Jumat, 18 Desember 2015

I Stand for Ojek (Online and Old-School)

Oke, this post will be a little bit serious. And long.

Hari ini berita, baik online maupun tidak, dan media social ramai membicarakan soal dilarangnya Gojek, Uber Taxi, Grabike dan sejenisnya oleh Kemenhub untuk beroperasi karena dinilai tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai angkutan umum orang. Saya, tentunya, sewot. Kenapa?

Kenapa Saya Memilik Ojek Online
Saya pengguna Gojek rutin, kalau kata “setia” terlalu lebay. Setiap weekdays, saya pakai Gojek dari Stasiun Kebayoran sampai kantor di area SCBD. Di awal ini, saya mau cerita dulu kenapa akhirnya saya memilih memakai jasa Gojek. Saya seorang komuter karena tinggal di daerah Tangerang Selatan tapi bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Dalam seminggu, lima hari saya travelling Tangsel-Jaksel, yang jarak normalnya sekitar 22 km. Untuk transportasi PP rumah-kantor, saya memilih menggunakan commuter line/KRL dari Stasiun Sudimara. Menggunakan kendaraan pribadi atau umum selain KRL dari rumah bagi saya tidak masuk akal. Jalanan macet, terutama di sepanjang jalan dari Pasar Ciputat sampai perempatan Lebak Bulus, tol non-JORR Bintaro pun sama. Saya harus berangkat jam setengah 6 kalau mau sampai jam 7 lewat sedikit atau setengah 8 di kantor. Wasting time. Dengan KRL, saya berangkat dari rumah jam 6.15, naik KRL jam 6.30. Jam 06.50 saya sudah sampai di Stasiun Kebayoran dan dengan Gojek, jam 7.15 saya sudah duduk manis di kantor. Satu jam saja waktu yang dibutuhkan. Gojek menawarkan saya biaya perjalanan Rp15.000. Ojek konvensional? Rp30.000. Dua kali lipatnya.

Sebetulnya saya bisa saja terus naik KRL sampai Stasiun Tanah Abang, transit dan berganti KRL Bogor dan turun lagi di Stasiun Sudirman, kemudian naik Kopaja 19 jurusan Blok M, turun di halte Polda dan melanjutkan jalan kaki ke kantor. Sampai kantor jam berapa? 7.45. Lama dan capek. Belum lagi Kopaja yang supirnya menyetir ugal-ugalan, kondisi kendaraan yang jelek dan ancaman copet. Oh, ditambah lagi rekayasa halte yang aneh di Stasiun Sudirman. Seringkali polisi dan Dishub galau. Kadang kita boleh nunggu bis tepat di depan stasiun tapi sering juga diusir sampai depan Wisma Indocement. Sesuka mereka aja. Padahal menurut saya, lebih efektif halte tepat di depan Stasiun Sudirman, jalanan lebih lebar dan calon penumpang dan angkutan umum gak akan berhamburan di jalan dan mengganggu arus lalu lintas dari Jl. Jend. Sudirman menuju Landmark. Gimana dengan naik taksi dari Stasiun Sudirman? Wew, selain lebih mahal, nyampe kantor juga sama lamanya. Gak efektif. Jadi, turun di Stasiun Kebayoran dan menggunakan jasa ojek online adalah pilihan terbaik yang saya punya, dengan kemampuan ekonomi saya dan kebutuhan saya untuk sampai kantor lebih pagi.

Untuk layanan Uber Taxi, saya agak jarang menggunakannya, tapi bisa saya simpulkan memang layanan ini jauh lebih ekonomis dibanding taksi biasa dan armada yang memiliki kapasitas angkut lebih besar menjadikan Uber Taxi pilihan enak untuk bepergian ramai-ramai. Apalagi pembayaran cashless, sepanjang masih ada sisa limit kartu kredit, bisa pakai Uber Taxi.

