya si tamu bisa masuk.

Tapi, gayung tidak bersambut rupanya.

Mungkin hanya petugas sensus yang cuma perlu berdiri di depan pintu dan mengecek berapa usia saya supaya bisa jadi data untuk Pemilu 2014.

Walaupun gayung tidak bersambut, tapi saya suka ketika ada yang mengetuk pintu dan saya tertarik membukanya. Kenapa? Karena saya akan bersiap-siap. Saya akan memakai baju sedikit rapih, mengambil hijab, bahkan mencuci muka. Saya akan ganti celana pendek sobek-sobek saya dan kaus kutang melar-melar. Saya bersiap. Dan itu positif. Pantat saya jadi terangkat lebih cepat dari atas kasur.

Kalau saja tidak pernah ada pengetuk pintu yang membuat saya tertarik, mungkin saya enggan berbenah. Jadilah saya gadis dengan celana pendek sobek-sobek dan kutang melar-melar dengan pantat selebar tempat tidur queen size.

Dan kalau saya tertarik lebih jauh,

Saya akan memasak untuk pengetuk pintu. Karena dia tamu. Dan mengagungkan tamu adalah keharusan.


Salam sayang,

tita.

Minggu, 28 Agustus 2011

I Like You

I like the way you popped-up smokes. The way you smiles and showed up teeth and the way I fell and think that I like you within the slightest moment.

Selasa, 23 Agustus 2011

Kepada Laki-Laki

Ada hal dari perempuan, ehm sebenarnya banyak, sih, yang ingin sekali supaya bisa dimengerti oleh laki-laki. Selain perubahan hormon yang tidak kami inginkan saat pre menstrual syndrome maupun soal the next big thing: bahwa kami, bagaimanapun juga, adalah serdadu yang mereka pimpin.

Kok dimengerti?

Begini.

Laki-laki are to be known as our leader. Baik secara agama, bagi yang berkeyakinan sama seperti saya, maupun secara sosiologis. Sebanyak apapun presiden perempuan di atas bumi ini, laki-laki akan tetap terorientasi untuk memimpin dan feminisme seperti akan lebih gagal panen dibanding atheisme. It's like: dari sononya. Hahahaha.

Perempuan yang tahu diri (dalam arti tahu betul tugas pokok dan fungsi mengapa mereka diciptakan) pasti memiliki kesadaran tinggi untuk mengikuti pemimpinnya, laki-laki. Bukan dalam arti mengikuti-apa-saja-kata-mereka tanpa kecuali, tapi lebih kepada kesadaran bahwa laki-laki harus dipercaya sebagai pemimpin perjalanan.

Contoh terkecil simbiosis ini terjadi pada sepasang laki-laki dan perempuan, lupakan soal anak dulu, karena saya nggak tau apa rasanya ;)

Ketika seorang laki-laki dan perempuan berkomitmen untuk menjalani hari-hari ke depan bersama-sama, maka pada saat itulah, kesadaran masing-masing mengenai do dan don'ts seharusnya sudah ada. Dan sebagai makhluk adaptable, pasangan ini akan saling menyesuaikan diri satu sama lain. Dalam hal penyesuaian inilah kemudian muncul kondisi dimana perempuan sering kali 'kalah tua' karena takdir yang saya singgung diatas: untuk dipimpin.

Sebagai perumpamaan. Akan tidak aneh laki-laki melarang perempuan bekerja, tapi, akan kah super aneh ketika perempuan yang melarang laki-laki bekerja? Well, you tell me. Saya bukannya menihilkan penyesuaian-penyesuaian yang dilakukan laki-laki seperti, terpaksa menyukai film drama atau memaksakan diri bersabar dengan segala kerewelan perempuan, namun terkadang, perempuan do the most big thing, that sometimes related to their future.

Sadar nggak ya beberapa laki-laki, kalau perempuan mereka rela untuk berhenti terlalu mengejar karir, yang mana mungkin adalah cita-citanya sejak SD, demi ikut si laki-laki yang, mungkin, kebetulan harus bertugas dengan berpindah kota? Atau perempuan yang harus ikhlas berhenti sekolah atau menunda, karena punya anak (nggak mungkin kan suaminya yang disuruh urus anak)? I see those examples with my own eyes.

Ironisnya, penyesuaian-penyesuaian besar itu kerap terjadi sebelum komitmen akhir terbentuk: pernikahan. Jadi, bagi beberapa perempuan apes, setelah semua penyesuaian yang dilakukan bisa saja si laki-laki pergi meninggalkan begitu saja. Asem.

Kerjaan sudah terlanjur dilepas. Kuliah sudah kepalang tertinggal jauh. Cita-cita sudah terlanjur dikubur terus ditiban konblok.

Maka, ketika mengeluhkan perempuan kalian, cobalah pikir sejenak (mungkin dengan pup tanpa membawa majalah atau koran, cukup rokok saja), sejauh mana penyesuaian yang sudah dilakukan si perempuan? Lalu, tegakah? Kemudian pikir ini: apakah kamu yakin, ada perempuan lain di luar sana yang mampu melakukan penyesuaian yang sama untuk egomu?

Terimakasih :)


lotslove,
tita

Sabtu, 20 Agustus 2011

Soal Menjadi Pemilih dan Gengsian

Seorang teman dari masa kuliah, Titi namanya, semalam mengatakan pada saya bahwa postingan favoritnya dalam blog saya adalah yang berjudul 'He's Just Not That Into You'. Lalu, pagi ini tiba-tiba saya ingat hal itu dan membuat saya membuka kembali postingan bertanggal 4 Mei 2011 itu.

Well. Bagi saya, ternyata hal yang diungkapkan dalam postingan itu, kerap berulang. Entah bagaimana laki-laki terus melakukan kesalahan yang sama *loh, kayak perempuan enggak. Hahaha*.

Tapi saya enggak bicara soal yang kurang mengenakkan seperti itu. Pamali pagi-pagi membahas hal yang berpotensi merusak mood seharian. Yang ingin saya ceritakan pagi ini adalah mengenai betapa saya bahagia mengetahui bahwa saya bukan orang yang picky dalam memilih siapa laki-laki yang saya inginkan.

Saya perempuan normal yang, praise the Lord, mempunyai hal-hal yang dibutuhkan seorang perempuan untuk masuk ke dunia pasar publik dengan terms and condition standar. Artinya, bukan tidak mungkin ada satu-dua laki-laki tertarik pada saya. Tapi seperti sebuah teori standar Venus dan Mars, ketika si Mars tertarik, apakah harus Venus juga tertarik? Sayangnya, hal seperti itu tidak berjalan secara matis. Jika iya, maka tidak serulah dunia ini. Dan saya rasa Anang dan Ashanti berikut Syahrini tidak mungkin bisa sepopuler sekarang.

Soal ketertarikan. Bagi saya, perasaan tertarik adalah segalanya pada awal sebuah hubungan yang nantinya akan didasarkan pada sebuah rasa sayang, yang walaupun tidak dipungkiri, rasa bisa saja berkurang kadarnya dari masa ke masa. Hal ini berlaku bagi manusia yang membutuhkan manusia lain, sebagai lawanjenisnya ataupun yang dianggap sebagai lawanjenisnya. Kalau sudah membaca Madre karya Dewi Lestari, 'ketertarikan' ini buat saya adalah induk dari perasaan-perasaan selanjutnya. Tanpa rasa tertarik, well, turunan rasa tidak mungkin ada.

Saya adalah perempuan yang kerap tertarik terlebih dahulu pada seorang lawan jenis. Mungkin dari 5 lawan jenis yang saya suka, hanya 1 orang yang ketertarikannya tidak berawal dari saya. Dan dengan latar belakang seperti ini, beberapa teman menyebut saya: picky atau pemilih.

Awalnya, saya bisa dengan mantap berkata kalau saya tidak pemilih. Tapi setelah beberapa pertemuan dengan beberapa orang secara acak, saya mulai ragu. Kayaknya iya, saya orang yang pemilih. Lalu, masalah pemilih ini, kadang dibesar-besarkan oleh beberapa orang lain sehingga menjadikan saya punya dua sifat kurang mengenakkan: pemilih dan gengsian. Hah. Bakal jadi perawan tua, kata mereka.

Kemudian, ketika sedang hendak mengurasi rasa 'pemilih' saya, saya berpikir: memangnya saya nggak boleh memilih? Dan soal gengsi, loh bukannya itu soal menjaga harga diri tapi dalam versi dimana ego terdengar lebih besar dibanding logika?

Jelas saya punya hak untuk memilih, karena itu akan terkait dengan penggambaran saya di mata orang lain, terutama si orang yang tertarik pada saya. Dan hal ini penting untuk menentukan kalau saya punya gengsi: hanya mau dengan sesuatu yang sreg di hati saya. Gengsi banget kalau harus umbar sana sini padahal saya nggak menikmati. Maka, saya mantap. Iya saya pemilih dan gengsian.

Tapi, saya seorang dengan kemauan. Jika saya tertarik, saya punya cukup kemauan untuk mengusahakan terjadi timbal balik yang wajar dan bersifat simbiosis mutualisme. Dan saya rasa, saya nggak khawatir lagi dengan dua sifat saya diatas, karena sepemilih apapun dan segengsi apapun, ketika ada ketertarikan, saya masih punya kemauan untuk mengusahakan.


Happy Saturday!

love, tita

Jumat, 19 Agustus 2011

Pers: Pelemahan Intelegensia (?)

Eaa.

Judul saya ilmiah banget ya, Pers: Pelemahan Intelegensia (?). Baiklah. Mengklaim diri sebagai seorang sarjana hukum yang tidak membeli ijasah, saya merasa perlu membuat perenungan-perenungan yang sifatnya agak melibatkan banyak logika dibanding perasaan. Walaupun sebagai perempuan yang bukan merupakan hasil peralihan jender, saya agak sulit pakai logika. But this is why human are perfect among other creatures: we are able to adjust ourselves based on conditions, no matter what the gen and hormone influences us.

Pers. Dalam Undang-undang Pers No. 40 Tahun 1999, Pers didefinisikan sebagai:

[lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media eletronik dan segala jenis saluran yang tersedia]

Panjang ya? Ahahaha. Oke, pada intinya, menurut saya, pers itu merangkum informasi yang diperoleh dengan metode jurnalistik lalu kemudian disampaikan. Mendengar kata 'jurnalistik' disini menuntun saya pada sebuah profesi: wartawan. Maka, bagi saya, pers dekat sekali dengan wartawan. Keberadaan pers adalah karena wartawan exist.

Wartawan sendiri, di mata saya, merupakan profesi yang menuntut banyak dari sebuah pribadi, mulai dari waktu, keberanian, konsitensi, dan yang paling top notch: intelegensia. Bagi saya, nggak mungkin wartawan nggak pintar. Kalaupun tidak pintar, itu sama menyebalkannya dengan penyanyi yang suaranya jelek.

