Senin, 30 Mei 2011

About One Fine Sunday





Here comes a fine Sunday! :)

Heart,

Tita

Sabtu, 28 Mei 2011

Born This Way dengan Sensor

Gimana? Gambarnya perlu disensor, nggak?


Tahu lagu Born This Way-nya Lady Gaga? Seorang teman muda kekeuh memperkenalkan kepada saya lagu ini, bahkan membacakan liriknya di depan saya via browser ponsel pintarnya. Saya jadi suka. Betul kata teman saya, lirik lagu itu sangat kuat dan insipiratif. Positif. Walaupun ada bait yang menarik, karena pasti mengundang kontroversi di beberapa sudut benua. Perhatikan baitnya:

No matter gay, straight, or bi,
Lesbian, transgendered life
I'm on the right track baby
I was born to survive

Dalam lagu, Gaga berusaha mengedepankan bahwa apapun kita, gimanapun wujud kita, we all were born this way by the creation of the perfect H.I.M. Dengan gamblang Gaga menyebutkan tidak ada yang salah dengan ciptaan Tuhan, termasuk manjadi lesbian ataupun kaum transjender.

Seorang teman yang bercita-cita akan tegaknya Hak Asasi Manusia pun tidak setuju jika masih ada manusia yang memicingkan mata terhadap kaum diatas. Homoseksual dan transjender merupakan kelompok yang berbasis sama dengan manusia lain, sama-sama manusia, dan punya hak asasi yang tidak berbeda sama sekali. Karena dalam pengertian HAM yang sebenar-benarnya, tidak ada pengecualian. Kalaupun ingin menyebut homoseksual dan transjender sebagai penyakit, pertanyaan selanjutnya adalah apakah mereka ingin disembuhkan? Karena kasusnya akan sama dengan penderita penyakit lain, buta misalnya. Apakah dengan dia tidak mau didonor mata sehingga akan tetap buta, maka berkurang unsur dirinya sebagai manusia? Kan, tidak. Hak asasinya tetap harus ada, sepanjang belum menjadi berkaki empat, bertanduk, bermoncong dan berbulu lebat.

Saya setuju dengan itu.

Lalu, saya tertarik dengan serial remaja, Glee. Dalam serial itu, diceritakan salah satu tokonya adalah seorang homoseksual. Reaksi saya kali ini berbeda. Saya tidak bisa sepenuhnya setuju seperti kasus di atas. Ini kasus khusus menurut saya. Apalagi mengingat pasar serial Glee adalah remaja di bawah usia cakap menurut UU Perkawinan, salah satunya adik bontot saya yang baru 12 tahun dan adik sepupu saya yang baru 15 tahun.

Bagi saya, semua yang dijabarkan Gaga dalam Born This Way sama sekali tidak masalah. Bahkan itu sangat bagus untuk membentuk imej yang baik bagi kaum-kaum tertentu yang secara sosial sering terlanjur dicap tidak baik oleh komunitas. Saya pun tidak keberatan jika para homoseksual dan transjender ini muncul terang-terangan di muka publik atau bahkan ada di televisi.

Satu yang saya harapkan bisa dilakukan: penyensoran atas hal-hal tersebut bagi anak-anak.

Anak-anak termasuk ke dalam golongan kelompok 'ringkih' sehingga dibutuhkan perlindungan khusus terhadapnya, dapat dilihat dari bagaimana sebuah undang-undang khusus anak-anak dibuat di Indonesia. Bahkan ada komisinya. Mengapa ringkih? Karena mereka, secara psikologis, sedang berada dalam tahap perkembangan pola pikir dan mempunyai daya absorpsi tinggi tanpa saringan. Belum lagi gejolak hormonal yang memicu kelabilan. Atau ditambah dengan kecenderungan mereka untuk mengikuti tren. Karena hal-hal diatas dan banyak hal lain yang diluar jangkauan pengetahuan saya, anak-anak perlu dilindungi. Perlu ada sensor mengenai kelompok masyarakat tertentu sebelum suatu hal disuguhkan di hadapan anak-anak. Bagi saya, suguhkanlah anak-anak dengan hal-hal yang sifatnya standar, berlaku sangat umum dan general. Saat dewasa dan sudah matang berpikir, mereka akan sudah punya dasar yang kuat dan mampu menelaah lebih jauh isu-isu yang beredar di sekitarnya.