Ojek Online v. Ojek Konvensional
Selama 3 bulan rutin menggunakan jasa Gojek, saya hanya sekali mendapatkan pengemudi yang rese. Saya komplain via kolom rating dan comment yang disediakan dan setelahnya saya sama sekali tidak pernah menemukan pengemudi yang rese lagi. Sejauh ini perjalan saya juga berlangsung sangat aman dengan cara berkendara dan kelengkapan kendaraan yang sesuai dengan peraturan. Berbeda dengan ojek konvensional. Saya beberapa kali harus menggunakan jasa ojek konvensional hanya karena masalah kepraktisan, yaitu ketika pulang kerja, sampai di Stasiun Sudimara dan akan menuju ke rumah. Ojek konvensional sudah berjejer rapi di depan stasiun, tinggal tunjuk dan jalan. Tidak perlu buka aplikasi. Sungguh, hanya itu kelebihannya. Ojek konvensional, selain sering menembak harga seenak jidat, seringkali tidak memiliki kelengkapan kendaraan yang seharusnya. Tidak jarang saya mendapatkan tukang ojek yang ternyata nggak punya kaca spion, suara knalpot yang berisik atau posisi jok yang dimodifikasi sehingga sangat tidak nyaman untuk diduduki. Pengemudinya juga sering ugal-ugalan, kadang anak-anak muda yang mungkin uangnya hanya buat mabok-mabokan atau minimal beli rokok. Dan tidak ada fasilitas helm. Boro-boro, kadang pengemudinya pun tidak pakai helm. Sungguh meresahkan dan tidak nyaman.

Salah saya, kalau saya memilih ojek online? Saya konsumen dan punyak hak-hak yang dilindungi undang-undang. Saya bebas memilih produk barang dan jasa yang saya butuhkan dan sukai.

About the Law
Kebetulan saya pernah sekolah hukum. Dan karena Kementerian Perhubungan mengungkit soal “tidak sesuai dengan peraturan” maka saya mencoba melihat ke peraturan perundang-undangan mengenai angkutan umum, lebih spesifik mengenai kemungkinan adanya celah dalam peraturan untuk modifikasi bisnis angkutan umum menjadi berbasis daring/online.

Dalam UU LAJ No. 22/2009 dan PP Angkutan Jalan No. 74/2014, mobil dapat menjadi angkutan umum non trayek (kalau trayek contohnya Kopaja 19 dengan trayek Blok M-Tanah Abang, di luar trayek tsb dilarang mengangkut penumpang) dengan beberapa pilihan yaitu sebagai taksi, angkutan dengan tujuan tertentu, keperluan pariwisata dan angkutan untuk kawasan tertentu (misal di kawasan industri atau bandara). Yap, UU dan PP spesifik menyebutkan “taksi” sebagai satu-satunya angkutan umum non trayek yang fleksibel (yang lain kan dibatasi fungsi, wilayah dan tujuan). Taksi boleh seliweran kemana-mana, sepertinya batasannya hanya jarak karena saya pernah naik taksi dari Karawaci ke Cilegon (kawasan plat B ke kawasan plat A). Dan taksi beroda empat (lihat Pasal 42 (3) PP 74/2014, disitu taksi dikatakan meliputi mobil sedan dengan 3 ruang dan non sedan dengan 2 ruang). Tidak ada ruang untuk kendaraan bermotor roda dua sebagai angkutan umum non trayek di Indonesia. Namun, bagi Uber Taxi, masih ada celah. Apalagi Uber mengklaim dirinya sebagai perantara/broker antara pemilik kendaraan dengan calon konsumen.

Angkutan Umum Roda 4 Non Taksi?
Saya mau bahas Uber dulu, yang rodanya empat. Hehehe. Sebelumnya, saya kasih tau definisi Kendaraan Bermotor Umum. Dalam PP 74/2014 Pasal 1 (5), definisi Kendaraan Bermotor Umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Please emphasize on last phrase: “dipungut bayaran”.