Sebagai sesosok yang pintar, seharusnya wartawan melalui pers, mampu membuat orang lain juga pintar. Loh? Iya, dong. Apalagi nantinya hasil kegiatan jurnalistik mereka dipublikasikan dan disampaikan, pastinya berisi suatu hal yang either berguna atau memberi input baru pada otak pembacanya. Yah, paling banter, bisa mengingatkan pembaca tentang suatu hal yang sempat terlupa.

Lalu, bagaimana kalau pers (boleh nggak saya include wartawannya juga?) malah membuat yang membaca menjadi bodoh? Well, at least I do. Saya merasa semakin kesini, presentase merasa makin pintar dan merasa makin bodoh setelah mengkonsumsi pers, terutama dari layar kaca, adalah 50:50.

Contoh simpel. Kata paten. Beberapa waktu lalu, saat kita heboh karena Malaysia mengklaim beberapa budaya Indonesia, hampir semua pihak teriak: patenkan ini, patenkan itu, dan sebagainya (lihat ini) (well, tapi kok diapprove ya sama Kemenkumham? CMIIW). Padahal, undang-undang jelas membatasi paten pada inovasi yang terkait teknologi. Jadi jelas kata 'paten' tidak bisa seenaknya digeneralisasikan sehingga bisa diaplikasikan pada semua produk. Bagaimana dengan tari (Reog Ponorogo, misalnya) atau lagu (Rasa Sayange yang bikin heboh karena jadi jingle di iklan Malaysia, misalnya). Akan lebih baik kalau pers mau memperkenalkan hak atas kekayaan intelektual lain, supaya mispersepsi tidak terus-terusan terjadi.

Itu pada tataran yang simpel. Kenapa simpel? Karena pelemahan intelegensianya terletak pada kata, mudah terlihat, mudah dikoreksi.

Hal yang lebih besar lalu muncul saat pers mulai mengulang-ulang berita yang itu-itu saja tanpa ada perkembangan terbaru, dimasukkan teori-teori 'katanya' dan lalu menghilangkan isu dari pokok berita beberapa bulan kemudian tanpa pernah disinggung lagi padahal isu dan permasalahannya tidak pernah selesai. Inilah pelemahan intelegensia.

Pers membuat seolah-olah semua pendengar, pembaca dan penontonnya adalah penikmat infotainment yang makin dibumbui aneh-aneh makin girang serta tak butuh aspek lain kecuali sensasi. Persoalan Gayus, berbulan lalu, dibahas sana sini tiada henti. Sekarang, biarpun vonis sudah dijatuhkan, tapi persoalan yang pernah terungkap bukan hanya mengenai satu orang itu saja. Lalu kemana pers? Tidakkah mereka penasaran dengan efek domino dijadikannya Gayus terpidana? Kemudian muncul Nunung menuai sensasi, lalu Nazaruddin. Siapa besok? Pesan saya pada semua objek sensasional: jangan khawatir, you will soon be forgotten. Dan pers punya peran besar menyebarkan sifat pelupa dan mudah melupakan ini, bagi saya.

Saya nggak pernah peduli sebuah badan pers ditunggangi siapa dengan kepentingan apa. Karena memasukkan unsur kepentingan dalam disiplin ilmu seperti, ng, membuyarkan semua teori agung dan lalu berkata 'kumaha engke'. Apa ini soal meraup untung banyak? Manusiawi.

Dan manusiawi juga bagi penikmat pers untuk kemudian memintarkan diri dan menjadi pintar tanpa bantuan pers (dan wartawannya). Lalu pada saat itu, media pers sensasional cuma bisa manyun. Oplah turun. Mana uang? Mana popularitas? 2014 masih jauhpun, tapi ilfil sudah melanda mayoritas orang manusiawi yang saya maksud pada paragraf ini.


openupyoureyesandmind,

love, tita

Selasa, 09 Agustus 2011

Ketika Balikan Ternyata Bukan Solusi

Hai.

Sore ini saya agak santai. Dua teman pulang-bareng kebetulan tidak ikut pulang bareng, jadi saya punya waktu beberapa jeda berleyeh-leyeh sebentar di kantor dan baru mengangkat pantat nanti, sekitar pukul 5. Dilihat dari lantai 12, Jalan Jenderal Sudirman sudah penuh sesak. Rasanya ingin pinjamkan masker bunga-bunga saya ke sang Jenderal. Pasti dia kedebuan.

Well.

Saya sedang berpikir tentang sesuatu: balikan. Cieh. Ya, balikan. Atau istilah rapihnya, kembali ke kekasih lama yang sudah putus hubungan dengan kita.

Terdengar simpel. Kadang populis. Kadang chessy.

Beberapa orang memilih untuk balikan atau beberapa orang berpikir kenapa si A nggak balikan aja sama si B. Opini demikian kerap terjadi pada pasangan yang hubungannya sudah terlanjur berlarut-larut dalam satu tahapan yang tidak maju-maju, atau mungkin saking sudah sampainya pada tahapan paling wahid alias mentok.

Tapi, apakah benar sesimpel itu?

Hubungan yang pernah terjalin menjadi hubungan berkasih-kasihan dan kemudian terputus, pasti ada masalah. Ketiadaan masalah buat saya, tidak mungkin. Pasti ada, besar atau kecil, dengan daya rusak luar biasa atau bahkan terlalu tidak signifikan. Pokoknya ada masalah. Rumusnya bisa jadi: masalah + ego yang tidak mau dikompromikan = hubungan yang tidak bisa dilanjutkan. Maka, tus, terputuslah.

Mari melihat lebih dekat: masalah.

Ini adalah faktor utama yang kadang membuat sebagian para patah hati lupa bahwa mereka seharusnya tidak buru-buru membuat keputusan untuk balikan, karena somehow somewhat masalah belum terselesaikan.

A dan B adalah kekasih. A seorang artis cantik sedangkan B laki-laki dengan jam kerja super normal. A kerap sibuk dengan berbagai jadwal keartisannya, berbeda dengan B yang selalu punya waktu baik untuk kencan kilat pada jam makan siang, maupun kencan berlama-lama di malam minggu. Karena kesibukan A, maka pasangan ini jarang sekali bertemu. Masalah muncul dan kesepakatannya adalah berpisah.

Apa masalahnya? Waktu. Seharusnya A mau lebih fleksibel, tapi tampaknya ia enggan. Inilah egoisme. B juga bisa lebih fleksibel, mengdatangi A ke lokasi syuting, misalnya, atau sejuta cara kreatif lain, tapi tampaknya ia pun enggan. Inilah egoisme B. Ketika berpisah lalu apa yang muncul? Rindu, penyesalan dan sederet kata-kata melankolis lain. Tiba-tiba pun jadi gemar lagu-lagu Kahitna.

Kemudian, mereka ingin balikan. Karena bagi mereka, berdua lebih baik, lebih bahagia.

But they seem to forget the problem. Apakah sudah dipecahkan?

Kalau A tetap sibuk dan B tetap tidak mau kreatif, apakah akan ada pengakhiran hubungan kedua kali? Memulai kembali tanpa solusi masalah terdahulu, ibarat lagu dangdut gali lobang tutup lobang bagi saya. Kalau memang A atau B tidak ingin mengalah satu sama lain, well, hanya untuk saling menemani dengan status kekasih, it is just another fake that would be forgotten once they find another-shiny one.

Kebanyakan orang cuma takut sendirian. Atau, gengsi sendirian?


Cheerup,

Tita

Rabu, 03 Agustus 2011

Merasa Kehilangan Itu Egoisme Terbesar (Menurut Saya)

Hai.

Saya kangen menulis blog. Sekangen saya kepada beberapa selinting orang. Kangen kepada orang tidak selamanya bisa dipenuhi, seperti cangkir yang berharap diisi teh manis hangat namun apa daya tetap kosong karena kehabisan stok kantong teh. Ini salah satu kangen yang selalu bisa diobati dengan ciamik: menulis.

Kehilangan.

Pagi ini saya terpikirkan hal menyeramkan ini. Saya pikir: kehilangan adalah egoisme terbesar manusia. Kenapa egoisme? Saya sungguh tidak bermaksud untuk menyepelekan perasaan kehilangan siapapun yang pernah merasakannya, baik kehilangan hal-hal sepele sampai hal-hal penting yang tampak sudah seperti menjadi bagian hidup. Bukan. Tapi seperti mata uang, hidup ini dua sisi dan saya harap saya bisa cukup membantu melihat sisi yang lain, selain sisi yang secara manusiawi langsung terasa.

Kehilangan itu sedih. Kesal. Putus asa. Apa lagi? Bahkan beberapa kehilangan cukup untuk membuat manusia rasanya ingin hilang juga saja.

Kehilangan itu egois. Karena kehilangan dekat dengan kepemilikan. Tata bahasa Inggris bahkan dengan lantang menggolongkannya menjadi kata posesif: mine, yours, ours, theirs. Tidak pernah memiliki maka tidak akan pernah merasa kehilangan. O if only life could goes on in that simple way.

Saya beberapa kali merasa kehilangan: barang dan manusia. Dan entah ini terjadi pada orang lain atau tidak, namun beberapa kali itupula saya selalu melihat kehilangan itu dari sisi saya: dompet hilang, ah padahal saya sudah beli itu mahal-mahal. Kekasih hilang, ah padahal saya sudah memberikan apa yang saya punya dan bisa. Dan mama saya pun setuju, ketika ia kehilangan orang tuanya, hal yang terpikirkan pertama kali olehnya adalah tentang dirinya: saya yatim piatu, saya belum memberikan banyak bagi orangtua, saya belum membahagiakan mereka, dan beberapa saya-saya lainnya. Pada akhirnya baru mama saya berpikir: bagaimana orangtua saya di kehidupan selanjutnya? Bahagiakah? Lalu berdoalah dia. Itu setelah melalui proses akuisme yang lama.

Keyakinan saya mengenai kehilangan adalah egoisme makin bertambah ketika rasa kehilangan itu hanya bisa menghantui atas sesuatu yang saya butuhkan dalam level yang tinggi. Misal, punya kekasih, selalu diantar-jemput, ditemani ini-itu, lalu ketika ditinggalkan, maka kehilangan akan hinggap lebih lama dalam hati. Atau punya orangtua, semua hidup kita bergantung padanya baik materiil maupun spiritual, ketika kehilangan, seperti seluruh dunia ikut menghilang. Karena somehow beberapa manusia merasa butuh hal yang sudah hilang itu.

