Selasa, 03 Juni 2014

Perempuan Dandan

Somehow, saya nggak serta merta setuju kalau ada yang mengasosiasikan perempuan yang selalu dandan dengan gaya hidup yang wah, gaul, serba up to date, dan lain-lain yang kesannya jauh dari bumi.

FYI, dandan atau make up adalah salah satu upaya manusia biasa untuk menonjolkan kelebihan dan menutupi kekurangan. Sesimpel itu. Sama kayak baju, sepatu, tas, prestasi segudang, skill main musik, suara bagus bahkan sampai ke mulut nyinyir. Semua semata mata usaha untuk menutupi kekurangan dan memperkuat kelebihan. Nambah kalau bisa.

Dan bagi perempuan, terlihat lebih banyak cantiknya ketimbang jeleknya, secara fisik, membuat kebanyakan dari mereka lebih nyaman dan percaya diri tentunya. Apalagi kalau asosiasi cantik si perempuan ternyata diamini oleh mayoritas laki-laki. Pevita Pearce, misalnya.

And that is why Pevita Pearce shall be very thankful to God, karena dari segi fisik, udah terlalu banyak kelebihan dan well, I do not see any minuses. Rambut oke, mata bulat, kulit cemerlang, hidung mancung, badan ideal. All women want and NEED. Unfotunately, enggak semua perempuan seciamik itu. Banyak perempuan dilahirkan dengan cobaan berupa kekurangan dari segi fisik, yang mana kekurangan tersebut seringnya unacceptable bagi kebanyakan orang, or more importantly, bagi lawan jenisnya. Disinilah perempuan mencari akal. Salah satunya: make up.

Yes, make up is one of our saviour angels. Selain push up bra dan korset, tentunya.

Alis tipis tapi pengen jadi selebat dan setegas milik Audrey Hepburn? Dengan sebuah pensil alis dan skill membentuk alis yang cukup diasah dalam seminggu, maka voila, jadilah alis cantik.

Pipi tembem dengan tulang pipi yang kotak? Well, thanks to founder of shading technique. Dijamin dalam sejam kurang, muka bisa lebih tirus daripada diet sebulan. Kalo ga percaya, tanya aja BCL.

Jadi, bagi saya, nggak ada lah korelasinya antara perempuan bermake up lengkap dengan gaya hidup. Perempuan yang enggan dandan dengan make up, kemungkinan besarnya adalah karena nggak bisa dandan. Tapi sekali mereka ketemu celahnya, pasti ada (pasti) satu bagian wajah yang mereka koreksi dengan bantuan make up tools. Kecuali ya, emang udah diakui tjakep sama buanyak banget orang.

Cuma karena pengen terlihat lebih cantik di mata orang lain, dan di mata diri sendiri terutama di depan cermin.

Menurut saya nggak ada yang salah. Walaupun, back to basic, semua hal yang berlebihan emang ujung-ujungnya bikin eneg juga.

Lots love,
Tita

Minggu, 18 Mei 2014

Untitled

Menurut saya, reaksi psikologis seseorang ketika mendapat hal yang sulit diterima, reaksi paling pertama: menolak.

Kemudian waktu mengunyahnya jadi: menerima.

Dan setelah fase menerima, ada dua hal yang mungkin terjadi: selalu ingat atau hilang sama sekali.

Apa indikatornya? Untuk menjadi hilang sama sekali, biasanya perlu hal baru yang menghajar lebih keras dari yang sebelumnya. Kalau tidak ada, maka resikonya: selalu ingat.

Dalam semua fase di atas, yang diperlukan cuma akal supaya jadi waras.

Salam,
Tita

Kamis, 15 Mei 2014

Forgotten Issue: Birth Control

Saya penasaran.

Menjelang Pilpres, saya penasaran dengan visi calon presiden sehubungan dengan masalah kependudukan.

Setelah saya menikah dan punya anak, secara refleks saya jadi aware dengan segala isu yang berhubungan dengan anak-anak, khususnya mengenai kesehatan mereka secara fisik dan psikologis/mental dan pendidikan.

Dih, apa hubungannya sama kependudukan?

Anak-anak yang baru lahir pasti menggerakkan statistik kependudukan dong, begitu juga dengan mereka yang meninggal. Kalau yang meninggal sih enak, paling masalah sosialnya adalah mengenai pengadaan taman makam, sisanya sudah urusan almarhum dengan Yang Maha Kuasa, pemerintah dan masyarakat nggak akan dipusingkan.

Tapi anak-anak yang baru lahir?

Wow. Mereka membawa banyak isu yang harus dijawab dan dicari solusinya, bukan hanya oleh orangtuanya, tapi juga oleh pemerintah. Setiap anak yang lahir, cepat atau lambat, membutuhkan fasilitas perumahan, kesehatan, pendidikan formal dan informal, serta keamanan dan kenyamanan. Karena anak-anak yang tidak difasilitasi dengan baik perkembangannya, adalah bakal bakal calon manusia yang nggak berdikari, entah secara psikologis atau secara ekonomi. Ya kalau tidak berdikari secara ekonomi, kalau nggak jadi pengangguran, opsi lain adalah meningkatkan angka kriminalitas.

Nah, bisa nggak pemerintah meminimalisir munculnya anak-anak yang gagal difasilitasi pertumbuhannya ini? Ya bisa, salah satunya dengan program pengendalian penduduk, dong. Agennya siapa lagi kalau bukan yang udah kece banget terpampang iklannya dimana mana: BKKBN.