Sangat tidak lucu, menurut saya, kalau seorang ABG laki-laki yang kemayu malah terdorong untuk menyatakan diri homoseksual, karena kebanyakan nonton Glee, bukan karena panggilan jiwanya sendiri. Padahal, sepuluh tahun kemudian, si anak jadi tentara gagah dan beranak lima. Masih bagus dia masih bisa kembali ke keinginan asasinya. Bagaimana kalau terjebak selamanya dalam mindset pergaulan?

Pendapat serupa juga saya tujukan untuk isu pornografi. Anak-anak jangan kena pornografi. Kalau sudah cukup umur, ya, mau gimana lagi :)

Saya setuju dengan lirik Born This Way. Tapi, Born This Way dengan sensor.


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Jumat, 27 Mei 2011

Perempuan Secara Sosial

Siapa yang perempuan secara sosial?


I have ever promised to my self that I would post on my blog at least 1 post per two days. Tapi janji tinggal janji. Untungnya ada si ponsel pintar, jadi saya bisa simpan beberapa ide saya untuk blog di waktu-waktu dimana kurang mungkin buat saya untuk blogging.

Hari ini, saya menjalani salah satu rutinitas pengangguran, yaitu menjalani proses rekrutmen pada sebuah perusahaan. Dan hari ini saya merasa mati rasa. Tidak ada rasa deg-degan atau khawatir. Biasa saja. Seperti ritual bangun pagi.

Proses rekrutmen dan tetek bengeknya berjalan dengan lumayan lancar. Saya keluar gedung sekitar pukul tujuh kurang pada malam hari. Jalanan di luar gedung sudah dipadati kendaraan para commuter dari Jakarta maupun kota-kota penyangganya. Ah. Artinya lebih banyak menginjak kopling dan mempertahankan setengah injakan pada kopling dan gas. Fernando pun pasti capek.

Sepanjang jalan saya habiskan dengan berpikir. Sampai-sampai pada tol saya hampir memakan setengah jalur tengah, padahal harusnya saya di jalur paling kiri. Tersadar karena diklakson Avanza yang datang dari arah belakang.

Pikiran saya agak filosofis, karena mengandung hal membingungkan. Ya, pemahaman saya soal filosofis memang salah satunya berciri 'membingungkan' diri saya. Saya berpikir:

Apakah perempuan akan menjadi perempuan secara sosial ketika dikelilingnya tidak ada lagi laki-laki atau ketika si perempuan tidak sedang bersama seorang lelaki pun?

Pertanyaan ini muncul di tengah pemikiran saya soal pekerjaan. Beberapa post saya pada blog di waktu-waktu lalu menceritakan mengenai pekerjaan yang membuat perempuan kurang perempuan-wi, salah satunya pekerjaan lama saya. Pekerjaan yang menyita hampir seluruh waktu dan seluruh isi pikiran saya. Tidak ada tempat untuk laki-laki. Padahal, egoisnya laki-laki mereka selalu ingin punya posisi terdepan dalam hidup seorang perempuan yang mengaku menyukainya. Pekerjaan lama saya merusak citra saya biarpun mati-matian saya bilang suka.

Anyway, saya menyadari itu benar. Sebagai perempuan tidak seharusnya saya mendahulukan pekerjaan dibandingkan dengan hal-hal lain yang sifatnya udah-dari-sononya bagi saya, seorang perempuan. Seperti, memasak, mengurus rumah, hamil, mengurus anak, mengurus keuangan rumah, dan lain sebagainya. Membiarkan diri terlalu larut pada urusan yang bukan 'tugas pokok' berdampak pada terlupanya tugas pokok tadi. Dan bisa didemo laki-laki (baca: kebanyakan laki-laki).