Uber, hanya menerima pemilik kendaraan roda empat untuk dipasarkan via aplikasinya ke calon konsumen jasa. Uber sama sekali bukan taksi karena tidak pakai argo dan tentunya tidak punya izin taksi. Dalam rantai hubungan produsen dan konsumen, Uber adalah broker. Dia membuat aplikasi, membuka pendaftaran bagi produsen jasa angkut mobil untuk dipasarkan ke calon konsumen jasa. Persis pasar dalam arti sebenarnya. Bayangkan Uber adalah Pasar Modern BSD, para pemilik kendaraan adalah tenant dan calon konsumen masuk ke pasar untuk milih akan belanja ke tenant yang mana. Dengan kegiatan seperti ini, Uber jelas tidak butuh izin sebagai penyelenggara angkutan umum orang. Kalaupun ada pihak yang memerlukan izin penyelenggaran angkutan umum orang, maka pihak itu adalah si pemilik mobil. Apa salahnya Uber? Secara filosofis, bisnisnya dia biasa aja. Cuma beda media dan barang yang dijual. Sama aja kayak Bukalapak.com. Pasar juga. Kaskus? Sama. Mungkin Uber mirip banget sama FJB Kaskus dengan rekber (Rekening Bersama). Beda barang jualan.

Uber mungkin bakal kesandung masalah harga. Uber mempunyai harga standar, yang ditawarkan sama kepada seluruh calon konsumen walaupun pemilik mobilnya beda. Kesepakatan harga mungkin dibuat oleh Uber agar tidak perlu rempong bikin harga beda-beda antara pemilik kendaraan satu dengan yang lain. Ini bisa jadi problem karena secara umum, sebuah “pasar” tidak menentukan harga yang boleh ditawarkan penjual/tenant ke calon pembeli. Si pengelola pasar hanya berhak atas uang sewa (dalam hal Uber, fee). Untuk harga seharusnya murni kesepakatan antara pemilik kendaraan dan calon konsumen.

Tapi tetep, saya maunya fair. Kalau memang Uber dipersalahkan karena menggunakan mobil yang bukan merupakan angkutan umum orang, gimana dengan “omprengan” yang kerap mengangkut pekerja dari daerah Bodetabek ke pusat Jakarta? Omprengan ini biasanya untuk rute-rute Cibubur, Bekasi Timur, Bogor. Banyak lho, teman-teman saya yang pakai jasa omprengan ini. Kalau dibandingkan dengan mobil-mobil yang ditawarkan via Uber, mereka sama: sama-sama bukan taksi, bukan mobil pariwisata tapi ngangkut orang dan memungut bayaran. Platnya juga nggak kuning. Dan biasanya dioperasikan orang perorang. Kalau mau  bicara menegakkan aturan, omprengan gini juga seharusnya kena. Yakan?

Oh, apa Kemenhub udah tahu soal Nebengers.com? Bisa makin ruwet mereka. Di Nebengers, ditawarkan mobil dan motor, dengan sistem nebeng. Tapi enggak selalu nebeng for free, pemilik kendaraan dibolehkan meminta imbalan, misal dalam bentuk uang tol, patungan bensin. “Dipungut bayaran”, juga kan walaupun kecil atau bentuknya tukar barang/barter?

I Stand for Ojek (Online and Old-School)
Seperti sudah ditulis di atas, motor roda dua tidak masuk kategori kendaraan umum angkutan orang non trayek. Ada kekosongan hukum karena bukan dilarang, tapi tidak disebutkan. Sama halnya keberadaan pembantu rumah tangga sebelum Permenakernya keluar, bukan dilarang tapi hanya tidak disebutkan di aturan manapun. Bedanya, Kementerian Tenaga Kerja cukup berbesar hati dan peka terhadap kebutuhan masyarakat. Alih-alih melarang sesuatu yang “tidak ada hukumnya” Kemenaker berusaha mengakomodir sedemikian rupa agar PRT bisa tetap bekerja secara legal, aman dan nyaman sehingga para ibu tidak perlu pusing merasa kehilangan tenaga untuk membantu di rumah (kalau Kemenaker meng”haram”kan PRT). Walaupun masih ada kekurangan, tapi penerbitan permenaker PRT harus diapresiasi.

Bagaimana dengan ojek (online dan konvensional) dan tanggapan Kemenhub?