Maka, belajar merasa tidak kehilangan, bisa menjadi salah satu penakar egoisme yang baik. Karena ketika sesuatu itu hilang, bukan hanya saya saja yang sulit. Si dompet saya yang dicopet mungkin berakhir tragis di tong sampah. Atau kekasih yang meninggalkan saya mungkin juga merasa hal yang sama dengan saya. Lucu sih, tapi saya harus sarankan: ketika kehilangan, berempatilah dengan hal yang hilang. Karena dia pun belum tentu baik-baik saja dengan menjad hilang.


Mohon maaf atas kedangkalan akal.


Sayangselalu,
Tita

Rabu, 06 Juli 2011

Psychological Type of Commuter Line Passenger

Hai,

Saya Pritta Kartika Maulidina, S.Psi *hiyaaaa*

Bercanda.

Jadi begini, pagi ini, saya naik KRL atau yang sekarang sudah ganti nama dengan commuter line atau disingkat CL oleh media cetak. CL saya berangkat dari stasiun Sudimara sekitar pukul 7. Begitu masuk ke dalam CL, firasat saya sudah buruk. Ini akan penuh.

Dan benar saja. Saya terjebak dan terpaksa mengeluarkan jurus 'bangau tidur'. Jurus ini adalah jurus yang mampu menaikkanmu ke strata lebih tinggi dalam komunitas rombongan kereta.

Ternyata, jurus 'bangau berdiri' saya pun terusik. Oleh siapa? Oleh oknum yang dengan enak berdiri menyender pada tubuh saya. Eh. Mungkin saya mirip tembok dengan wallpaper belang-belang. Kondisi ini memaksa saya berpikir di tengah alunan Doesn't Really Matter-nya Janet Jackson jo. suara mesin kereta. Lalu saya melihat sekeliling dan sejurus kemudian saya merasa lampu dalam otak saya dinyalakan. Ting!

Banyak sekali orang dalam sebuah gerbong CL. Seratus mungkin? Ah, pasti lebih. Dan saya rasa, saya mampu menebak perilaku pribadi kebanyakan orang dalam satu gerbong hanya melalui: cara mereka bertahan di kereta dengan posisi berdiri.

1. Berdiri berpegangan pada apapun, kecuali orang di sekitarnya.

Ada dua kemungkinan untuk orang seperti ini. Pertama, mereka adalah orang dengan tipe mandiri. Mereka berpikir bahwa mereka mampu mengusahakan apapun kebutuhan mereka hanya dengan mengandalkan diri sendiri dan bukan bergantung banyak-banyak pada orang lain. Kedua, mereka adalah orang dengan tipe nggak enakan. Nggak enak kalau mesti gerecokin orang lain dan cenderung kebangetan peka, takut perilakunya salah dan bikin orang lain resah, marah atau sedih.

2. Berdiri berpegangan pada orang di sekitarnya (yang dikenal, tentunya).

Orang seperti ini biasanya senang dimanja. Senang lendotan sana-sini. Antara tidak mandiri sama sekali atau memang senang aja dimanja orang lain, mumpung ada yang manjain. Biasanya, yang dilendotin orang ini adalah tipe orang nomor 1. See my thought?

3. Berdiri sambil mainan ponsel (mostly Blackberry and almost Twitter-an) atau baca buku/baca majalah/baca koran, tanpa pegangan apapun.

Tipe ini yang ada akan merepotkan manusia di sekitarnya ketika terjadi hal-hal tidak diinginkan, seperti rel miring macam di lintasan Palmerah atau kejutan kereta berguncang hebat selepas Tanah Abang menuju Karet. Dalam keadaan tidak diinginkan ini, tipe orang nomor 3 cenderung menjadi tidak stabil berdiri dan menyenggol-nyenggol badan penumpang lain bahkan sampai bertumpu pada penumpang lain. Nyebelin. Dan membuat saya terutama, mengejek dalam hati: rasain! Secara psikologis, dugaan saya, tipe orang seperti ini adalah tipe cuek (selain faktor baru punya BB atau baru dapet buku bacaan seru). Sayangnya, mereka jarang notice kepentingan orang sekitar dan dampak kecuekannya buat orang lain.

4. Tipe nomor 3 atau tidak ngapa-ngapain, tapi tidak juga pegangan MELAINKAN menyender di badan penumpang lain.

Tipe ini paling annoying. Kalau boleh, mau saya tendang keluar CL. Kenapa? Karena jelas tipe ini tipe manusia paling egois segerbong! Mudah-mudahan dalam hidupnya yang sebenarnya dia tidak semenyebalkan itu. Amin.

5. Tidak meletakkan tas/barang bawaan di atas rak ketika berdiri di dalam CL.

Sebenarnya, secara logis, tipe ini harusnya nggak ada. Karena saya pikir, semua penumpang CL, terutama yang berdiri, pasti sangat ingin meletakkan barang bawaannya pada rak supaya mereka bebas bergerak dan tidak memakan terlalu banyak ruang dalam CL. Tapi, pagi ini berbeda. Saya baru lihat orang yang berdiri di dalam CL dan bisa saja meletakkan tasnya pada rak, tapi tidak dilakukan. Saya lalu mikir, kenapa?

Analisis saya, ada dua orang seperti ini tadi pagi. A adalah orang dengan gaya super modis dan tas tenteng yang ciamik, Hermes (saya harap KW). Dan B adalah orang dengan gaya biasa saja, dengan tas biasa saja, tapi raut wajar super keras, tampak berpikir dan waspada. Lalu saya mengambil simpulan. Orang yang enggan meletakkan tasnya pada rak bisa saja termasuk ke dalam orang yang (i) khawatir tasnya rusak/hilang/diambil orang (whatt??)/ketinggalan; atau (ii) tas merupakan kelengkapan gaya yang tidak bisa dipisahkan.

Tipe apa kamu?

Baiklah. Saya kerja dulu :)

Love,
Tita

Selasa, 05 Juli 2011

Fling

between you and I, yes it is just a fling

don't try out for or add on some feeling

even though i love your singing,

and hope for more than a one-night-stand-ing

or the worst is eagerness to feel your hand stroking

my hair 'till i feel like i am swinging

dear,

well, i am hanging

waiting my time for falling,

i shall learn jumpsuiting,

so i would not breaking,



tita:reproduce
[somewhat somehow, @ Bandung, around 2009]

Jumat, 24 Juni 2011

Sangat Senang Dikenang

Saya baru tahu rasanya dikenang. Benar-benar menyenangkan. Apalagi oleh teman lama. Lama dalam arti sudah lama berkenalan dan sudah lama pula tidak bertemu. Rindu? Tidak juga. Sosoknya hanya jarang-jarang melintas di kepala.

Siang tadi, menjelang pukul 12, saya mendapat sebuah pesan singkat melalui layanan messenger elektronik dari seorang teman lama. Katanya, dia melihat seseorang lalu teringat saya. Dan disertakan gambar orang dimaksud. Begitu melihat gambar, saya langsung tertawa. Saya tahu betul apa yang membuatnya terkenang saya. Sepatu bootnya si orang. Mirip dengan punya saya. Saya terharu karena boots saya membuat dia mengenang saya. Bertahun-tahun kemudian.

Kemarin sore, sekitar jam pulang kantor, saya memperoleh sebuah mention pada Twitter. Seorang teman lama juga. Katanya, dia ingin berkicau tentang paragraf terakhir cerpen saya. Ah. Dia masih simpan draft cerpen culun saya? Dan dalam kondisi tertentunya, dia ingat membuka kembali filenya. Setengah tahun lalu, teman lama yang sama mengingatkan saya untuk kembali menulis. Begitu dia mengenang saya, karena saya suka menulis. Bertahun-tahun kemudian.

Memang hanya teman-teman lama. Bukan tempat rutin membuang sampah kala PMS. Tapi. Justru itulah. Ketika ternyata saya dikenang mereka, saya senang. Terharu tepatnya.

Maka, saya tidak akan ragu mengenang orang. Dan mengungkapkan kenangan saya kepadanya. Karena dia pasti senang, seperti saya.

Love,
Tita

Huge thanks:
Anna plus Sahat.

Si Keren Idealisme

Wuih. Canggih banget saya bahas soal idealisme di blog super casual ini. Biarin ah. Untuk itu internet diciptakan: untuk mengekspresikan diri sengasal mungkin tanpa ganggu orang :)

This sexy word: idealisme, mulai menghantui otak saya sejak kuliah. Sewaktu SMA, persetan dengan idealisme. Jarang sekali saya gunakan kata itu karena kurang pas diletakkan di antara curhatan tentang mengapa pacar tidak telepon di Sabtu malam dalam buku Curhadan dengan teman-teman segeng. Ya, terlalu inklusif. Kata idealisme seperti hanya untuk orang-orang tua atau sok tua.

Mungkin saya beruntung bisa bertemu idealisme karena saya sekolah dengan jurusan hukum. Dimana dikenal salah satu kondisi ideal melalui untaian tulisan yang katanya diklaim sebagai idenya Socrates, Plato atau Aristoteles. Atau Thomas Hobbes. Atau yah, siapapun itulah. Kata idealisme ini makin santer berkumandang di telinga seiring dengan semakin tuanya kedudukan saya dalam strata sosial perkampusan. Entah mengapa, si idealisme ini kerap mampir. Entah lewat tulisan atau lewat mulut-mulut yang gegap gempita memberi kesan idealisme adalah hal termahal yang bisa dipunya seorang mahasiswa.

Tapi tetap. Sampai kuliah tingkat akhir, idealisme masih terlalu dekat dengan segala hal yang sifatnya susah dan anti-materi, bagi saya.

Kenapa? Saya menyalahkan lingkungan. Lingkungan saya membentuk imej idealisme yang dekat dengan serba-kesusahan. Semua yang katanya idealis, hidupnya morat marit, mulai dari jaman Bung Hatta diasingkan ke Banda Naira karena idealismenya atau Munir yang harus meregang nyawa di atas burung besi, konon juga, karena idealismenya. Gila. Gara-gara si idealisme, satu harus dibuang jauh dan yang lain harus tukar dengan nyawa. Ck. Dan komentar orang selalu: itu orang-orang idealis!

Lalu, malam menjemput saya dan memaksa saya sedikit berpikir diantara guling dan bantal super empuk. Apa begitu yang namanya idealisme?

Idealisme. Kalau mau niru cara pemotongan katanya Panji, nasional:is:me untuk kata 'nasionalisme', maka 'idealisme' menjadi ideal:is:me. Maka, bagi saya, pusatnya adalah ego. Maka, sialnya, idealisme menjadi hal super subjektif.

A merasa egonya adalah anti membeli barang palsu. Semua barang-barangnya asli bermerek tanpa oplosan sedikitpun. Berjuta-juta dibayar, deh. Ini ideal, menurut dia. Apa idealismenya? Apa dia idealis?