Itulah mengapa saya jadi pengangguran sekarang. Mencoba mencari pekerjaan yang lebih perempuan-wi. Lebih luwes jamnya dan lebih bersahabat permasalahannya. Sehingga saya bisa tetap fokus pada hal-hal udah-dari-sononya perempuan.

Tapi kemudian saya berpikir, kenapa saya harus sengotot itu mempertimbangkan hal-hal yang udah-dari-sononya itu? Kenapa saya sibuk memikirkan kodrat saya sebagai perempuan? Toh, tidak ada laki-laki yang harus saya urus dan tidak ada anak yang harus saya perhatikan.

Kemudian muncul lah pertanyaan tadi. Secara sosial, ketika saya sedang sendiri (oke, jomblo dan tidak menikah, maksudnya), apakah saya masih bisa dikatakan perempuan?

Secara fisik maupun biologis, membedakan manusia yang perempuan dan manusia yang laki-laki sangat mudah. Lebih mudah dari membedakan mana kecoak yang perempuan dan mana yang laki-laki. Tanda-tanda fisik jelas terlihat dan bisa beratus halaman kalau mau dijabarkan perbedaannya, dari yang kasat mata sampai persoalan kromoson yang sungguh sangat tingkat dewa pemahamannya. Dengan memiliki ciri fisik dan biologis sebagai perempuan, seperti payudara dan kromosom X, seseorang dapat dengan mudah dikatakan 'perempuan'.

Lalu, bagaimana secara sosial?

Biar saya beri contoh.
Perempuan secara fisik dan psikologis, katakan, lebih lemah daripada laki-laki. Oleh karena itu, ketika pulang larut malam, laki-laki umumnya akan mengantarkan perempuan sampai di depan rumah atau paling tidak sampai si perempuan berada di tempat yang dirasa aman. Hal itu terjadi ketika ada laki-laki.

Bagaimana jika hanya ada segerombolan perempuan? Contoh. Saya dan teman saya, Ayudi. Kami berdua perempuan tulen, secara fisik maupun psikologis. Suatu hari kami berdua pergi ke Grand Indonesia untuk mencobaiMagnum Cafe. Ketika tiba saat pulang di waktu malam, Ayudi mengantarkan saya sampai stasiun lalu dia pergi sendiri. Dia (perempuan) mengantarkan saya (yang juga perempuan). Begitu juga sebaliknya. Ketika Ayudi menginap di rumah saya, maka saya punya kebiasaan mengantarnya pulang sampai depan rumah. Saya (perempuan) mengantarkan Ayudi (yang juga perempuan) sampai depan rumah.

Lalu, secara sosial, siapa yang laki-laki siapa yang perempuan?

Saya rasa tidak ada yang perempuan dalam kondisi seperti tadi. Bahkan tidak ada jender. Yang ada hanyalah pikiran logis dan perasaan mengenai tega atau tidak tega, mampu (secara tenaga, materi dan kesempatan) atau tidak mampu. Saya ada kendaraan dan ada waktu, maka saya antar Ayudi sampai rumah, kasihan juga kalau dia harus pulang naik angkot. Begitulah.

Dan ketika tidak ada jender, maka fungsi fisik dan psikologis pun menjadi minim. Fungsi dan daya tarik fisik malah tidak berguna, kecuali dalam kondisi anomali.

Kondisi demikian saya sebut: genderless.

Dampaknya? Semua, kita, perempuan, tidak lagi terikat hal-hal yang bersifat jender. Tidak ada lagi kewajiban-kewajiban perempuan-wi karena yang menuntut terpenuhinya kewajiban-kewajiban itu hanyalah si lawan-jender alias laki-laki.

Saat ini, saya anggap kondisi saya genderless. Saya tidak sedang bersama laki-laki manapun. Hampir seluruh lingkungan saya adalah perempuan.

Jadi soal memilih pekerjaan yang perempuan-wi, masihkah harus saya pertahankan?


Mohon maaf atas kedangkalan akal.


Tita,
beberapa sentimeter dari titik terendah.

Senin, 23 Mei 2011

Apa Rasanya Terbang?

