Jumat, 24 Juni 2011

Sangat Senang Dikenang

Saya baru tahu rasanya dikenang. Benar-benar menyenangkan. Apalagi oleh teman lama. Lama dalam arti sudah lama berkenalan dan sudah lama pula tidak bertemu. Rindu? Tidak juga. Sosoknya hanya jarang-jarang melintas di kepala.

Siang tadi, menjelang pukul 12, saya mendapat sebuah pesan singkat melalui layanan messenger elektronik dari seorang teman lama. Katanya, dia melihat seseorang lalu teringat saya. Dan disertakan gambar orang dimaksud. Begitu melihat gambar, saya langsung tertawa. Saya tahu betul apa yang membuatnya terkenang saya. Sepatu bootnya si orang. Mirip dengan punya saya. Saya terharu karena boots saya membuat dia mengenang saya. Bertahun-tahun kemudian.

Kemarin sore, sekitar jam pulang kantor, saya memperoleh sebuah mention pada Twitter. Seorang teman lama juga. Katanya, dia ingin berkicau tentang paragraf terakhir cerpen saya. Ah. Dia masih simpan draft cerpen culun saya? Dan dalam kondisi tertentunya, dia ingat membuka kembali filenya. Setengah tahun lalu, teman lama yang sama mengingatkan saya untuk kembali menulis. Begitu dia mengenang saya, karena saya suka menulis. Bertahun-tahun kemudian.

Memang hanya teman-teman lama. Bukan tempat rutin membuang sampah kala PMS. Tapi. Justru itulah. Ketika ternyata saya dikenang mereka, saya senang. Terharu tepatnya.

Maka, saya tidak akan ragu mengenang orang. Dan mengungkapkan kenangan saya kepadanya. Karena dia pasti senang, seperti saya.

Love,
Tita

Huge thanks:
Anna plus Sahat.

Si Keren Idealisme

Wuih. Canggih banget saya bahas soal idealisme di blog super casual ini. Biarin ah. Untuk itu internet diciptakan: untuk mengekspresikan diri sengasal mungkin tanpa ganggu orang :)

This sexy word: idealisme, mulai menghantui otak saya sejak kuliah. Sewaktu SMA, persetan dengan idealisme. Jarang sekali saya gunakan kata itu karena kurang pas diletakkan di antara curhatan tentang mengapa pacar tidak telepon di Sabtu malam dalam buku Curhadan dengan teman-teman segeng. Ya, terlalu inklusif. Kata idealisme seperti hanya untuk orang-orang tua atau sok tua.

Mungkin saya beruntung bisa bertemu idealisme karena saya sekolah dengan jurusan hukum. Dimana dikenal salah satu kondisi ideal melalui untaian tulisan yang katanya diklaim sebagai idenya Socrates, Plato atau Aristoteles. Atau Thomas Hobbes. Atau yah, siapapun itulah. Kata idealisme ini makin santer berkumandang di telinga seiring dengan semakin tuanya kedudukan saya dalam strata sosial perkampusan. Entah mengapa, si idealisme ini kerap mampir. Entah lewat tulisan atau lewat mulut-mulut yang gegap gempita memberi kesan idealisme adalah hal termahal yang bisa dipunya seorang mahasiswa.

Tapi tetap. Sampai kuliah tingkat akhir, idealisme masih terlalu dekat dengan segala hal yang sifatnya susah dan anti-materi, bagi saya.

Kenapa? Saya menyalahkan lingkungan. Lingkungan saya membentuk imej idealisme yang dekat dengan serba-kesusahan. Semua yang katanya idealis, hidupnya morat marit, mulai dari jaman Bung Hatta diasingkan ke Banda Naira karena idealismenya atau Munir yang harus meregang nyawa di atas burung besi, konon juga, karena idealismenya. Gila. Gara-gara si idealisme, satu harus dibuang jauh dan yang lain harus tukar dengan nyawa. Ck. Dan komentar orang selalu: itu orang-orang idealis!

Lalu, malam menjemput saya dan memaksa saya sedikit berpikir diantara guling dan bantal super empuk. Apa begitu yang namanya idealisme?

Idealisme. Kalau mau niru cara pemotongan katanya Panji, nasional:is:me untuk kata 'nasionalisme', maka 'idealisme' menjadi ideal:is:me. Maka, bagi saya, pusatnya adalah ego. Maka, sialnya, idealisme menjadi hal super subjektif.

A merasa egonya adalah anti membeli barang palsu. Semua barang-barangnya asli bermerek tanpa oplosan sedikitpun. Berjuta-juta dibayar, deh. Ini ideal, menurut dia. Apa idealismenya? Apa dia idealis?