B merasa hidupnya adalah untuk memberantas kebodohan. B merasa turut dibebani kewajiban negara: mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka ia menjelajah satu kolong jembatan ke yang lain, membuka sekolah-sekolah anak jalanan. Gratis. Bujet belanjanya diubah jadi bujet untuk buku dan alat tulis. Apa idealismenya? Apa dia idealis?

Percaya deh, A dan B akan saling nyinyir. A akan nyinyir dengan B yang dengan 'kurang ajar' beli tas Hermes Birkin KW sekian di Mangga Dua. Dan yakinlah, B juga akan nyinyir dengan A yang tanpa empati menghabiskan berpuluh juta hanya untuk barang tentengan.

Siapa yang nggak idealis?

Entah kenapa, sejak malam itu, saya enggan lagi menentukan dengan diri sendiri soal siapa yang idealis. Apalagi kalau hanya dari membaca artikel di koran atau majalah, atau bahkan hanya menilai dari timeline Twitter.

Karena, entah kenapa, saya menyimpulkan: ukuran idealis adalah mengenai seberapa konsisten kita berpegang pada hal-hal yang ideal menurut kita. Dan konsistensi bukan dinilai dari sehari dua hari kenal atau sebait dua bait berita.


Love,
Tita

Sombong Terselubung

Saya punya teori baru. Hasil merenung saat poop. Ups!

Ya. Keheningan toilet dan suara renyah air membentur keramik toilet bermerek bukan Toto memang membawa inspirasi tersendiri buat saya. Dari dulu. Mulai dari permasalahan hidup hanya seputar ujian Kimia dan senior menyebalkan, sampai.. ah.. hal-hal yang sebenarnya itu-itu saja namun selalu saya kemas dengan berlebihan dalam kepala :)

Back to topic. Kembali ke judul, maksud saya. Sombong Terselubung? Wow wow. Ya, saya memang sedang mencari-cari dosa manusia, but hey, nggak ada malaikat berwujud manusia di 2011 seperti ini, kan? *hehehe*

Sombong. Rasanya mudah melakukannya ketika seseorang adalah laki-laki tampan. Atau perempuan super cantik. Atau pemuda dengan orangtua kaya. Atau fresh graduate dengan gaji bak manajer sebuah kantor swasta. Atau seseorang dengan kombinasi semuanya. Bagi mereka, sombong seperti meludah. Cuh! Tinggal dilepeh, di manapun, lega. Ikhlas. Nggak susah.

Sejak kecil saya selalu diingatkan supaya tidak sombong. Lalu saya pikir, apa yang mau disombongkan? Saat itu saya usia sekolah dasar dan berpikir tidak mempunyai hal-hal untuk terlalu disombongkan. Kemudian waktu berjalan cepat, seperti dibawa oleh KRL Jabodetabek. Dan inilah saya. Hampir dua puluh empat tahun. Apakah saya tetap yang sama?

Tahun berlalu. Dan perjalanan hidup mengajarkan saya lumayan banyak hal kalau tidak mau dibilang sangat banyak. Mulai dari mengenai bagaimana menjawab 'ya' dengan bumbu 'tapi' sampai bagaimana mengangkat diri supaya lebih merasa berharga. Perhatikan hal terakhir: mengangkat diri.

As a human, we sometimes being compared to others, either by ourselves or by others. Sebagaimana fitrahnya sebuah perbandingan, supaya menang, yang perlu dilakukan adalah mengangkat diri supaya memperoleh poin lebih tinggi. Bagaimana nasib mereka yang tidak punya hal-hal primer standar untuk dibanggakan, seperti keindahan wajah atau tubuh, materi dan kecerdasan? Well then, secara naluriah, saya mencari dongkrak diri. Supaya harga naik.

Kata saya kepada diri sendiri:
"Dia emang cantik, sih, tapi lihat deh, pakai bajunya norak banget! Kampungan. Kayak perempuan turun gunung. Huff. Masih mending gue, deh. Nggak senorak dia. Tampang boleh cakep, tapi..."

Yak, itu salah satu contoh.

Lalu keheningan toilet dan renyah suara air membentur keramik membuat saya berpikir. Bandingkan dengan si sombong (dengan segala hal primer standar yang saya sebut tadi). Mungkin di dalam kepalanya hanya: "gue orang kaya, mau apa lo?" atau "gue paling cantik seangkatan" tanpa tambahan orang kedua. Tanpa komparasi. Kenapa? Mereka sudah merasa paling superpower. Nothing compares to them.

Bagaimana dengan si standar? Yap! Dongkrak diri! Hasilnya?

Bukan cuma sombong, tapi sayajuga nyela orang.

Hey, dosanya jadi dua. Membuat saya menjadi tambah jauh dari menyamai level si sombong. Sudah muka pas-pasan, penyakitan hati pula. Hiiy.

This may be so simple. Tapi ini hal besar kalau dilakukan terus menerus, yah, seperti celengan recehan. Lama-lama bikin berat juga.

Setelah poop, saya janji sama diri sendiri, lebih berhati-hati mendongkrak diri.

Sun sayang,
Tita

Blue-ish


Bertemu keponakan! *fotokeponakanmenyusul*

Well, ini dress yang sudah saya impi impikan untuk dipakai tapi selalu ada saja aral melintang untuk memakainya. Hiks. Sampai akhirnya beberapa minggu lalu, kami berjodoh.

Love,

Tita

Minggu, 05 Juni 2011

Love Chocolate!



Big theme for this Sunday is: choco.

Love,
Tita

Kamis, 02 Juni 2011

Themis van Java

Saya selalu melihatnya seperti Themis. Dewi Keadilan. Rambut mereka sudah sama panjang. Hanya dia tidak membawa timbangan dan pedang kemana-mana. Tapi mungkin pedangnya adalah kata-katanya dan timbangan adalah hasil sinkronisasi pikiran dan hatinya. Pasti itu dibopong kemanapun. Matanya juga tidak literally ditutup kain hitam. Tapi dia memang enggan melihat ke kiri dan ke kanan. Tatapannya hanya lurus ke depan. Melihat apa yang dia anggap paling lurus. Jalan paling lurus.

Saya mengenalnya lima tahun lebih. Saya masih ingat rambut panjang tipis kemerahannya dan sosok tubuh ukuran sedang berpakaian kemeja hitam menenteng map besar berdiri di depan pagar bercat putih di sebelah kiri Grha Sanusi Hardjadinata. Sapaan hangat meluncur dari mulut kecilnya. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan wajahnya yang super judes di kala diam. Ternyata orangnya sangat baik. Dia berdiri di belakang saya, mengantri sesudah saya. Beberapa jam kemudian, resmilah kami sebagai mahasiswa baru angkatan 2005 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dengan nomor pokok beriringan, saya 097 dan dia 098.

Lima tahun setengah cukup membuat saya hapal gerak gerik si Themis. Bagaimana air mukanya mengisyaratkan apa yang dia rasa. Juga cukup bagi saya untuk merasa tenang dengan si Themis. Saya menikmati kata-kata frontalnya, bercandaan garingnya, dan kuliah-kuliahnya tentang psikologi atau tentang beberapa mata kuliah favoritnya. Saya senang menghabiskan waktu mencecar pernyataannya tentang teori atau fakta apapun, dan mendebatnya sampai mampus, walaupun sering kali saya yang kalah dan argumen saya mendarat berakhir dalam semangkuk cuanki. Saya suka perhatiannya yang sering berlebihan tapi tokcer membuat saya tertawa keras samapai mengangis kencang.

Setahu saya, banyak ujian Tuhan untuknya. Dan kali ini, ujian itu tiba lagi. Saya hanya bisa melihat dari jauh. Dirundung merinding dari kaki sampai kepala. Petang yang bergerak menuju malam seperti melengkapi pemandangan yang sedang saya lihat. Themis saya duduk disana, beberapa meter serong ke kanan dari tempat saya berdiri. Rambut panjangnya terurai lemas, mungkin selemas kaki-kakinya. Telapak tangan kanannya membelai pelan kepala seorang yang terbaring lemas di hadapannya. Seseorang yang menggenggam hatinya dua setengah tahun belakangan. Themis ini biasa ditinggal laki-laki, tapi bukan berarti dia selalu siap dengan kesendirian. Bukan, laki-laki kali ini bukan perkara kesendirian. Mimpi terlanjur dibangun berdua. Di setiap timeline hidup ke depannya terlanjut dituliskan nama si Themis dan si laki-laki. Tidak ada rencana B. Hanya dia. Kanda, dia menyebutnya. Kanda, ini ada Tita. Katanya, ketika saya menghampiri. Tak ada sautan. Senyum canggung yang biasa diberikan pun tidak ada.

Sedekat apapun saya, saya tidak akan pernah tahu dalam hatinya. Seperih apa penderitaannya. Yang saya tahu, dia berani. Melewati entah berapa banyak sakit hati, walaupun di sela tangis, di sela kehilangan napsu makan dan sakit kepala luar biasa. Pada akhirnya, saya selalu melihat dia berdiri lagi, dengan segudang cerita untuk dibagi kepada saya. Betapa hidup memang terjadi, life do happens, dan kita cuma bisa menjalani.

You thought me that, dude.

Dan kamu akan mengajarkan saya sekali lagi, meyakinkan saya sekali lagi, bahwa kuatnya perempuan ada dalam tangisnya. Kalau bertetes-tetes air mata bukan berarti kita menyerah kalah. Ini adalah darah yang harus mengucur di medan perang. Untuk sebuah kemenangan.

Halo, Nevrina, saya Tita.
Saya tahu sejak hari itu, saya akan bangga punya teman kamu.

Senin, 30 Mei 2011

About One Fine Sunday





Here comes a fine Sunday! :)

Heart,

Tita

Sabtu, 28 Mei 2011

Born This Way dengan Sensor

Gimana? Gambarnya perlu disensor, nggak?


Tahu lagu Born This Way-nya Lady Gaga? Seorang teman muda kekeuh memperkenalkan kepada saya lagu ini, bahkan membacakan liriknya di depan saya via browser ponsel pintarnya. Saya jadi suka. Betul kata teman saya, lirik lagu itu sangat kuat dan insipiratif. Positif. Walaupun ada bait yang menarik, karena pasti mengundang kontroversi di beberapa sudut benua. Perhatikan baitnya:

No matter gay, straight, or bi,
Lesbian, transgendered life
I'm on the right track baby
I was born to survive

Dalam lagu, Gaga berusaha mengedepankan bahwa apapun kita, gimanapun wujud kita, we all were born this way by the creation of the perfect H.I.M. Dengan gamblang Gaga menyebutkan tidak ada yang salah dengan ciptaan Tuhan, termasuk manjadi lesbian ataupun kaum transjender.