Halo,

Saya makin yakin saya orang yang sangat gampang emosi. Untungnya saya menulis dengan lumayan baik. Jadi komunikasi tidak akan menjadi terlalu parah. Saya harap punya anak-anak dan suami yang senang membaca di kemudian hari. Karena mungkin lemari es akan penuh dengan memo-memo bertulisan tangan saya. Isinya akan macam-macam, mulai dari pujian, omelan sampai pengingat supaya anak-anak membawa bekal makan siang mereka.

Kamu dan orang-orang lain mungkin akan sampai pada titik bosan ketika tulisan saya mulai menggiring kalian untuk merasa demikian. Tapi sungguh, ini jauh lebih baik daripada saya berkomunikasi dengan mulut saya. Atau bahkan dengan jemari saya melalui layanan pesan singkat. Melalui dua medium itu, berbicara seolahmenjadi gerak refleks buat saya, tidak melalui proses berpikir dalam otak kanan ataupun kiri.

Banyak yang ingin dibilang melalui tulisan setengah-panjang ini. Tapi pastinya tiga perempatnya adalah rahasia. Cuma saya yang boleh tahu. Seperempatnya akan dengan senang hati saya bagi ke kamu. Satu persatu. Bait per bait.

Yang utama, saya bangga sekali. Dengan kamu. Saya bangga karena kamu bermetamorfosis begitu indah dari sebuah ulat kecil mungil berwarna hijau saja menjadi kupu-kupu cantik dengan sayap belang warna-warni dan kemudian terbang tinggi memecah belah indahnya langit pagi Setiabudi. Yang lain adalah persoalan-persoalan kecil, seperti soal rasa kangen, rasa ingin mengajak nonton Beta Maluku dan rasa-rasa biasa lain yang kerap juga dirasakan beberapa pecinta yang bertepuk sebelah tangan.

Saya ingat kamu datang dengan berjalan pelan, melihat sekeliling. Selangkah, dua langkah. Mencoba meraba apakah yang perlu dikerjakan untuk hidup. Tubuh hijau kecilmu bergerak maju perlahan. Pelan-pelan. Saya lihat kamu senang menikmati perjalanan. Berjalan kesana kemari bersama beberapa teman sepermainan, sesama yang berwarna hijau dan bertubuh mungil. Mengadu rasa dan asa dari satu tempat ke tempat lain, bertanya-tanya apakah ini tempat yang baik untuk membalut tubuh dalam kepompong dan bersiap untuk sebuah metamorfosis.

Saya juga ingat, masa itu tidak pernah mudah. Waktu terus bergulir dan tubuh hijau mungilmu harus segera mendapat tempat untuk bergelayut manja dan diam tenang dalam kepompong. Cemas juga memburu. Membuat sumbu emosi semakin pendek. Tapi seperti kamu selalu bilang pada saya beberapa bulan terakhir, sabar. Kamu mungkin tidak pernah tahu soal man shabara zafira, sabarlah maka kamu akan beruntung, namun kamu mempraktekkannya jauh lebih baik daripada saya. Ah, saya terlalu banyak teori.

Saya juga samar-samar ingat, ketika setelah perjalanan lelah, maka bertemu juga dengan tempat metamorfosis terbaik. Lalu kamu menanjak menaiki pohon sampai ranting tertinggi. Capek. Kurang tidur pun. Dan cukuplah tempat metamorfosis dengan pemandangan terindah menjadi bayaran semua kekurangan tidur. Pemandangannya jauh lebih indah dari yang dijanjikan pencakar langit manapun. Karena ini pencakar langitmu sendiri.

Lalu kamu membungkus diri dalam hangat sesuatu yang jamak disebut 'kepompong' dalam semua buku pengantar Biologi dasar.

Ah. Seperti baru kemarin. Baru kemarin melihatmu menatap kanan kiri jalan dan berpikir di persimpangan, akan belok kanan, belok kiri atau terus atau diam saja tak peduli yang dibelakang menyuruh maju sekalipun. Seperti baru kemarin, saya melihat semuanya, ketika sekarang semua terjadi di belakang mata.