Yang saya pelajari di bangku kuliah melalui sebuah mata kuliah berjudul Teori Hukum Pembangunan, Prof. Mochtar Kusumaatmadja mempunyai pendapat bahwa hukum harus dapat menjadi sarana pembaharuan bagi masyarakat. Yang saya tangkap dari teori guru besar Fakultas Hukum Unpad tersebut adalah: hukum harus “mengerti” kondisi masyarakat. Harus peka. Harus melihat kebutuhan, keresahan dan keinginan masyarakat. Bahkan dikatakan, untuk pembaharuan tersebut hukum harus menjadi panglima, artinya apa? Hukum harus berada some steps ahead dari keadaan masyarakat pada saat itu. Berpikir ke depan. Futuristik. Bukan ketinggalan di belakang, apalagi menolak mengakomodir perubahan. Saya rasa UU ITE merupakan suatu produk hukum bisa jadi contoh hukum yang mengakomodir perubahan.

Apalagi fenomena ojek sudah ada sejak lama. PP 74/2014 diterbikan di tahun 2014 tapi kenapa tidak peka terhadap fenomena ojek konvensional? Kenapa saya tekankan disini ojek konvensional, karena Gojek, Blu-Jek dll hanya berbeda dari sisi cara menjual jasa saja, tapi barangnya, objeknya sama, yaitu kendaraan umum orang beroda dua. Saya kira, semua orang di pemerintahan, terutama Kemenhub, tahu betul adanya ojek dan saya jamin 70% pegawai Kemenhub pernah pakai jasa ojek. Apakah pada saat itu Kemenhub mengirimkan surat ke Polri meminta penertiban ojek konvensional? Apakah itu menjadikan pangkalan-pangkalan ojek konvesional sebagai target razia polisi atau Satpol PP? Sebelum ada Gojek, Grabike dll, ojek konvensional bertebaran di depan Stasiun Palmerah dan dijaga Polantas. Bukan diusir, tapi Polantas hanya menjaga supaya ojek tidak terlalu mangkal ke tengah jalan. Tidak dilarang, dirazia atau ditahan.

Andai saja Kemenhub bersedia menerima kenyataan kalau ojek sudah sejak lama jadi angkutan umum dan mengakomodir melalui peraturan perundang-undangan, urusan keabsahan usaha Gojek bisa sedikit terurai dari yang semula riwet kayak benang kusut. Gojek bisa dikategorikan sebagai perusahaan angkutan umum, misal. Yang penting, barangnya (ojek) dulu diatur.

Akhirnya, saya jadi menyimpulkan kalau Kemenhub enggan mencoba mengakomodir perubahan masyarakat. Entah repot, entah tidak sempat, atau… ada tekanan pengusaha atau organisasi pengusaha yang terancam dengan perubahan pola transportasi umum masyarakat ini?

Saya dan pengguna jasa transportasi umum lainnya, sudah cukup capek dengan pilihan transportasi umum yang terbatas, padahal kebutuhan terhadapnya sangat tinggi. Bahkan bukan hanya terbatas, tapi juga tidak aman. Metromini dan Kopaja yang ugal-ugalan, halte yang minim fasilitas, terminal yang seram, KRL penuh sesak dengan keterlambatan jadwal yang seolah jadi rutinitas, angkot yang lebih banyak ngetemnya, dan ketidaknyamanan lain yang masih saja aja di usia Indonesia yang sudah 70 tahun ini. Apa salahnya melegalkan alternatif transportasi umum lain selain yang sudah ditetapkan dalam peraturan?

Oh iya, kabar sedikit melegakan datang dari teman saya yang wartawan. Katanya, sejauh ini Polri masih meninjau aspek kebutuhan masyarakat dan konflik ojek online dengan ojek konvensional, sebelum betul-betul menindak ojek online. So, mungkin para Pak Polisi kali ini betul-betul melakukan pengayoman terhadap masyarakat.

Regards,
Tita


Rabu, 28 Oktober 2015

Poligami

Kalau ditanya pendapat saya soal poligami, saya bisa membagi fase pemikiran saya dalam 3 periode; jauuh sebelum menikah, periode setelah menikah dan periode setelah punya anak. Dalam masing-masing periode, saya punya pendapat yang berbeda, yang sebagian besar dipengaruhi oleh pengalaman.