Seorang teman yang bercita-cita akan tegaknya Hak Asasi Manusia pun tidak setuju jika masih ada manusia yang memicingkan mata terhadap kaum diatas. Homoseksual dan transjender merupakan kelompok yang berbasis sama dengan manusia lain, sama-sama manusia, dan punya hak asasi yang tidak berbeda sama sekali. Karena dalam pengertian HAM yang sebenar-benarnya, tidak ada pengecualian. Kalaupun ingin menyebut homoseksual dan transjender sebagai penyakit, pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka ingin disembuhkan? Karena kasusnya akan sama dengan penderita penyakit lain, buta misalnya. Apakah dengan dia tidak mau didonor mata sehingga akan tetap buta, maka berkurang unsur dirinya sebagai manusia? Kan, tidak. Hak asasinya tetap harus ada, sepanjang belum menjadi berkaki empat, bertanduk, bermoncong dan berbulu lebat.

Saya setuju dengan itu.

Lalu, saya tertarik dengan serial remaja, Glee. Dalam serial itu, diceritakan salah satu tokonya adalah seorang homoseksual. Reaksi saya kali ini berbeda. Saya tidak bisa sepenuhnya setuju seperti kasus di atas. Ini kasus khusus menurut saya. Apalagi mengingat pasar serial Glee adalah remaja di bawah usia cakap menurut UU Perkawinan, salah satunya adik bontot saya yang baru 12 tahun dan adik sepupu saya yang baru 15 tahun.

Bagi saya, semua yang dijabarkan Gaga dalam Born This Way sama sekali tidak masalah. Bahkan itu sangat bagus untuk membentuk imej yang baik bagi kaum-kaum tertentu yang secara sosial sering terlanjur dicap tidak baik oleh komunitas. Saya pun tidak keberatan jika para homoseksual dan transjender ini muncul terang-terangan di muka publik atau bahkan ada di televisi.

Satu yang saya harapkan bisa dilakukan: penyensoran atas hal-hal tersebut bagi anak-anak.

Anak-anak termasuk ke dalam golongan kelompok 'ringkih' sehingga dibutuhkan perlindungan khusus terhadapnya, dapat dilihat dari bagaimana sebuah undang-undang khusus anak-anak dibuat di Indonesia. Bahkan ada komisinya. Mengapa ringkih? Karena mereka, secara psikologis, sedang berada dalam tahap perkembangan pola pikir dan mempunyai daya absorpsi tinggi tanpa saringan. Belum lagi gejolak hormonal yang memicu kelabilan. Atau ditambah dengan kecenderungan mereka untuk mengikuti tren. Karena hal-hal diatas dan banyak hal lain yang diluar jangkauan pengetahuan saya, anak-anak perlu dilindungi. Perlu ada sensor mengenai kelompok masyarakat tertentu sebelum suatu hal disuguhkan di hadapan anak-anak. Bagi saya, suguhkanlah anak-anak dengan hal-hal yang sifatnya standar, berlaku sangat umum dan general. Saat dewasa dan sudah matang berpikir, mereka akan sudah punya dasar yang kuat dan mampu menelaah lebih jauh isu-isu yang beredar di sekitarnya.

Sangat tidak lucu, menurut saya, kalau seorang ABG laki-laki yang kemayu malah terdorong untuk menyatakan diri homoseksual, karena kebanyakan nonton Glee, bukan karena panggilan jiwanya sendiri. Padahal, sepuluh tahun kemudian, si anak jadi tentara gagah dan beranak lima. Masih bagus dia masih bisa kembali ke keinginan asasinya. Bagaimana kalau terjebak selamanya dalam mindset pergaulan?

Pendapat serupa juga saya tujukan untuk isu pornografi. Anak-anak jangan kena pornografi. Kalau sudah cukup umur, ya, mau gimana lagi :)

Saya setuju dengan lirik Born This Way. Tapi, Born This Way dengan sensor.


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Jumat, 27 Mei 2011

Perempuan Secara Sosial

Siapa yang perempuan secara sosial?


I have ever promised to my self that I would post on my blog at least 1 post per two days. Tapi janji tinggal janji. Untungnya ada si ponsel pintar, jadi saya bisa simpan beberapa ide saya untuk blog di waktu-waktu dimana kurang mungkin buat saya untuk blogging.

Hari ini, saya menjalani salah satu rutinitas pengangguran, yaitu menjalani proses rekrutmen pada sebuah perusahaan. Dan hari ini saya merasa mati rasa. Tidak ada rasa deg-degan atau khawatir. Biasa saja. Seperti ritual bangun pagi.

Proses rekrutmen dan tetek bengeknya berjalan dengan lumayan lancar. Saya keluar gedung sekitar pukul tujuh kurang pada malam hari. Jalanan di luar gedung sudah dipadati kendaraan para commuter dari Jakarta maupun kota-kota penyangganya. Ah. Artinya lebih banyak menginjak kopling dan mempertahankan setengah injakan pada kopling dan gas. Fernando pun pasti capek.

Sepanjang jalan saya habiskan dengan berpikir. Sampai-sampai pada tol saya hampir memakan setengah jalur tengah, padahal harusnya saya di jalur paling kiri. Tersadar karena diklakson Avanza yang datang dari arah belakang.

Pikiran saya agak filosofis, karena mengandung hal membingungkan. Ya, pemahaman saya soal filosofis memang salah satunya berciri 'membingungkan' diri saya. Saya berpikir:

Apakah perempuan akan menjadi perempuan secara sosial ketika dikelilingnya tidak ada lagi laki-laki atau ketika si perempuan tidak sedang bersama seorang lelaki pun?

Pertanyaan ini muncul di tengah pemikiran saya soal pekerjaan. Beberapa post saya pada blog di waktu-waktu lalu menceritakan mengenai pekerjaan yang membuat perempuan kurang perempuan-wi, salah satunya pekerjaan lama saya. Pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktu dan seluruh isi pikiran saya. Tidak ada tempat untuk laki-laki. Padahal, egoisnya laki-laki mereka selalu ingin punya posisi terdepan dalam hidup seorang perempuan yang mengaku menyukainya. Pekerjaan lama saya merusak citra saya biarpun mati-matian saya bilang suka.

Anyway, saya menyadari itu benar. Sebagai perempuan tidak seharusnya saya mendahulukan pekerjaan dibandingkan dengan hal-hal lain yang sifatnya udah-dari-sononya bagi saya, seorang perempuan. Seperti, memasak, mengurus rumah, hamil, mengurus anak, mengurus keuangan rumah, dan lain sebagainya. Membiarkan diri terlalu larut pada urusan yang bukan 'tugas pokok' berdampak pada terlupanya tugas pokok tadi. Dan bisa didemo laki-laki (baca: kebanyakan laki-laki).

Itulah mengapa saya jadi pengangguran sekarang. Mencoba mencari pekerjaan yang lebih perempuan-wi. Lebih luwes jamnya dan lebih bersahabat permasalahannya. Sehingga saya bisa tetap fokus pada hal-hal udah-dari-sononya perempuan.

Tapi kemudian saya berpikir, kenapa saya harus sengotot itu mempertimbangkan hal-hal yang udah-dari-sononya itu? Kenapa saya sibuk memikirkan kodrat saya sebagai perempuan? Toh, tidak ada laki-laki yang harus saya urus dan tidak ada anak yang harus saya perhatikan.

Kemudian muncul lah pertanyaan tadi. Secara sosial, ketika saya sedang sendiri (oke, jomblo dan tidak menikah, maksudnya), apakah saya masih bisa dikatakan perempuan?

Secara fisik maupun biologis, membedakan manusia yang perempuan dan manusia yang laki-laki sangat mudah. Lebih mudah dari membedakan mana kecoak yang perempuan dan mana yang laki-laki. Tanda-tanda fisik jelas terlihat dan bisa beratus halaman kalau mau dijabarkan perbedaannya, dari yang kasat mata sampai persoalan kromoson yang sungguh sangat tingkat dewa pemahamannya. Dengan memiliki ciri fisik dan biologis sebagai perempuan, seperti payudara dan kromosom X, seseorang dapat dengan mudah dikatakan 'perempuan'.

Lalu, bagaimana secara sosial?

Biar saya beri contoh.
Perempuan secara fisik dan psikologis, katakan, lebih lemah daripada laki-laki. Oleh karena itu, ketika pulang larut malam, laki-laki umumnya akan mengantarkan perempuan sampai di depan rumah atau paling tidak sampai si perempuan berada di tempat yang dirasa aman. Hal itu terjadi ketika ada laki-laki.

Bagaimana jika hanya ada segerombolan perempuan? Contoh. Saya dan teman saya, Ayudi. Kami berdua perempuan tulen, secara fisik maupun psikologis. Suatu hari kami berdua pergi ke Grand Indonesia untuk mencobaiMagnum Cafe. Ketika tiba saat pulang di waktu malam, Ayudi mengantarkan saya sampai stasiun lalu dia pergi sendiri. Dia (perempuan) mengantarkan saya (yang juga perempuan). Begitu juga sebaliknya. Ketika Ayudi menginap di rumah saya, maka saya punya kebiasaan mengantarnya pulang sampai depan rumah. Saya (perempuan) mengantarkan Ayudi (yang juga perempuan) sampai depan rumah.

Lalu, secara sosial, siapa yang laki-laki siapa yang perempuan?

Saya rasa tidak ada yang perempuan dalam kondisi seperti tadi. Bahkan tidak ada jender. Yang ada hanyalah pikiran logis dan perasaan mengenai tega atau tidak tega, mampu (secara tenaga, materi dan kesempatan) atau tidak mampu. Saya ada kendaraan dan ada waktu, maka saya antar Ayudi sampai rumah, kasihan juga kalau dia harus pulang naik angkot. Begitulah.

Dan ketika tidak ada jender, maka fungsi fisik dan psikologis pun menjadi minim. Fungsi dan daya tarik fisik malah tidak berguna, kecuali dalam kondisi anomali.

Kondisi demikian saya sebut: genderless.

Dampaknya? Semua, kita, perempuan, tidak lagi terikat hal-hal yang bersifat jender. Tidak ada lagi kewajiban-kewajiban perempuan-wi karena yang menuntut terpenuhinya kewajiban-kewajiban itu hanyalah si lawan-jender alias laki-laki.

Saat ini, saya anggap kondisi saya genderless. Saya tidak sedang bersama laki-laki manapun. Hampir seluruh lingkungan saya adalah perempuan.

Jadi soal memilih pekerjaan yang perempuan-wi, masihkah harus saya pertahankan?


Mohon maaf atas kedangkalan akal.


Tita,
beberapa sentimeter dari titik terendah.

Senin, 23 Mei 2011

Apa Rasanya Terbang?