Sungguh saya ingin mengantar kamu lepas landas dari kepompong. Bukan. Bukan sekedar lepas landas. Saya juga masih ingin berjumpa pada beberapa taman cantik tempat kamu mencari nektar. Atau menunggu di pohon dengan sisa-sisa kepompongmu juga tak apa, menunggu kamu pulang dan mendengar kamu cerita tentang langit dan berbagai jenis bunga.

Sekarang saya sedang mengintip kamu terbang pertama kali. Ingin melambai dengan saputangan bersulam pita warna merah muda tapi percuma. Tidak akan kamu lihat juga. Tapi saya bisa lihat jelas kedua sayap itu mengepak mantap, sayap warna-warni mirip koleksi krayon adik saya. Sayapnya mengantar kamu jauh ke langit atas sana, tempat dimana saya tak bisa kunjungi, karena tidak punya sayap juga.

Apa rasanya terbang? Tapi kamu tidak menjawab.

Dari jauh saya hanya bisa tiupkan keinginan muluk. Semoga masih ada taman untuk tempat bercerita. Atau semoga masih boleh duduk di dekat pohon tempat serpihan kepompong dan menunggu kamu pulang berbagi apa saja. Bahkan sebuah Teh Kotak pun.

Sun jauh,

Tita

Pak Edhie yang Mas Ibas dan Kapten Agus yang Mas Agus

Panggilan 'mas' tampaknya sudah terlalu jamak digunakan oleh masyarakat sekitar saya, walaupun tidak semuanya bersuku Jawa. Yang orang Minang pun, salah satunya etek saya memanggil suaminya dengan sebutan 'mas'. Panggilan 'mas' juga membawa banyak nuansa menurut saya, mulai dari nuansa unggah-ungguh penghormatan sampai dengan nuansa romantis, dengan syarat disebutkan oleh seorang perempuan kepada laki-laki dalam suasana remang-remang *loh*. Tapi bisa juga membawa nuansa 'membesarkan hati', seperti kepada anak kecil supaya iya merasa dewasa dan diharapakan dapat bersikap dewasa.

Panggilan 'mas' dalam perkara sebuah penghormatan, menurut saya sangat lumrah. Biasanya, yang dipanggil 'mas' itu orang-orang yang lebih tua dari saya. Kakak sepupu laki-laki saya misalnya, saya panggil Mas Koko. Dan sebagainya.

Begitu juga panggilan 'mas' dalam konteks mesra. Saya pun rasanya kalau punya kekasih orang Jawa, akan ikut-ikutan memanggil dengan sebutan 'mas'.

Sedangkan penggunaan 'mas' untuk membesarkan hati biasanya saya lakukan kepada adik-adik sepupu ataupun anak-anak lain yang usianya lebih muda. Tapi kebanyakan juga karena terbawa panggilan dari rumah si anak. Jadi ikut-ikutan memanggil 'mas'.

Bagaimana dengan Mas Ibas dan Mas Agus?

Edhie Baskoro atau ngetop dengan panggilan Mas Ibas, anak bontot presiden yang sekarang kerap dipanggil 'mas' bukan hanya oleh mamanya, papanya atau kekasihnya, Aliya. Beberapa orang partainya pun kerap saya 'pergoki' memanggilnya dengan 'mas' dalam media cetak. Padahal orang-orang partai itu bisa sepuluh tahun sampai sepuluh tahun lebih tua usianya dari si Mas.

Anas Urbaningrum, melalui konfirmasi via Twitternya kepada saya, menyebutkan alasannya mengapa memanggil Edhie Baskoro dengan Mas Ibas. Sopan santun, katanya. Karena ia dilahirkan dari keluarga Jawa yang membiasakan memanggil siapapun, seumur atau lebih muda, dengan sebutan 'mas' untuk laki-laki dan 'mbak' untuk perempuan. Jujur saja, saya tergolong puas dengan jawabannya. Walaupun juga penasaran ingin 'menangkap basah' Pak Anas memanggil kolega lain dengan 'mas', seperti Mas Mumtaz Rais atau Mas Nazaruddin atau Mbak Puan atau Mbak Aliya atau malah Mas SBY. I'll see. Pak Anas boleh ngeles sebagai orang Jawa, tapi rupanya, Pak Ruhut yang Batak pun memanggi Edhie Baskoro dengan 'mas', bukan 'bang'. (lihat referensi)