B merasa hidupnya adalah untuk memberantas kebodohan. B merasa turut dibebani kewajiban negara: mencerdaskan kehidupan bangsa. Maka ia menjelajah satu kolong jembatan ke yang lain, membuka sekolah-sekolah anak jalanan. Gratis. Bujet belanjanya diubah jadi bujet untuk buku dan alat tulis. Apa idealismenya? Apa dia idealis?

Percaya deh, A dan B akan saling nyinyir. A akan nyinyir dengan B yang dengan 'kurang ajar' beli tas Hermes Birkin KW sekian di Mangga Dua. Dan yakinlah, B juga akan nyinyir dengan A yang tanpa empati menghabiskan berpuluh juta hanya untuk barang tentengan.

Siapa yang nggak idealis?

Entah kenapa, sejak malam itu, saya enggan lagi menentukan dengan diri sendiri soal siapa yang idealis. Apalagi kalau hanya dari membaca artikel di koran atau majalah, atau bahkan hanya menilai dari timeline Twitter.

Karena, entah kenapa, saya menyimpulkan: ukuran idealis adalah mengenai seberapa konsisten kita berpegang pada hal-hal yang ideal menurut kita. Dan konsistensi bukan dinilai dari sehari dua hari kenal atau sebait dua bait berita.


Love,
Tita

Sombong Terselubung

Saya punya teori baru. Hasil merenung saat poop. Ups!

Ya. Keheningan toilet dan suara renyah air membentur keramik toilet bermerek bukan Toto memang membawa inspirasi tersendiri buat saya. Dari dulu. Mulai dari permasalahan hidup hanya seputar ujian Kimia dan senior menyebalkan, sampai.. ah.. hal-hal yang sebenarnya itu-itu saja namun selalu saya kemas dengan berlebihan dalam kepala :)

Back to topic. Kembali ke judul, maksud saya. Sombong Terselubung? Wow wow. Ya, saya memang sedang mencari-cari dosa manusia, but hey, nggak ada malaikat berwujud manusia di 2011 seperti ini, kan? *hehehe*

Sombong. Rasanya mudah melakukannya ketika seseorang adalah laki-laki tampan. Atau perempuan super cantik. Atau pemuda dengan orangtua kaya. Atau fresh graduate dengan gaji bak manajer sebuah kantor swasta. Atau seseorang dengan kombinasi semuanya. Bagi mereka, sombong seperti meludah. Cuh! Tinggal dilepeh, di manapun, lega. Ikhlas. Nggak susah.

Sejak kecil saya selalu diingatkan supaya tidak sombong. Lalu saya pikir, apa yang mau disombongkan? Saat itu saya usia sekolah dasar dan berpikir tidak mempunyai hal-hal untuk terlalu disombongkan. Kemudian waktu berjalan cepat, seperti dibawa oleh KRL Jabodetabek. Dan inilah saya. Hampir dua puluh empat tahun. Apakah saya tetap yang sama?

Tahun berlalu. Dan perjalanan hidup mengajarkan saya lumayan banyak hal kalau tidak mau dibilang sangat banyak. Mulai dari mengenai bagaimana menjawab 'ya' dengan bumbu 'tapi' sampai bagaimana mengangkat diri supaya lebih merasa berharga. Perhatikan hal terakhir: mengangkat diri.

As a human, we sometimes being compared to others, either by ourselves or by others. Sebagaimana fitrahnya sebuah perbandingan, supaya menang, yang perlu dilakukan adalah mengangkat diri supaya memperoleh poin lebih tinggi. Bagaimana nasib mereka yang tidak punya hal-hal primer standar untuk dibanggakan, seperti keindahan wajah atau tubuh, materi dan kecerdasan? Well then, secara naluriah, saya mencari dongkrak diri. Supaya harga naik.

Kata saya kepada diri sendiri:
"Dia emang cantik, sih, tapi lihat deh, pakai bajunya norak banget! Kampungan. Kayak perempuan turun gunung. Huff. Masih mending gue, deh. Nggak senorak dia. Tampang boleh cakep, tapi..."

Yak, itu salah satu contoh.

Lalu keheningan toilet dan renyah suara air membentur keramik membuat saya berpikir. Bandingkan dengan si sombong (dengan segala hal primer standar yang saya sebut tadi). Mungkin di dalam kepalanya hanya: "gue orang kaya, mau apa lo?" atau "gue paling cantik seangkatan" tanpa tambahan orang kedua. Tanpa komparasi. Kenapa? Mereka sudah merasa paling superpower. Nothing compares to them.

Bagaimana dengan si standar? Yap! Dongkrak diri! Hasilnya?

Bukan cuma sombong, tapi sayajuga nyela orang.

Hey, dosanya jadi dua. Membuat saya menjadi tambah jauh dari menyamai level si sombong. Sudah muka pas-pasan, penyakitan hati pula. Hiiy.

This may be so simple. Tapi ini hal besar kalau dilakukan terus menerus, yah, seperti celengan recehan. Lama-lama bikin berat juga.