Jauh sebelum menikah, saya bisa dibilang gak pernah kepikiran soal poligami. Kayaknya pertama kali ngeh waktu nonton acara gosip yang bilang kalau Parto punya istri muda. Waktu itu saya gak mikir muluk muluk, cuma mikir: ih kaya gitu aja istrinya ada dua. Iya, fisik. Hahahaha. Kemudian mulai inget lagi ketika Aa Gym poligami. Tapi ya saya gak pikirin juga sih, lah istrinya kayaknya juga adem ayem aja.

Yang kedua, fase setelah menikah. Maksudnya, persis setelah menikah banget ya, newlywed gitu. Karena masih euforia berlebihan, saya gak respek tuh sama poligami. Dan gak kepikiran sama sekali buat mengiyakan dan bahkan sampai mau dipoligami. Amiiit. Hahahaha.

Sampai saya tiba di tahap yang sekarang. Periode setelah melahirkan.

Menjadi ibu baru yang amatir itu betul-betul bikin stres. Belum lagi ditambah urusan rumah tangga yang lain. Kayaknya sih saya nggak baby blues, tapi masa-masa itu bukan masa yang gampang untuk dilalui. Saya capek, harus begadang, nyusuin, nahan sakit bekas luka sesar dan banyak hal printil lain yang could not meet my expectations. Iya, saya orangnya banyak mau dan sok perfeksionis. Dan punya bayi itu susah banget jadi perfect according to my standard. Termasuk to have a perfect posture. Semua hancur minah pasca melahirkan. Hahaha.

Masalah gak cuma itu. Selain punya bayi, saya juga (masih) punya suami yang juga punya kebutuhan. Kebutuhan yang cuma bisa dipenuhi dengan bantuan saya. Yap, sexual needs.

Sementara bagi saya, dan mungkin kebanyakan perempuan, pleasure is not always about making love, laki-laki kayaknya gak gitu deh. Oke, mereka pasti punya hobi, tapi begitu liat istri di rumah pake hot pants, ya maunya dimamam. Beda sama kita, mau suami gapake apa apa juga sebodo lah, malah cenderung ngomel: geloooo!

Kondisi pasca melahirkan bukan kondisi yang nyaman bagi saya buat make love. Apalagi flirting, apalagi foreplay. Hissshh. Gendut, capek, unhappy, jelek. Seriously, those were on my head. And it took soo much time and understanding from my beloved husband sampai akhirnya saya bisa kembali enjoy making love to him. Fiuh.

Considering that experience, dan mengaitkannya sama poligami, saya realize satu hal, kalau mungkin poligami itu ada sebagai salah satu jalan keluar perbedaan fitrah laki laki dan perempuan. Perempuan, nggak menjadikan hubungan seksual sebagai basic need. Saya bisa tetep happy walaupun sebulan gak make love, asal suami saya bageur. Serius. But how about him?

Nggak usah ketika istri sakit dan nggak bisa melayani kebutuhan suami, ketika istri sehat wal afiat tapi secara psikologis kesulitan untuk memenuhi kebutuhan suaminya dan suaminya gak ikhlas, harus ada solusi. Either istrinya berubah, atau bolehin suaminya poligami. Fair enough? Saya rasa iya. Kalo gakmau dipoligami, ya supaya sama sama senang, mesti saling memenuhi kebutuhan dong.

Sejak itu, saya mulai melihat poligami sebagai solusi. Ketika istri sudah tidak mampu atau tidak mau memenuhi kebutuhan syahwat suami, tapi nggak benci juga sehingga cerai juga bukan solusi.

Kalo ditanya mau atau enggak, saya sih masih jawab gakmau. Makanya, konsekuensinya harus pinter2 atur diri biar bisa jalanin tugas sepenuhnya sebagai istri. Kalau udah ampun nyerah banget yaaa bisa jadi.

Makanya, romantis banget suami yang sampai tua cuma punya 1 istri. Artinya dia pengertian sekali. Bisa ngalahin ego dan fitrahnya, demi terus bikin hepi istrinya, yang pasti lebih suka untuk jadi satu satunya :)

Love,
Tita

Rabu, 21 Oktober 2015

Letakkanlah Mantan (Pacar) Pada Tempatnya

Heran ya kenapa saya sok produktif banget belakangan?