Awalnya, saya pikir hanya Edhie Baskoro saja yang dipanggil 'mas'. Tapi rupanya Agus Harimurti juga dipanggil 'mas' oleh Jubir Presiden SBY, Julian Aldrin Pasha. (lihat referensi)

Saya setuju jika Pak Anas mengedepankan sopan santun. Memang negara ini sudah seharusnya penuh dengan manusia penuh santun dalam bertutur kata. Tapi saya menjadi sedikit terusik ketika saya ingat pengalaman lama saya, ketika saya masih SMA.

Saat SMA, saya punya seorang teman satu sekolah, biasa saya panggil Teteh, karena begitulah dia dipanggil di rumah. Ibu dari Teteh adalah guru Sejarah di sekolah kami, bernama Ibu Ihat. Ajaibnya, tidak seperti Pak Anas dan orang-orang dengan sopan santun lain, Ibu Ihat tidak pernah memanggil teman saya dengan 'teteh' di sekolah, kecuali bercanda dan itu sangat jarang. Dengan lempeng, beliau memanggil dengan menyebut nama, Lugina. Begitu juga dengan teman-teman sesama guru lain. Semua tidak memanggil 'teteh' ketika proses belajar-mengajar berlangsung.

Yang saya lihat dalam hal ini adalah soal profesionalisme. Saat itu, profesi Ibu Ihat adalah guru. Dan sebagai guru, beliau punya kewajiban untuk menyamakan kedudukan semua murid-muridnya, tanpa eksklusifitas, baik dari perkara nama panggilan, apalagi perkara nilai. Kalaulah beliau memanggi Lugina dengan 'teteh' di sekolah, maka konsekuensinya beliau harus juga memanggil saya dengan sebutan 'teteh', begitu juga dengan murid perempuan lainnya. Sekali beliau lalai, maka profesionalitasnya sebagai guru dipertaruhkan. Bukan tidak mungkin beberapa murid akan menggunjingkan perihal perbedaan 'kasta' ini.

Begitupun saya harapkan dilakukan oleh semua profesional politik . Semasa ada sebutan resmi, yaitu Bapak/Pak/Ibu, menurut saya akan lebih elegan dan profesional jika dipanggil demikian. Jangan sampai ada pihak yang menggunjingkan di belakang hanya karena cara memanggil, seperti yang sedang saya lakukan sekarang. Atau lebih pahit lagi, jangan sampai orang jadi capek-capek fitnah dengan asumsi bahwa Pak Anas dan bapak-bapak lain memang 'menganakemaskan' Agus Harimurti dan Edhie Baskoro. Apalagi sampai sekarang, belum satupun politikus 'tua' kepergok oleh saya memanggil Mumtaz Rais dan Hanafi Rais, anak-anak Amien Rais, dengan sebutan 'mas'. Padahal toh sama-sama Jawa dan sama-sama muda di politik.

Lagipula, 'Pak Edhie' walaupun berkesan sangat kolot tapi terdengar lebih berwibawa. 'Mas Ibas' terdengar lebih menye-menye dan hanya cocok dikatakan oleh Mbak Aliya yang imut-imut. Begitu juga 'Kapten Agus', terdengar lebih gagah, seperti Kopral Jono dalam lagu, ketimbang 'Mas Agus' yang berkesan terlalu mudah tertembak di kepala pada medan Lebanon.

Ya, tho, Mas?
(eits, saya kan lebih muda. Boleh dong, panggil 'mas'?)


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Minggu, 22 Mei 2011

Kenapa Menikah (harus) Mahal?

Beruang aja resepsi nikahan!


Saya akan mencoba jadi sosiolog hari ini. Entah kenapa tiba-tiba pada tengah malam saya terbangun ada satu hal yang mendorong saya untuk tidur lagi dan bangun di pagi hari dengan menjadi seorang Auguste Comte era milenia yang perempuan. *rasanya haru sedih mengingat gagal mengambil mata kuliah Sosiologi setelah mama saya mengernyitkan dahi mendengar kata 'sosiologi'*

Pernihakan.