Setelah poop, saya janji sama diri sendiri, lebih berhati-hati mendongkrak diri.

Sun sayang,
Tita

Blue-ish


Bertemu keponakan! *fotokeponakanmenyusul*

Well, ini dress yang sudah saya impi impikan untuk dipakai tapi selalu ada saja aral melintang untuk memakainya. Hiks. Sampai akhirnya beberapa minggu lalu, kami berjodoh.

Love,

Tita

Minggu, 05 Juni 2011

Love Chocolate!



Big theme for this Sunday is: choco.

Love,
Tita

Kamis, 02 Juni 2011

Themis van Java

Saya selalu melihatnya seperti Themis. Dewi Keadilan. Rambut mereka sudah sama panjang. Hanya dia tidak membawa timbangan dan pedang kemana-mana. Tapi mungkin pedangnya adalah kata-katanya dan timbangan adalah hasil sinkronisasi pikiran dan hatinya. Pasti itu dibopong kemanapun. Matanya juga tidak literally ditutup kain hitam. Tapi dia memang enggan melihat ke kiri dan ke kanan. Tatapannya hanya lurus ke depan. Melihat apa yang dia anggap paling lurus. Jalan paling lurus.

Saya mengenalnya lima tahun lebih. Saya masih ingat rambut panjang tipis kemerahannya dan sosok tubuh ukuran sedang berpakaian kemeja hitam menenteng map besar berdiri di depan pagar bercat putih di sebelah kiri Grha Sanusi Hardjadinata. Sapaan hangat meluncur dari mulut kecilnya. Seratus delapan puluh derajat berbeda dengan wajahnya yang super judes di kala diam. Ternyata orangnya sangat baik. Dia berdiri di belakang saya, mengantri sesudah saya. Beberapa jam kemudian, resmilah kami sebagai mahasiswa baru angkatan 2005 Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, dengan nomor pokok beriringan, saya 097 dan dia 098.

Lima tahun setengah cukup membuat saya hapal gerak gerik si Themis. Bagaimana air mukanya mengisyaratkan apa yang dia rasa. Juga cukup bagi saya untuk merasa tenang dengan si Themis. Saya menikmati kata-kata frontalnya, bercandaan garingnya, dan kuliah-kuliahnya tentang psikologi atau tentang beberapa mata kuliah favoritnya. Saya senang menghabiskan waktu mencecar pernyataannya tentang teori atau fakta apapun, dan mendebatnya sampai mampus, walaupun sering kali saya yang kalah dan argumen saya mendarat berakhir dalam semangkuk cuanki. Saya suka perhatiannya yang sering berlebihan tapi tokcer membuat saya tertawa keras samapai mengangis kencang.

Setahu saya, banyak ujian Tuhan untuknya. Dan kali ini, ujian itu tiba lagi. Saya hanya bisa melihat dari jauh. Dirundung merinding dari kaki sampai kepala. Petang yang bergerak menuju malam seperti melengkapi pemandangan yang sedang saya lihat. Themis saya duduk disana, beberapa meter serong ke kanan dari tempat saya berdiri. Rambut panjangnya terurai lemas, mungkin selemas kaki-kakinya. Telapak tangan kanannya membelai pelan kepala seorang yang terbaring lemas di hadapannya. Seseorang yang menggenggam hatinya dua setengah tahun belakangan. Themis ini biasa ditinggal laki-laki, tapi bukan berarti dia selalu siap dengan kesendirian. Bukan, laki-laki kali ini bukan perkara kesendirian. Mimpi terlanjur dibangun berdua. Di setiap timeline hidup ke depannya terlanjut dituliskan nama si Themis dan si laki-laki. Tidak ada rencana B. Hanya dia. Kanda, dia menyebutnya. Kanda, ini ada Tita. Katanya, ketika saya menghampiri. Tak ada sautan. Senyum canggung yang biasa diberikan pun tidak ada.

Sedekat apapun saya, saya tidak akan pernah tahu dalam hatinya. Seperih apa penderitaannya. Yang saya tahu, dia berani. Melewati entah berapa banyak sakit hati, walaupun di sela tangis, di sela kehilangan napsu makan dan sakit kepala luar biasa. Pada akhirnya, saya selalu melihat dia berdiri lagi, dengan segudang cerita untuk dibagi kepada saya. Betapa hidup memang terjadi, life do happens, dan kita cuma bisa menjalani.

You thought me that, dude.

Dan kamu akan mengajarkan saya sekali lagi, meyakinkan saya sekali lagi, bahwa kuatnya perempuan ada dalam tangisnya. Kalau bertetes-tetes air mata bukan berarti kita menyerah kalah. Ini adalah darah yang harus mengucur di medan perang. Untuk sebuah kemenangan.

Halo, Nevrina, saya Tita.
Saya tahu sejak hari itu, saya akan bangga punya teman kamu.