Halo,

Saya makin yakin saya orang yang sangat gampang emosi. Untungnya saya menulis dengan lumayan baik. Jadi komunikasi tidak akan menjadi terlalu parah. Saya harap punya anak-anak dan suami yang senang membaca di kemudian hari. Karena mungkin lemari es akan penuh dengan memo-memo bertulisan tangan saya. Isinya akan macam-macam, mulai dari pujian, omelan sampai pengingat supaya anak-anak membawa bekal makan siang mereka.

Kamu dan orang-orang lain mungkin akan sampai pada titik bosan ketika tulisan saya mulai menggiring kalian untuk merasa demikian. Tapi sungguh, ini jauh lebih baik daripada saya berkomunikasi dengan mulut saya. Atau bahkan dengan jemari saya melalui layanan pesan singkat. Melalui dua medium itu, berbicara seolahmenjadi gerak refleks buat saya, tidak melalui proses berpikir dalam otak kanan ataupun kiri.

Banyak yang ingin dibilang melalui tulisan setengah-panjang ini. Tapi pastinya tiga perempatnya adalah rahasia. Cuma saya yang boleh tahu. Seperempatnya akan dengan senang hati saya bagi ke kamu. Satu persatu. Bait per bait.

Yang utama, saya bangga sekali. Dengan kamu. Saya bangga karena kamu bermetamorfosis begitu indah dari sebuah ulat kecil mungil berwarna hijau saja menjadi kupu-kupu cantik dengan sayap belang warna-warni dan kemudian terbang tinggi memecah belah indahnya langit pagi Setiabudi. Yang lain adalah persoalan-persoalan kecil, seperti soal rasa kangen, rasa ingin mengajak nonton Beta Maluku dan rasa-rasa biasa lain yang kerap juga dirasakan beberapa pecinta yang bertepuk sebelah tangan.

Saya ingat kamu datang dengan berjalan pelan, melihat sekeliling. Selangkah, dua langkah. Mencoba meraba apakah yang perlu dikerjakan untuk hidup. Tubuh hijau kecilmu bergerak maju perlahan. Pelan-pelan. Saya lihat kamu senang menikmati perjalanan. Berjalan kesana kemari bersama beberapa teman sepermainan, sesama yang berwarna hijau dan bertubuh mungil. Mengadu rasa dan asa dari satu tempat ke tempat lain, bertanya-tanya apakah ini tempat yang baik untuk membalut tubuh dalam kepompong dan bersiap untuk sebuah metamorfosis.

Saya juga ingat, masa itu tidak pernah mudah. Waktu terus bergulir dan tubuh hijau mungilmu harus segera mendapat tempat untuk bergelayut manja dan diam tenang dalam kepompong. Cemas juga memburu. Membuat sumbu emosi semakin pendek. Tapi seperti kamu selalu bilang pada saya beberapa bulan terakhir, sabar. Kamu mungkin tidak pernah tahu soal man shabara zafira, sabarlah maka kamu akan beruntung, namun kamu mempraktekkannya jauh lebih baik daripada saya. Ah, saya terlalu banyak teori.

Saya juga samar-samar ingat, ketika setelah perjalanan lelah, maka bertemu juga dengan tempat metamorfosis terbaik. Lalu kamu menanjak menaiki pohon sampai ranting tertinggi. Capek. Kurang tidur pun. Dan cukuplah tempat metamorfosis dengan pemandangan terindah menjadi bayaran semua kekurangan tidur. Pemandangannya jauh lebih indah dari yang dijanjikan pencakar langit manapun. Karena ini pencakar langitmu sendiri.

Lalu kamu membungkus diri dalam hangat sesuatu yang jamak disebut 'kepompong' dalam semua buku pengantar Biologi dasar.

Ah. Seperti baru kemarin. Baru kemarin melihatmu menatap kanan kiri jalan dan berpikir di persimpangan, akan belok kanan, belok kiri atau terus atau diam saja tak peduli yang dibelakang menyuruh maju sekalipun. Seperti baru kemarin, saya melihat semuanya, ketika sekarang semua terjadi di belakang mata.

Sungguh saya ingin mengantar kamu lepas landas dari kepompong. Bukan. Bukan sekedar lepas landas. Saya juga masih ingin berjumpa pada beberapa taman cantik tempat kamu mencari nektar. Atau menunggu di pohon dengan sisa-sisa kepompongmu juga tak apa, menunggu kamu pulang dan mendengar kamu cerita tentang langit dan berbagai jenis bunga.

Sekarang saya sedang mengintip kamu terbang pertama kali. Ingin melambai dengan saputangan bersulam pita warna merah muda tapi percuma. Tidak akan kamu lihat juga. Tapi saya bisa lihat jelas kedua sayap itu mengepak mantap, sayap warna-warni mirip koleksi krayon adik saya. Sayapnya mengantar kamu jauh ke langit atas sana, tempat dimana saya tak bisa kunjungi, karena tidak punya sayap juga.

Apa rasanya terbang? Tapi kamu tidak menjawab.

Dari jauh saya hanya bisa tiupkan keinginan muluk. Semoga masih ada taman untuk tempat bercerita. Atau semoga masih boleh duduk di dekat pohon tempat serpihan kepompong dan menunggu kamu pulang berbagi apa saja. Bahkan sebuah Teh Kotak pun.

Sun jauh,

Tita

Pak Edhie yang Mas Ibas dan Kapten Agus yang Mas Agus

Panggilan 'mas' tampaknya sudah terlalu jamak digunakan oleh masyarakat sekitar saya, walaupun tidak semuanya bersuku Jawa. Yang orang Minang pun, salah satunya etek saya memanggil suaminya dengan sebutan 'mas'. Panggilan 'mas' juga membawa banyak nuansa menurut saya, mulai dari nuansa unggah-ungguh penghormatan sampai dengan nuansa romantis, dengan syarat disebutkan oleh seorang perempuan kepada laki-laki dalam suasana remang-remang *loh*. Tapi bisa juga membawa nuansa 'membesarkan hati', seperti kepada anak kecil supaya iya merasa dewasa dan diharapakan dapat bersikap dewasa.

Panggilan 'mas' dalam perkara sebuah penghormatan, menurut saya sangat lumrah. Biasanya, yang dipanggil 'mas' itu orang-orang yang lebih tua dari saya. Kakak sepupu laki-laki saya misalnya, saya panggil Mas Koko. Dan sebagainya.

Begitu juga panggilan 'mas' dalam konteks mesra. Saya pun rasanya kalau punya kekasih orang Jawa, akan ikut-ikutan memanggil dengan sebutan 'mas'.

Sedangkan penggunaan 'mas' untuk membesarkan hati biasanya saya lakukan kepada adik-adik sepupu ataupun anak-anak lain yang usianya lebih muda. Tapi kebanyakan juga karena terbawa panggilan dari rumah si anak. Jadi ikut-ikutan memanggil 'mas'.

Bagaimana dengan Mas Ibas dan Mas Agus?

Edhie Baskoro atau ngetop dengan panggilan Mas Ibas, anak bontot presiden yang sekarang kerap dipanggil 'mas' bukan hanya oleh mamanya, papanya atau kekasihnya, Aliya. Beberapa orang partainya pun kerap saya 'pergoki' memanggilnya dengan 'mas' dalam media cetak. Padahal orang-orang partai itu bisa sepuluh tahun sampai sepuluh tahun lebih tua usianya dari si Mas.

Anas Urbaningrum, melalui konfirmasi via Twitternya kepada saya, menyebutkan alasannya mengapa memanggil Edhie Baskoro dengan Mas Ibas. Sopan santun, katanya. Karena ia dilahirkan dari keluarga Jawa yang membiasakan memanggil siapapun, seumur atau lebih muda, dengan sebutan 'mas' untuk laki-laki dan 'mbak' untuk perempuan. Jujur saja, saya tergolong puas dengan jawabannya. Walaupun juga penasaran ingin 'menangkap basah' Pak Anas memanggil kolega lain dengan 'mas', seperti Mas Mumtaz Rais atau Mas Nazaruddin atau Mbak Puan atau Mbak Aliya atau malah Mas SBY. I'll see. Pak Anas boleh ngeles sebagai orang Jawa, tapi rupanya, Pak Ruhut yang Batak pun memanggi Edhie Baskoro dengan 'mas', bukan 'bang'. (lihat referensi)

Awalnya, saya pikir hanya Edhie Baskoro saja yang dipanggil 'mas'. Tapi rupanya Agus Harimurti juga dipanggil 'mas' oleh Jubir Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha. (lihat referensi)

Saya setuju jika Pak Anas mengedepankan sopan santun. Memang negara ini sudah seharusnya penuh dengan manusia penuh santun dalam bertutur kata. Tapi saya menjadi sedikit terusik ketika saya ingat pengalaman lama saya, ketika saya masih SMA.

Saat SMA, saya punya seorang teman satu sekolah, biasa saya panggil Teteh, karena begitulah dia dipanggil di rumah. Ibu dari Teteh adalah guru Sejarah di sekolah kami, bernama Ibu Ihat. Ajaibnya, tidak seperti Pak Anas dan orang-orang dengan sopan santun lain, Ibu Ihat tidak pernah memanggil teman saya dengan 'teteh' di sekolah, kecuali bercanda dan itu sangat jarang. Dengan lempeng, beliau memanggil dengan menyebut nama, Lugina. Begitu juga dengan teman-teman sesama guru lain. Semua tidak memanggil 'teteh' ketika proses belajar-mengajar berlangsung.

Yang saya lihat dalam hal ini adalah soal profesionalisme. Saat itu, profesi Ibu Ihat adalah guru. Dan sebagai guru, beliau punya kewajiban untuk menyamakan kedudukan semua murid-muridnya, tanpa eksklusifitas, baik dari perkara nama panggilan, apalagi perkara nilai. Kalaulah beliau memanggi Lugina dengan 'teteh' di sekolah, maka konsekuensinya beliau harus juga memanggil saya dengan sebutan 'teteh', begitu juga dengan murid perempuan lainnya. Sekali beliau lalai, maka profesionalitasnya sebagai guru dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin beberapa murid akan menggunjingkan perihal perbedaan 'kasta' ini.

Begitupun saya harapkan dilakukan oleh semua profesional politik . Semasa ada sebutan resmi, yaitu Bapak/Pak/Ibu, menurut saya akan lebih elegan dan profesional jika dipanggil demikian. Jangan sampai ada pihak yang menggunjingkan di belakang hanya karena cara memanggil, seperti yang sedang saya lakukan sekarang. Atau lebih pahit lagi, jangan sampai orang jadi capek-capek fitnah dengan asumsi bahwa Pak Anas dan bapak-bapak lain memang 'menganakemaskan' Agus Harimurti dan Edhie Baskoro. Apalagi sampai sekarang, belum satupun politikus 'tua' kepergok oleh saya memanggil Mumtaz Rais dan Hanafi Rais, anak-anak Amien Rais, dengan sebutan 'mas'. Padahal toh sama-sama Jawa dan sama-sama muda di politik.