Well, untuk seseorang di luar sana, jangan berpikir saya ingin cepat-cepat menikah karena (terus-terusan) membahas soal ini, ya. This is just a common thing arrived on a twenty-something year old woman.

Oke, kembali lagi soal pernikahan. Pertanyaan yang selalu bergema di dalam kepala saya adalah kenapa menikah (harus) mahal? Dan setelah berpikir sambil merasakan getaran-getaran mulas akibat ingin buang air, saya sepertinya punya beberapa poin buah pengamatan maya saya. Let me break down my thought.

Pertama adalah masalah pernikahan itu penting.
Ya. Bagi kebanyakan manusia di tempat saya tinggal, pernikahan itu suatu fase penting dalam kehidupan yang tidak mungkin dilewatkan dengan cara biasa. Belum lagi embel-embel 'mantu pertama kali', 'pernikahan anak pertama', 'pernikahan anak satu-satunya', dan hal-hal lain yang menambah kepentingan momen itu. Jadilah, sebagai sesuatu yang penting, ingin sekali rasanya merayakannya besar-besaran. Mungkin rasanya mirip perasaan anak lima belas tahun merayakan Valentine's Day bersama pacar pertamanya.

Kedua adalah masalah kerabat yang banyak.
Untuk masyarakat dengan pola kekeluargaan super kental seperti masyarakat di sekitar saya, kerabat bukanlah hanya sebatas saudara sekandung, ayah-ibu, sepupu-sepupu dan sahabat karib, tapi juga meliputi tetangga, sepupunya sepupu bahkan sampai teman sekolah yang saat sekolah dulu pun bahkan jarang kita sapa. Begitulah. Belum lagi dengan fasilitas media sosial via dunia maya sekarang, semua orang tiba-tiba jadi kerabat. Kerabat yang banyak dalam konteks hajatan sudah tentu berarti makanan yang banyak dan tempat yang luas. Makanan yang banyak dan tempat yang luas berarti biaya. Nah, bagaimana tidak pernikahan menjadi mahal kalau definisi kerabat ini sedemikian luasnya meliputi orang sekomplek perumahan sampai kawan dari TK sampai kuliah magister dua?

Ketiga adalah masalah ego.
Ego dalam hal ini saya persempit jadi keinginan atau cita-cita. Kebanyakan single, terutama perempuan, mempunyai banyak sekali keinginan yang harus (atau sebaiknya) terwujud saat hari pernikahan mereka. Gaun yang bagus, pelaminan indah, rentetan seserahan yang menawan, termasuk seragam yang diberikan untuk setiap geng yang dipunya pada setiap jenjang pendidikan berbeda. Belum lagi keinginan mendatangkan penyanyi favorit laki-laki yang menyanyikan lagu-lagu sendu yang romantis, membuat ingin mencintai si calon suami selama-lamanya. Dan dalam dunia peruangan ini, kadang mewujudkan dan mempertahankan ego sungguh butuh biaya besar.

Keempat adalah gengsi.
Eits, jangan marah. Gengsi ini bisa gengsi si orang yang akan menikah atau gengsi orangtuanya. Kenapa gengsi? Seperti saya bilang, pernikahan bagi masyarakat ini merupakan satu hal yang penting. Kalau sudah penting, mengundang banyak orang pula, inginnya ini menjadi hal yang terwujud sesempurna mungkin. Tidak ada cela dan 'sesuai' dengan si empunya hajat. Kalau sampai tercela, apalagi soal makanan habis, bisa malulah tujuh turunan. 'Sesuai' dengan si empunya hajat? Ya kan, enggak enak kalau acara pernikahan anak pengusaha beromzet triliunan rupiah 'hanya' diadakan di rumah bukan di ballroom hotel Mandarin Oriental.

