Selasa, 29 November 2016

Menggantungkan Asa Pada Partai Politik Islam (?)

Suatu pagi di hari kerja, Papa saya telepon dari lokasi kerjanya nun jauh di perairan Kepulauan Riau sana. Beliau bertanya: apa yang bisa ditawarkan partai dengan dasar agama Islam bagi para pemilih muslim di republik ini untuk nanti dipilih pada pilpres 2019? 

(Republik dalam hal ini tentunya Republik Indonesia. Karena paspor saya dan Papa masih sama-sama dikeluarkan oleh Republik tsb).

Kenapa Papa nanya sama saya? Ya emang gitu. Kami keluarga ngobrol, jadi apapun dibahas dan ditanyakan walaupun yang dituju kadang bukan orang yang berkaitan langsung dengan isunya. Seperti saya inilah.

Tapi pertanyaan itu berhasil membuat saya berpikir dan sedikit rendezvous ke masa-masa setelah tumbangnya Orde Baru dimana partai-partai baru bermunculan. Kalau saya ndak salah ingat, bahkan jumlah partai yang ikut pemilihan umum sempat menyentuh angka 48 partai politik. Wih. Empat puluh delapan itu dua belas dikali empat, lho. Kalau di belakangnya ditambahkan "bulan" artinya empat tahun. Oke, lupakan.

Menjamurnya partai politik kala itu dimanfaatkan juga oleh beberapa orang yang mempunyai cita-cita akan sebuah partai politik berdasarkan agama Islam, selain Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tentunya. Mengigat pada masa itu dikhawatirkan keberadaan PPP hanya sebagai pelengkap lauk untuk disajikan di meja demokrasi pada periode Orba, besama-sama dengan Partai Golongan Karya (Golkar) dan Partai Demokrasi Indonesia (tanpa Perjuangan, atau disingkat PDI). Hal ini, tentunya disambut gembira dan penuh pengharapan oleh beberapa muslim di Republik ini, diantaranya Papa dan Mama saya.

Kemudian bulan dan tahun berganti, tokoh reformasi, yang muslim terutama, satu demi satu tumbang entah karena apa, partai politik berdasarkan agama Islam pun berganti pakaian. Sampai pada suatu masa di mana mulai banyak anggota dari partai politik berdasarkan agama Islam yang ditangkap komisi anti rasuah atau penegak hukum lain, bahkan tak jarang perkaranya tidak hanya terbatas pada korupsi, kolusi atau nepotisme, namun juga merambah ke hal lain yang sifatnya esek-esek. Geli. Alih-alih menggantikan tokoh sebelumnya yang menghilang entah karena faktor apa, malah tokoh-tokoh muda ikutan berjatuhan karena pelanggaran hukum dan etika.

Hari ini, hampir di penghujung tahun 2016. Artinya, tak kurang dari 2 tahun lagi, partai politik harus punya pilihan untuk mengusung seseorang menjadi calon pemimpin Republik ini. Tapi tak muncul juga batang hidungnya, si tokoh yang diandalkan partai politik berdasarkan agama Islam untuk diusung menjadi capres, kecuali petahana yang pada masa kampanyenya sering dihujani isu dirinya tidak pro-muslim, dibekingi non-muslim dan isu-isu anti-muslim lainnya.

----------

Salah satu fungsi partai politik adalah rekrutmen politik yang ditujukan untuk menemukan seseorang untuk mengisi jabatan politis tertentu, seperti kepala daerah dan juga tentunya, kepala negara (dalam hal Republik ini: presiden). Melalui instrumennya, partai politik diharapkan mampu menjaring orang-orang yang mumpuni untuk menduduki jabatan politis yang ada di Republik ini. Tapi kan nanti orang tersebut akan mempunyai latar belakang pemahaman sama seperti partainya, gimana tuh? Ya ndak apa-apa dong. Toh sebetulnya untuk menjadi sebuah partai politik harus memenuhi beberapa persyaratan yang dikasih undang-undang jadi seharusnya ndak ada satu partai politik pun yang mempunyai dasar menyimpang jauh dari cita-cita kemerdekaan Republik ini, sehingga kadernya pun seharusnya sama selarasnya dengan hal ini. Justru disitulah enaknya ada partai politik. Sedikit banyak kita bisa tahu isi dari calon pejabat politik hanya dengan melihat partai politik yang mengusungnya. Mayoritas muslim di Republik ini menginginkan pemimpin Republik yang juga muslim, tidak hanya berdasar KTP tapi juga jiwa dan raganya dipenuhi nilai-nilai Islam yang benar, baik dan rahmatan lil alamin. Dan jenis pemimpin seperti ini, jika mengacu kepada latar belakang pemahamanan partai politik, sangat diharapkan untuk mampu dihadirkan oleh partai politik yang berdasarkan agama Islam. 

Jadi sebetulnya, partai politik berdasarkan agama Islam ini menanggung beban yang teramat berat karena tingginya harapan sebagian besar muslim di Republik ini. Jika selama ini bagian besar tersebut hanya pernah mendengar cerita mengenai indahnya dipimpin oleh Rasulullah dan sahabat-sahabat Rasulullah, maka mereka pun ingin melihat sosok-sosok tersebut menjelma dalam diri pemimpin-pemimpin Republik masa kini. Selain itu, partai politik jenis ini juga menggunakan kebesaran Islam yang disengaja ataupun tidak, mendompleng popularitas mereka di kalangan umat Islam sendiri. Ibaratnya, seorang anak penyanyi tenar yang berkarir sebagai penyanyi, tentu akan sangat terbebani oleh nama besar orangtuanya. Dan betapa pendengar akan mencemooh orangtuanya jika si penyanyi tersebut memiliki suara sumbang. Logika demikian juga berlaku bagi partai politik berdasarkan agama Islam. Jika terjadi hal tidak mengenakkan mengenai organisasi tersebut, maka Islam yang akan ikut tampak jelek di hadapan golongan lain, atau bahkan golongan internal Islam itu sendiri. Sebuah hal yang seringnya berujung pada apatisme muslim kepada politikus muslim dan berakhir pada kurangnya elektabilitas calon pemangku jabatan politis dari kalangan muslim. Karena berdagang politik hanya dengan menggunakan label"Islam" lama-kelamaan akan menjadi kurang efektif seiring dengan semakin terbukanya wawasan pemilih muslim. Mereka juga akan menuntut kinerja, keahlian dan kejujuran, di luar keimanan.

----------

Maka, apakah partai politik berdasarkan agama Islam yang kini ada akan mampu menghasilkan atau menemukan kemudian mengusung calon pejabat politik yang betul-betul seorang muslim yang baik dan juga sekaligus pemimpin yang ahli untuk 2019?

Jangan sampai rakyat yang muslim ini terpaksa memilih orang tertentu yang oleh kebanyakan muslim dinyatakan haram untuk dipilih hanya karena kehabisan pilihan orang sesama muslim yang dapat dipercaya.

Demikian disampaikan.


pritta.kartika