Lagipula, 'Pak Edhie' walaupun berkesan sangat kolot tapi terdengar lebih berwibawa. 'Mas Ibas' terdengar lebih menye-menye dan hanya cocok dikatakan oleh Mbak Aliya yang imut-imut. Begitu juga 'Kapten Agus', terdengar lebih gagah, seperti Kopral Jono dalam lagu, ketimbang 'Mas Agus' yang berkesan terlalu mudah tertembak di kepala pada medan Lebanon.

Ya, tho, Mas?
(eits, saya kan lebih muda. Boleh dong, panggil 'mas'?)


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Minggu, 22 Mei 2011

Kenapa Menikah (harus) Mahal?

Beruang aja resepsi nikahan!


Saya akan mencoba jadi sosiolog hari ini. Entah kenapa tiba-tiba pada tengah malam saya terbangun ada satu hal yang mendorong saya untuk tidur lagi dan bangun di pagi hari dengan menjadi seorang Auguste Comte era milenia yang perempuan. *rasanya haru sedih mengingat gagal mengambil mata kuliah Sosiologi setelah mama saya mengernyitkan dahi mendengar kata 'sosiologi'*

Pernihakan.

Well, untuk seseorang di luar sana, jangan berpikir saya ingin cepat-cepat menikah karena (terus-terusan) membahas soal ini, ya. This is just a common thing arrived on a twenty-something year old woman.

Oke, kembali lagi soal pernikahan. Pertanyaan yang selalu bergema di dalam kepala saya adalah kenapa menikah (harus) mahal? Dan setelah berpikir sambil merasakan getaran-getaran mulas akibat ingin buang air, saya sepertinya punya beberapa poin buah pengamatan maya saya. Let me break down my thought.

Pertama adalah masalah pernikahan itu penting.
Ya. Bagi kebanyakan manusia di tempat saya tinggal, pernikahan itu suatu fase penting dalam kehidupan yang tidak mungkin dilewatkan dengan cara biasa. Belum lagi embel-embel 'mantu pertama kali', 'pernikahan anak pertama', 'pernikahan anak satu-satunya', dan hal-hal lain yang menambah kepentingan momen itu. Jadilah, sebagai sesuatu yang penting, ingin sekali rasanya merayakannya besar-besaran. Mungkin rasanya mirip perasaan anak lima belas tahun merayakan Valentine's Day bersama pacar pertamanya.

Kedua adalah masalah kerabat yang banyak.
Untuk masyarakat dengan pola kekeluargaan super kental seperti masyarakat di sekitar saya, kerabat bukanlah hanya sebatas saudara sekandung, ayah-ibu, sepupu-sepupu dan sahabat karib, tapi juga meliputi tetangga, sepupunya sepupu bahkan sampai teman sekolah yang saat sekolah dulu pun bahkan jarang kita sapa. Begitulah. Belum lagi dengan fasilitas media sosial via dunia maya sekarang, semua orang tiba-tiba jadi kerabat. Kerabat yang banyak dalam konteks hajatan sudah tentu berarti makanan yang banyak dan tempat yang luas. Makanan yang banyak dan tempat yang luas berarti biaya. Nah, bagaimana tidak pernikahan menjadi mahal kalau definisi kerabat ini sedemikian luasnya meliputi orang sekomplek perumahan sampai kawan dari TK sampai kuliah magister dua?

Ketiga adalah masalah ego.
Ego dalam hal ini saya persempit jadi keinginan atau cita-cita. Kebanyakan single, terutama perempuan, mempunyai banyak sekali keinginan yang harus (atau sebaiknya) terwujud saat hari pernikahan mereka. Gaun yang bagus, pelaminan indah, rentetan seserahan yang menawan, termasuk seragam yang diberikan untuk setiap geng yang dipunya pada setiap jenjang pendidikan berbeda. Belum lagi keinginan mendatangkan penyanyi favorit laki-laki yang menyanyikan lagu-lagu sendu yang romantis, membuat ingin mencintai si calon suami selama-lamanya. Dan dalam dunia peruangan ini, kadang mewujudkan dan mempertahankan ego sungguh butuh biaya besar.

Keempat adalah gengsi.
Eits, jangan marah. Gengsi ini bisa gengsi si orang yang akan menikah atau gengsi orangtuanya. Kenapa gengsi? Seperti saya bilang, pernikahan bagi masyarakat ini merupakan satu hal yang penting. Kalau sudah penting, mengundang banyak orang pula, inginnya ini menjadi hal yang terwujud sesempurna mungkin. Tidak ada cela dan 'sesuai' dengan si empunya hajat. Kalau sampai tercela, apalagi soal makanan habis, bisa malulah tujuh turunan. 'Sesuai' dengan si empunya hajat? Ya kan, enggak enak kalau acara pernikahan anak pengusaha beromzet triliunan rupiah 'hanya' diadakan di rumah bukan di ballroom hotel Mandarin Oriental.

Keempat hal diatas manusia menurut saya, apalagi bagi manusia yang memang makhluk sosial. Karena percaya deh, kalau menusia hidup sendirian, nggak akan muncul empat hal diatas secara sadar, apalagi tidak sadar, dalam kepala mereka. *Auguste Comte mode: ON*

Tapi, hendaknya empat hal diatas bisa direm, menurut saya. Kenapa? Karena tentu banyak hal yang lebih penting sebagai sasaran penghabisan biaya dan banyak hal yang perlu diprihatinkan ketika ingin mengeluarkan puluhan, bahkan ratusan juta dari kocek sendiri.

Sasaran Penghabisan Biaya.
Ratusan juga habis hanya untuk semalam-dua malam. Kalau memang punya uang sendiri sejumlah segitu, lebih baik beli rumah, daripada nanti mesti numpang sama orangtua atau malah mertua. Sudah punya rumah? Belilah mobil. Sudah punya mobil? Well, bagaimana dengan berbatang-batang emas murni? Atau liburan island hoppers ke berbagai kepulauan indah di Indonesia? Mau yang lebih mulia? Ajak anak-anak yatim ke Dufan. Atau ambil beberapa adik asuh dan sekolahkan sampai perguruan tinggi. Intinya, jangan sampai nila semalam rusak susu selamanya. Lho? Iya, maksud saya, jangan sampai semalam yang mewah sekali itu merusak hidup beberapa tahun kedepan. Banyak sekali kasus dimana pasangan menikah dengan mewah tapi selanjutnya masih hidup prihatin, belum bisa DP rumah, DP kendaraan, dan kesulitan-kesulitan lain. Banyak pos kosong lain yang perlu disediakan biayanya.

Hal yang Perlu Diprihatinkan
Kemiskinan, misalnya? Tetangga atau saudara yang kerap masih suka kelaparan atau kesulitan bayar uang sekolah anak-anaknya? Tukang ojek langganan yang suka kekurangan beras? Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, nasip ratusan juta orang yang hidup dengan sebutan fakir miskin? Nah. Ini poin prihatinnya. Saya pernah menonton sebuah video pada Youtube, ditunjukkan oleh seorang teman yang waktu itu jadi gebetan *jadi deh, semangat nonton*. Di video itu diceritakan bagaimana kesenjangan sosial melanda sebuah negara bernama Indonesia. Dan fakta mencengangkannya, biaya sebuah pernikahan paket lengkap di Kartika Chandra (video buatan tahun 90 sekian, saat Kartika Chandra masih jadi primadona resepsi pernikahan) tidak akan pernah tertutupi bahkan ketika gaji seorang buruh pabrik selama hidupnya dikumpulkan jadi satu. Sedangkan si empunya hajat? Blar! Uangnya habis dalam semalam. Sedih, ya?

Di agama saya, berlebih-lebihan itu dosa. Di agama saya pula, sebuah pernikahan itu baiknya diadakan walimah atau pestanya. Kenapa? Tujuannya jelas, pertama adalah untuk mensyukuri sebuah prosesi yang suci dengan 'mentraktir' beberapa kerabat makan-makan dan kedua untuk memberitahukan ke masyarakat seluas-luasnya kalau si pasangan ini sudah resmi jadi suami-istri, jadi kiranya jangan digerebek kalau mereka berdua-duaan dalam gelap. Di Malaysia cukup menarik dan membantu usaha menyebar berita ini menjadi lebih simpel tanpa biaya, yaitu dengan cara diumumkan melalui speaker masjid di kediaman kedua pasang pengantin.

Intinya, use your money wisely. Karena hidup itu banyak keperluan dan kita harus pintar bikin prioritas supaya tidak kesusahan di kemudian hari. Selanjutnya, di atas langit memang masih ada langit, tapi di bawah tanah yang kita pijak masih ada lapisan lain. Kita boleh kaya dan masih banyak orang yang lebih kaya, yang mana nggak perlu kita sirikin. Tapi kita boleh kaya namun masih banyak orang yang hidup susah, yang mana perlu kita bantu. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia lain, entah karena hartanya atau ilmunya atau tenaganya atau bahkan hanya karena senyum dan doanya.

Jadi,
(masihkah) menikah (harus) mahal?

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

*suatu tempat di bagian selatan Jakarta.
Sayang,

Tita

Jumat, 20 Mei 2011

Aja Gampang Serik

Aja Gampang Serik


Jarik itu kain. Entah itu bahasa Jawa atau apa, but simply the meaning of jarik is kain. Lebih spesifiknya, jarik adalah kain berukuran 2,5 x 1,1 meter yang dibatik dengan berbagai macam motif. Jarik sendiri ternyata merupakan akronim dari kata-kata dalam bahasa Jawa, aja gampang serik atau dalam bahasa Indonesia berarti jangan mudah iri. Fungsi utama jarik adalah sebagai penutup badan bagian bawah. Namun, sebagai selembar kain yang nyaman, jarik jadi memiliki fungsi lain, seperti selimut, alat menggendong bayi sampai yang paling horor, penutup badan orang yang meninggal. (lihat referensi)

Sebagai orang yang sudah jauh sekali dari peradaban asal jarik, yang saya tahu, sebuah jarik adalah kain pembungkus tubuh bagian bawah yang dililit sangat kencang, seperti rok model span, dibatik dan mempunyai beberapa rampel permanen untuk bagian depannya. Saya baru tahu kalau maknanya jauh lebih luas daripada itu.

Beberapa hari yang lalu, saya memakai jarik ke sebuah acara pernikahan. Jarik itu bebatik entah motif apa, warna coklat tua dan memiliki rampel untuk bagian depannya. Jarik yang saya pakai adalah fast jarik atau jarik super-siap pakai karena sudah dibentuk rok span dan diberi retsleting. Cara memakainya sangat mudah, seperti memakai rok konvensional.

