Selasa, 30 April 2013

Tentang Berencana dalam Berkeluarga (Sumpah Ini Gak Disponsorin BKKBN)

Halo,
Di penghujung April, ketika suami saya kembali lembur dan Mas Ishbir sudah tidur nyenyak, pikiran saya asik jalan-jalan ke tempat yang, well, nggak selalu menyenangkan. Inilah sisi menyebalkan dari melamun dan berpikir ngalor ngidul sendirian.

Saya tiba-tiba mikirin anak saya, Mas Ishbir. Mikir betapa sedikit waktu yang bisa saya habiskan bersama dia.

Ini bikin saya kembali ingat kenapa begitu selesai nifas, saya langsung pasang kontrasepsi andalan hampir seluruh wanita di sekeliling saya: spiral alias intra uretra defense/IUD.

Selain yang pro dan setuju banget sama tindakan saya, banyak juga yang nanya: kenapa KB sih?

Balik ke pikiran saya yang tadi. Punya anak satu saja saya belum sanggup stand by di sisinya dan nggak mengalihkan kewajiban mengurusnya di siang hari ke orang lain. Kayak begini mau punya dua, tiga, dst? Saya nggak sanggup sih menanggung rasa bersalahnya.

Waktu mau menikah dulu, saya pikir lebih enak punya anak langsung banyak. Jadi setelah usia 30, sudah nggak perlu hamil lagi. Tapi ternyata, setelah punya satu (anak) mengambil keputusan untuk punya (anak) lagi sama sekali nggak gampang.

Saya working mother. Suami juga bekerja office hour bahkan kadang lebih. Orangtua dan mertua masih bekerja. Jadi Mas Ishbir sekarang kalau siang bersama pengasuh. Sorenya baru gantian neneknya yang jagain. Saya? Sampe rumah jam tujuh malam, mandi, ganti baju, solat, netein, nidurin. Titik. Tinggal saya manyun ngiri kalau mertua saya cerita soal lucunya main sama Mas Ishbir. Iya, ngiri. Ngiri berat. Tapi mau gimana? Faktanya memang saya hutang banyak waktu sama Mas Ishbir.

Lalu saya sempat mikir, apa nanti dia (Mas Ishbir) bisa dekat sama saya ya? Bisa lebih memilih saya dibanding nenek atau pengasuhnya? Dibanding saya yang cuma suplai susu di mata dia. Ah. Sedih banget ngebayanginnya.

Itulah kenapa kami berencana untuk punya anak lagi nanti. Ketika saya sudah bisa berpenghasilan dari rumah. Ketika saya bisa menghabiskan waktu lebih banyak sama anak(-anak). Saya nggaj sangguplah kalau harus menanggung perasaan ngiri atau bersalah berkali-kali lipat.

Selama belum, satu (anak) saja sudah lebih dari cukup, pastinya.