Oke, sedikit intermezzo. Jadi, beberapa waktu lalu saya beberes barang-barang jaman muda (baca:SMA) dan menemukan beberapa draft cerpen dan novel yang sudah saya print rapi, entah buat tujuan apa. Saya baca satu-satu dengan hampir berlinang air mata (ini serius) dan saya menemukan bahwa ternyata cita-cita pengen punya novel sudah ada sedemikian lama di dalam hati. Saya juga jadi ngeh kalau sejak 2008 sudah punya postingan di blog. Aaah, baiklah, saya anggap ini pertanda dari Yang Maha Kuasa bahwa saya harus terus latihan nulis dan semangat punya novel sendiri. 

Baiklah, cukup intermezzonya, kalau kepanjangan jadi enggak matching sama judul yah, ses.

Jadi gini, sebagai perempuan yang pernah khilaf, yap, saya punya mantan pacar. Cuma dikit kok, soalnya saya dari dulu orangnya setia (apa pasrah?). Ditambah nggak kece-kece amat, jadi yang naksir juga bisa dihitung pake jemari tangan kanan. Sedih? Tentu tidak (elap air mata). Nah, karena punya mantan pacar, jadi wajar dong kalau ada bagian di dalam otak saya (entah bagian mana, hey! Saya kan anak sosial, enggak ketemu Biologi dari tahun 2004), yang menyimpan memori tentang si mantan pacar ini sehingga suami saya bukan satu-satunya laki-laki non-muhrim yang saya ingat. 

Waktu muda dulu (tahu kan definisi "muda" versi saya?), saya berpendapat kalau ingat soal mantan pacar di saat kita sudah punya penggantinya adalah haram hukumnya. Haram, nggak etis, nggak berperasaan, kurang ajar, pengkhianat, mata keranjang dan sederet sifat hina lainnya. Nggak bisa dimaafkan. Jadi, kalau sudah punya pengganti, seluruh memori, barang, kenangan dan apapun itu yang sudah dicap sama mantan pacar haruslah hilang, blas, ditelan bumi atau dibakar juga boleh. Ada lho teman saya yang literally ngebakar semua hadiah dari mantan pacarnya setiap (iya, bukan cuma sekali) punya pacar baru.

Makin tua, ehm, dewasa, pikiran saya tentang mantan pacar makin berubah, sih. Dan ini dipengaruhi beberapa faktor. Yang utama adalah karena akhirnya saya merasakan punya mantan pacar (sungguh pengalaman adalah guru terbaik). Faktor-faktor lain sepertinya sih ya karena sudah melewati masa alay saja. Jadi hal-hal printilan begitu makin enggak penting, terutama setelah tahu yang namanya bayar cicilan KPR (hiks!).

Saya yang sekarang mulai ngerti secara ilmiah kalau yang namanya ingatan/memori seseorang nggak mungkin hilang kecuali mengenai hal sepele dan/atau karena amnesia/penyakit ingatan lainnya. Mantan pacar, tentunya bukan termasuk hal sepele apalagi penyakit ingatan. Pada masanya, si mantan ini adalah poros dunia. Mau makan inget dia, mau tidur inget dia, gak ketemu sehari langsung kangen, berjarak cuma 40 km berasa long distance. Ya segitunya lah. Wajar dong kalau banyak hal tentang si mantan jadi ada terus di kepala. Misalnya dulu kalau pacaran sama mantan sukanya ke Blok M Plaza, sepuluh tahun kemudian bisa jadi masih keinget mantan kalau lewat Blok M Plaza (ih anak 99 banget sih mainannya Blok M Plaza). Dan soal barang pemberian, mubazir lah kalau dibuang/dibakar. Apalagi kalo handphone atau LM. Jual aja. Mayan. Hahahaha.

Jadiii, larangan buat inget mantan itu nonsense banget. Kecuali digetok kepalanya sampe amnesia itupun gambling. Bisi amnesia henteu, modyar iya.

Nah, karena hal yang udah scientifically proven itu susah buat dibantah dan disangkal, makanya dalam hal ini yang namanya perasaan mesti kompromi dong. Maklum lah kalau pasangannya masih inget mantan, kan ilmiah. Yang aneh kan kalau inget, kebawa mimpi, kebawa ngigo, besoknya telpon-telponan, janjian ketemuan, terus kawinnya malah sama dia bukan sama kita. Seperti suami saya selalu bilang: punya perasaan sama orang lain sih manusiawi, yang aneh kan kalau di follow up padahal udah ada komitmen dengan satu orang. 