Tapi, saya pernah juga memakai jarik untuk pesta pernikahan dengan cara yang super tradisional. Yang dibutukan adalah selembar jarik, sebuah stagen, seutas tali rapia, boleh juga tali sepatu dan long torso. Long torso ini bukan keharusan, sih. Saya hanya menambahkan saja, karena long torso membantu membuat tubuh lebih tegap dan singset, tentunya. Wah. Memakai jarik model begini benar-benar nggilani. Saking sesetnya, saya hanya sanggup memasukkan 3 potong somay dan beberapa teguk air putih ke dalam mulut. Betul-betul mencengkram perut. Efek di cermin memang canggih sih, badan jadi super singset macam Syahrini (silahkan protes). Tapi tetep, there is a price to pay. Hiks. Cara memakai stagennya saja sudah serem. Caranya, stagen diikat ke tiang rumah dan kemudian saya lilit ujung stagen ke perut saya. Cara ini efektif membuat stagen terlilit dengan kencang. Ya jelas. Patokannya adalah tiang rumah dari beton. Hua.

Ketika saya memakai jarik beberapa hari lalu, saya agak kagok berjalan sih. Kaki saya hanya mampu melangkah sedikit sekali, atau persis selebar kedua kaki saya jika disejajarkan dengan posisi depan-belakang. Jalan jadi pelan. Kalau mau cepat, harus berlari-lari unyu. Ribet! Tapi, di cermin terlihat fantastis. Macam sinden dari manaaa gitu.

Saat memakai jarik itu saya berpikir, banyak juga gunanya, selain bagi penampilan fisik perempuan, tapi juga bagi kematangan jiwa.

1. Penampilan Fisik

Seperti saya sudah bilang, dengan memakai jaring tubuh jadi singset. Apalagi yang berpantat aduhai. Wuih, makin jadi deh. Sintal. Berjalan juga jadi lebih anggun karena harus pelan-pelan, apalagi kalau ditambah high heels terbuka. Makin manis. Saya jamin deh, laki-laki bisa nengok dua kali bahkan lebih, walaupun belum tentu berani minta nomer telpon atau PIN BB.

2. Kematangan Jiwa

Memakai jarik berarti berjalan harus pelan. Berjalan pelan berarti butuh waktu lebih banyak. Ketika kita butuh waktu lebih banyak, maka kita dituntut bersiap lebih awal. Beda kalau pakai celana. Pakai jarik tidak bisa buru-buru. Harus direncanakan dengan baik. Kondangan jam 7 dan ingin pakai jarik? Artinya mulai mandi sejak jam setengah 5, kalau ingin berangkat ke tempat acara jam 6 tanpa perlu lari-lari dari kamar ke mobil. Kalau bisa jam 6 kurang 10 sudah duduk manis, siap diangkut. Ini kematangan jiwa pertama: disiplin dan teratur.

Karena harus berjalan lama, jarik menguji kesabaran saya. Saya harus berjalan pelan-pelan untuk sampai tujuan, kalau tidak mau keserimpet jarik dan jatuh terjungkal. Persis sekali semboyan kebanyakan suku Jawa, khususnya bagian tengah, alon alon asal kelakon. Pelan-pelan asal selamat. Dengan berjalan pelan pun, saya merasa lebih calm down, lebih bisa ambil napas dulu sebelum 'meledak'. Bagus buat anger management saya yang bersumbu super pendek. Kematangan jiwa kedua: sabar.

Secara keseluruhan, bagi saya kearifan tradisional itu banyak sekali manfaat dan mempunyai nilai makna tinggi. Seperti jarik ini, contohnya. Dan saya yakin masih banyak lagi dari suku-suku yang lainnya. Arti kata jarik sendiri saja sudah 'tinggi': jangan gampang iri.

Rasanya nggak berlebihan kembali ke kearifan tradisional. Yah, walaupun jarik memang nggak friendly sama sekali dengan kondisi transportasi dan akomodasi di Jakarta tapi boleh lah supaya sedikit anggun dan matang, pakai jarik di acara-acara resmi. Apalagi kalau kamu perempuan Jawa :) Malu ih, sama saya yang Jawa abal-abal. Cuma bisa ngomong 'asu'. Hahaha.


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Mengapa Hari Dirayakan

Hari ini tanggal 20 Mei. Well known, sebagai hari peringatan kebangkitan nasional. Konon karena merupakan tanggal berdirinya organisasi pemuda pertama Indonesia yg berbau-bau politik, Boedi Utomo. Kenapa dikatakan 'bangkit'? Wajar. Karena saat itu, pemerintah Hindia-Belanda demen sekali buat kita terpuruk sampai terjongkok-jongkok. Sehingga sekelompok pemuda merasa sudah waktunya inlander bangkit berdiri. Tidak cuma jongkok-jongkok lagi. Menjadi masyarakat madani yang bisa tiduran-jongkok-duduk-berdiri sendiri.

Selain Hari Kebangkitan Nasional, banyak hari-hari lain dirayakan. Dan banyak komentar orang-orang yang berceletuk: kenapa juga mesti dirayakan?

Saya pernah sih, mikir begitu. Tapi menurut saya yang sekarang, berpikir begitu hanya bikin saya jadi manusia skeptis. Dulu, bagi saya, ada beberapa 'hari' yang nggak penting tapi entah kenapa dirayakan. Hari Bumi, salah satunya. Dan Hari Lupus atau hari-hari penyakit lainnya. Ga penting. Itu dulu.

Sekarang, yang saya pikir adalah mengapa hari-hari tertentu dirayakan: karena tidak setiap hari manusia mampu mengingat hal-hal penting yang kecil namun berdampak super bagi hidupnya. Dan satu lagi, manusia pada prinsipnya suka hal-hal seremonial. Makin dirayakan, makin sip.

Dibalik sebuah perayaan terhadap hari, ada makna besar yang, tentunya, sulit dijangkau otak kalau kurang informasi. Tapi secara simpel, sebuah hari dirayakan untuk kembali mengingatkan manusia akan beberapa hal. Hari Lupus mengingatkan manusia kalau ada penyakit bernama unyu, Lupus dan ruam berbentuk kupu-kupu yang disebut butterfly effect merupakan salah satu tandanya. Atau hari bersejarah. Seperti Hari Kebangkitan Nasional ini. Dengan dirayakan, manusia Indonesia jadi kenal/kembali kenal dengan organisasi Budi Oetomo, dengan nama asli Ki Hajar Dewantoro, dengan fakta bahwa ditengah keterpurukan parah, pribumi Indonesia pernah dengan semangat bangkit melawan pihak yang demennya mlenet hak-hak mereka.

Efeknya, merayakan hari menjadi satu hal efektif untuk melawan lupa. Penyakit umum yang jamak dialami kebanyakan manusia.

Bisa jadi, untuk memberantas penyakit lupa terhadap beberapa hal menggantung, baiknya dirayakan harinya. Misal, hari pertama pembahasan kasus Century di DPR dijadikan Hari Kasus Century.

Nice, gak?

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Sabtu, 14 Mei 2011

Menjadi Perempuan



Saya suka sekali dengan Shanty.

Iya, Shanty yang artis itu. Suka bukan dalam arti ngefans berat, tapi saya menjadikannya salah satu contoh bagaimana menjadi perempuan.

Sebagai seorang individu yang lumayan berpendidikan (ya, jenjang S1 sekarang tampak lumayan mengingat banyak lulusan S2, entah betulan atau oplosan), saya paham betul apa yang wajib saya lakukan sebagai perempuan. Baik hal-hal yang muncul dalam kepala berdasarkan keinginan dan keyakinan diri sendiri, maupun hal-hal yang di 'doktrin' lingkungan saya melalui norma-norma.

Sebagai perempuan, saya sebaiknya memasak. Sebaiknya bisa hamil. Sebaiknya bisa mengurusi anak-anak. Sebaiknya bisa mengatur uang dan banyak hal 'sebaiknya' lainnya, termasuk tuntutan beberapa laki-laki bahwa perempuan sebaiknya jadi ibu rumah tangga.

Saya pernah merasakan menjadi perempuan yang super. Super bagaimana? Ya, super. Hampir semua hal bisa saya kerjakan sendiri. Mulai dari mencari uang sampai menyetir mobil. Saya terbiasa berangkat pagi dan pulang sangat larut malam dengan kedua kaki saya sendiri. Bung Karno pasti bangga, karena saya Berdikari. Tidak ada istilah diantar pulang, dijemput berangkat kerja, dan hal-hal princess lainnya. Bahkan ketika sakit pun, saya bisa menempuh jarak Kuningan-Ciputat seorang diri saja. Tidak merengek pada siapapun. Ya, mengeluh sedikit mungkin, entah via BBM atau Twitter. But deep down inside, I indeed could do those things by myself.

Kondisi diatas memaksa otak saya berpikir bahwa saya baik-baik saja sendirian. Dan saya baik-baik saja mengerjakan semua hal ini, mulai dari bekerja giat hingga larut sampai bepergian dari pagi sampai malam, sendirian. Saya merasa ini hidup saya. Hidup yang sungguh menyenangkan. Karena saya merasa mandiri. Sebagai perempuan, merasa mandiri membuat saya powerful. Saya pun enggan meninggalkan gua ini. Saya nyaman disini.

Tapi ketika membuka mata lebar pada sekeliling, ternyata banyak aspek dan unsur dari gua saya yang tidak sesuai dengan pikiran kebanyakan orang, terutama laki-laki. Saya harus peduli. Karena laki-laki tempat asal tulang rusuk saya. Rasanya terlalu kurang ajar kalau tidak mengindahkan keberadaan mereka. Saya berhutang sebuah tulang rusuk.

Ketika nanti menikah dan saya masih bekerja dari pagi hingga pagi lagi, apakah itu baik? Apakah itu masih menjadikan saya seorang perempuan yang baik? Saya khawatir. Walaupun di satu sisi, saya sebenarnya kurang rela. Haruskah melepaskan hal-hal yang menjadi hasil jerih payah saya?

Lalu saya melihat Shanty.

Yang saya tahu, dia mati-matian memperjuangkan karirnya, mulai dari menjadi penari, VJ MTV sampai akhirnya bisa benar-benar jadi penyanyi. Hal ini diperjuangkannya berbelas-belas tahun. Bukan waktu yang sebentar. Dan ketika dia sampai pada cita-citanya, dia menikah. Lalu pergi ke Hongkong. Karirnya? Dipasrahkan, mungkin ya. Artinya, digeser dulu skala prioritasnya.

Kemudian saya merasa berlega hati. Sebagai perempuan, mungkin hidup saya 70 persen adalah pengorbanan. Tapi itulah menjadi perempuan. Esensinya. Tinggal kita pandai-pandai pilih laki-laki. Laki-laki yang bisa membelikan sepasang Manolo tanpa perlu kita bekerja? *biggrin*

Mohon maaf atas kedangkalan akal.