Tapi, saya merasa si BKKBN ini seperti nggak digarap maksimal. Padahal, semua masalah suatu negara saya yakin 80% nya datang dari masalah kependudukan. Makin banyak penduduk, butuh makin banyak perumahan, makin banyak fasilitas kesehatan dan pendidikan yang artinya makin bengkak dong anggaran buat semua itu. Dan kalau anggarannya nggak cukup, ya balik ke yang tadi. Muncul anak-anak yang tumbuh dalam minimnya fasilitas. Dan itu berujung pada ah, berlebihan sih, tapi bisa aja berujung pada kehancuran generasi emas sebuah negara.

Kalau dari sudut pandang anak-anak, saya kasihan. Mereka lahir tanpa bisa memilih siapa orangtuanya. Dan ketika mereka punya orangtua yang kalah oleh jaman, mereka juga punya potensi untuk jadi orangtua yang kalah oleh jaman. Kapan ada perbaikan generasi? Pemerintah harus bantu, tapi kalau kebanyakan anak-anak bernasip begini, siapa yang nggak keder.

Makanya, birth control adalah harga mati.

Ilustrasinya kayak pengajuan KPR ke bank deh. Hanya yang berpenghasilan cukup yang bisa punya lebih dari satu rumah. Jadi, dibuatlah standar biaya dan gaji untuk pasangan yang mau punya anak atau nambah anak. Ya sistemnya gimana kek, pasti akan ketemu caranya.

Dan ide gilanya adalah melakukan steril massal kepada perempuan dan laki-laki yang hidup pada kondisi ekonomi atau sosial tertentu. Kondisi sosial maksudnya, misalnya orang gila. Ya daripada perempuan gila di pinggir jalan telanjang diperkosa terus hamil dan punya anak? Mending disteril. Daripada bagi bagi uang sebagai kompensasi naikin harga BBM, mendingan kasih duit bagi mereka yang datang sukarela ke Puskesmas untuk divasektomi atau tubektomi. Gratis dong, pemerintah harus rela rogoh kocek sedalam dalamnya, demi kenyamanan hidup sepuluh dua puluh tahun ke depan.

Soal hak asasi, halah. Emangnya anak-anak yang lahir nggak punya hak hidup layak? Punya! Makanya orangtuanya harus mempersiapkan diri sedemikian rupa atau kalau nggak mampu ya dibantu bersiap siap, baik dari segi ekonomi maupun sosialnya. Soal banyak anak bukan semata perkara materi, tapi waktu. Ada nggak waktunya untuk memperhatikan setiap anak? Bagaimana tumbuh kembangnya, bagaimana interaksi sosialnya di sekolah, dll? Emang gampang? Jadi, birth control ini bukan cuma isu di masyarakat ekonomi lemah tapi semua. Masyarakat kelas ekonomi menengah ke atas juga suka geser otaknya kalau soal mendidik dan membesarkan anak.

Ah, saya emosi kalau bahas beginian.

Jadi, capres mana yang programnya care sama masalah kependudukan?

Rabu, 14 Mei 2014

Saya Sama Yang Sederhana Aja, Deh

Saya nggak pernah pengen punya pasangan orang kaya atau anak orang kaya.

Terserah deh, mau dibilang naif, tapi menurut saya, mendingan beda agama daripada beda gaya hidup. Oke, berlebihan. Tapi ya itu kiasan aja, saking nggak pengennya gitu maksudnya.

Buat saya, materi itu racun. Semua bisa jadi rusak, error, malfunctioning, cuma gara-gara materi, well atau simpel dan gampangnya, gara-gara duit. Sampai Nicky Astria punya lagunya dong. Uaaaangg lagi-lagi uaaaaanggg! Atau lagunya Lucy Rahmawati: ada uang abang kusayang, tak ada uang abang kutendaaaaangg.

Oke, kembali topik.

Uang itu masalah sensitif, bahkan beberapa orang mengasosiasikannya dengan harga diri. Jadi suka gampang sewot kalau bahasannya didasarkan pada materi. Yang ngeliat ke atas bawaannya sewot karena yang di atas kayaknya kok belagu banget. Sedangkan yang di atas menganggap kelas dibawahnya alay, gegara nongkrong di Sevel atau beli barang KW.

Materi berlebih juga bikin orang susah buat punya gaya hidup sederhana. Yang dianggap oleh orang-orang di kelas menengah ke bawah sebagai pemborosan. Dari mulai yang beli baju harganya paling murah 500ribu sampai kemana-mana maunya pakai mobil pribadi. Sedangkan yang di kelas atas kalau nggak melihat penghematan sebagai suatu kesusahan atau enggak malah ujung-ujungnya iba atau kasihan.

Saya pernah tuh, dikasihanin karena mesti berangkat kantor desak-desakan naik KRL. Plus ditanya kenapa nggak naik mobil aja. Yagitu, dia pikir semua orang di Indonesia punya lima mobil pribadi.

Dua hal itu yang menurut saya, bikin hubungan jadi makin susah.

Atau karena saya aja ya yang ribet dan gengsian?

Ih tapi gengsi nggak sih, kalau ketika kita ulangtahun cuma bisa kasih hadiah iket pinggang Hush Puppies, sementara si pasangan yang tajir melintir ngasih kita kado iPhone 5s. Hiiyyy. *tutup mata, nggak mau bayangin.

Paling serem, kalau akhirnya nikah dan secara personal pendapatan si pasangan ternyata nggak bisa menutup gaya hidupnya, terus masih mesti minta tolong orangtua.

Pingsan.

Jadi, saya sama yang sederhana aja deh.