Ever since, saya sih biasa aja sama perkara mantan pacar ini toh memang mereka ada tempatnya sendiri di memori dan hati pemiliknya. Selama, diletakkan pada tempatnya dan nggak ganggu kepentingan umum. Nggak setuju? Bagi yang punya mantan pacar, cobaaaa dirasa-rasaaa, deh. Hahahaha. Kalau aku salah nanti aku traktir makan :)

Love,
Tita

Selasa, 20 Oktober 2015

Kenapa Saya Belum Hamil Lagi

Bagi perempuan yang sudah jadi istri dan belum juga hamil, jangan kecil hati dengan pertanyaan saudara atau teman (sok) dekat soal kehamilan. Jangankan dikau yang belum pernah hamil, diriku yang sudah pernah hamil satu kali aja masih ditanya "kapan nih, adiknya Ishbir?". Ngok.

Waktu hamil sebetulnya nggak berpikir jauh sampai ke program keluarga berencana, termasuk kapan mau hamil kedua, ketiga, dan seterusnya. Setelah melahirkan, karena melalui proses sesar, dokter yang menangani saya langsung menyarankan untuk pakai alat kontrasepsi supaya kehamilan kedua bisa berjarak minimal 2 tahun dari kehamilan yang pertama. "Supaya bisa melahirkan normal, Bu," begitu komentarnya. Hal ini sudah sering saya dengar, jadi saya setuju untuk pasang alat kontrasepsi jenis IUD merek Nova T bersamaan dengan melepas jahitan luka sesar di minggu kedua pasca melahirkan.

Gimana setelah ngerasain ngurus anak?

Nah, setelah masuk fase jadi ibu dengan anak yang makin tumbuh besar, saya makin merasa keputusan memasang IUD kemarin adalah suatu hal yang tepat. Pertama, saya akui mengurus anak itu melelahkan. Hehehehe. Seriusss. Seneng tapi capek. Kayak semacam hobi olahraga gitu. Bedanya kalau hobi bisa kita atur, kalau bayi? Nggak lah ya. Sesuka hati dia aja kapan mau bikin kita repot, pegel atau begadang. Jadi, saya nggak kebayang bagaimana kalau harus menambah 1 anak lagi dalam waktu dekat. 

Kedua, adalah masalah waktu. Saya ibu bekerja. Berangkat jam 6 pagi, sampai rumah lagi baru jam 7 malam. Begitu terus setiap weekdays. Selama kerja anak diasuh sama asisten rumah tangga dengan supervisi orangtua saya dan suami. Waktu bermain dengan anak di weekdays hanya setelah pulang kerja dan bebersih ini-itu atau sekitar jam 8 malam. Seringnya, karena ditinggal ibunya kerja, anak saya malah cranky malam-malam, minta digendong, minta makan kerupuk, ah, pokoknya menguji kesabaran lah. Kalau saya lagi sabar oke saya bisa handle emosi saya, tapi kalau menjelang PMS, subhanallah, sulit sekali mengontrol emosi. Yang ada, sudahlah waktu ketemu hanya sebentar, malah berakhir dengan marah-marah. Gimana kalau ada 2 balita? Saya gak tega deh ngebayangin betapa sedikitnya waktu saya buat mereka.

Ketiga, ketika hamil pertama, saya super payah. Untungnya bukan payah dalam arti kandungan yang lemah, tapi saya mengalami mual, lemas dan lemot selama berbulan-bulan sampai masuk bulan keenam kehamilan. Saking mualnya, enam bulan hamil, berat badan saya nggak naik sama sekali. Makan apapun enggak selera. Bahkan saya nggak bisa pakai kerudung karena merasa lehernya kelilit. Hahahaha. Yang paling bikin malu, saya lemot banget. Kerjaan nggak bisa selesai cepat dan bener, pasti ada aja kesalahan yang nggak perlu. Dari pengalaman itu, saya cukup tahu diri saja lah. Kalau hamil melulu nggak enak sama employer. Hehehe.

Keempat, saya pengin kasih waktu badan saya buat istirahat. Saya menghindari menjadi terlalu capek sampai-sampai mempengaruhi mood dan perilaku saya ke suami dan anak saya. Karena hamil bukan perkara santai. Cukup menguras emosi dan energi. Lagipula, konon, happy mom means happy family :)

Untungnya suami saya setuju dengan persepsi saya soal kehamilan kedua. Tidak ada pressure juga dari keluarga untuk segera punya anak lagi. Lagipula, anak itu rejeki yah, kalau emang jatah saya punya anak lagi, Gusti Allah pasti kasih walaupun sudah dibentengin sama alat kontrasepsi. Kalaupun akhirnya kebobolan ya, bismillah aja. Pasti ada caranya supaya hidup tetap lancar, happy dan manfaat.

Jadi kalau ditanya kapan punya anak lagi, saya sih bakal bilang: belum tahu :)

Love,
Tita

Jumat, 16 Oktober 2015

Fun Read Review: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990


Penasaran sama novelnya udah lumayan lama, mengingat balihonya pernah gede banget mejeng di depan pintu Gramedia Plaza Semanggi selama berbulan-bulan. Apaan sih nih? Cuma karena saya mulai terlalu menjiwai peran sebagai ibu-ibu, saya mulai malas baca novel yang cinta-cintaan remaja gitu. Ih tau darimana novel ini cinta-cintaan remaja? Jelas banget sih dari covernya yang pakai ilustrasi anak berseragam SMA. Jangankan romantisme anak SMA, romantisme pasangan usia 25-an pun saya udah nggak gitu tertarik. Tapii, kemarin mulai terusik lagi karena temen kuliah posting foto novel ini di IG-nya. Katanya suasana Bandung di novel itu bikin nostalgia. Walaupun saya kuliah di Bandung tahun 2005 dan latar belakang novel adalah Bandung tahun 1990, tapi lumayan bikin saya tertarik. Salah satu kesukaan saya membaca novel karangan orang Bandung adalah penggunaan kata yang khas Sunda Bandung banget. Dan saya nggak kecewa sih, ketika baca novel ini, celetukan khas anak-anak Bandung sukses bikin saya nostalgia inget temen-temen kuliah yang asli Bandung.

"Cuma berdua?"
"Banyakan" kujawab dengan wajah berusaha memelas. 

Banyakan! Hahahhaa. Kosa kata itu saya yakin cuma keluar dari mulut orang Bandung :)

Balik lagi ke novelnya. Saya sih rekomen untuk bacaan santai, ringan, mengisi waktu nunggu (nunggu pesawat, kereta, pacar, anak sekolah) tapi saran saya jangan dipikir dalam-dalam. Hehehe. Buat koleksi okelah karena sifat ceritanya yang romantis-simpel dan bikin perempuan senyum-senyum (saya nggak tahu efeknya ke laki-laki yah). Jadi yang bikin novel ini asyik memang karena cerita dan dialognya yang ringan, romantis, riil, nggak neko-neko.

Tapi saya terganggu banget sama cara menulisnya. Hehehe. Walaupun saya bukan yang Indonesian-grammarzilla banget, tapi menurut saya cara menulis Ayah Pidi ini cukup ganggu dan terkadang malah bikin bingung sehingga saya harus baca ulang bagian yang sama. Bisi salah paham. Saya kasih contoh yaa..

"Pasti dia kecewa karena sudah merasa dibohongi, karena siapa pun dirinya adalah manusia yang hatinya tidak terbuat dari marmer"

Bagian 'siapa pun dirinya adalah manusia' itu salah satu dari sekian banyak susunan kata yang bikin saya pusing dan harus baca ulang karena ngerasa "hah?". Tapi itu mungkin soal selera juga sih. 

Overall, bagus buat koleksi apalagi harganya gak mahal (saya beli versi ebook via Google Play Store harganya hanya Rp31.000,-). Lumayan kalau suatu saat bad mood bisa dibaca untuk mood boosting. Dan kalian cewe-cewe pasti naksir Dilan. Hahahaha.