Keempat hal diatas manusia menurut saya, apalagi bagi manusia yang memang makhluk sosial. Karena percaya deh, kalau menusia hidup sendirian, nggak akan muncul empat hal diatas secara sadar, apalagi tidak sadar, dalam kepala mereka. *Auguste Comte mode: ON*

Tapi, hendaknya empat hal diatas bisa direm, menurut saya. Kenapa? Karena tentu banyak hal yang lebih penting sebagai sasaran penghabisan biaya dan banyak hal yang perlu diprihatinkan ketika ingin mengeluarkan puluhan, bahkan ratusan juta dari kocek sendiri.

Sasaran Penghabisan Biaya.
Ratusan juga habis hanya untuk semalam-dua malam. Kalau memang punya uang sendiri sejumlah segitu, lebih baik beli rumah, daripada nanti mesti numpang sama orangtua atau malah mertua. Sudah punya rumah? Belilah mobil. Sudah punya mobil? Well, bagaimana dengan berbatang-batang emas murni? Atau liburan island hoppers ke berbagai kepulauan indah di Indonesia? Mau yang lebih mulia? Ajak anak-anak yatim ke Dufan. Atau ambil beberapa adik asuh dan sekolahkan sampai perguruan tinggi. Intinya, jangan sampai nila semalam rusak susu selamanya. Lho? Iya, maksud saya, jangan sampai semalam yang mewah sekali itu merusak hidup beberapa tahun kedepan. Banyak sekali kasus dimana pasangan menikah dengan mewah tapi selanjutnya masih hidup prihatin, belum bisa DP rumah, DP kendaraan, dan kesulitan-kesulitan lain. Banyak pos kosong lain yang perlu disediakan biayanya.

Hal yang Perlu Diprihatinkan
Kemiskinan, misalnya? Tetangga atau saudara yang kerap masih suka kelaparan atau kesulitan bayar uang sekolah anak-anaknya? Tukang ojek langganan yang suka kekurangan beras? Atau kalau mau lebih ekstrim lagi, nasip ratusan juta orang yang hidup dengan sebutan fakir miskin? Nah. Ini poin prihatinnya. Saya pernah menonton sebuah video pada Youtube, ditunjukkan oleh seorang teman yang waktu itu jadi gebetan *jadi deh, semangat nonton*. Di video itu diceritakan bagaimana kesenjangan sosial melanda sebuah negara bernama Indonesia. Dan fakta mencengangkannya, biaya sebuah pernikahan paket lengkap di Kartika Chandra (video buatan tahun 90 sekian, saat Kartika Chandra masih jadi primadona resepsi pernikahan) tidak akan pernah tertutupi bahkan ketika gaji seorang buruh pabrik selama hidupnya dikumpulkan jadi satu. Sedangkan si empunya hajat? Blar! Uangnya habis dalam semalam. Sedih, ya?

Di agama saya, berlebih-lebihan itu dosa. Di agama saya pula, sebuah pernikahan itu baiknya diadakan walimah atau pestanya. Kenapa? Tujuannya jelas, pertama adalah untuk mensyukuri sebuah prosesi yang suci dengan 'mentraktir' beberapa kerabat makan-makan dan kedua untuk memberitahukan ke masyarakat seluas-luasnya kalau si pasangan ini sudah resmi jadi suami-istri, jadi kiranya jangan digerebek kalau mereka berdua-duaan dalam gelap. Di Malaysia cukup menarik dan membantu usaha menyebar berita ini menjadi lebih simpel tanpa biaya, yaitu dengan cara diumumkan melalui speaker masjid di kediaman kedua pasang pengantin.

Intinya, use your money wisely. Karena hidup itu banyak keperluan dan kita harus pintar bikin prioritas supaya tidak kesusahan di kemudian hari. Selanjutnya, di atas langit memang masih ada langit, tapi di bawah tanah yang kita pijak masih ada lapisan lain. Kita boleh kaya dan masih banyak orang yang lebih kaya, yang mana nggak perlu kita sirikin. Tapi kita boleh kaya namun masih banyak orang yang hidup susah, yang mana perlu kita bantu. Karena sebaik-baiknya manusia adalah yang berguna bagi manusia lain, entah karena hartanya atau ilmunya atau tenaganya atau bahkan hanya karena senyum dan doanya.

Jadi,
(masihkah) menikah (harus) mahal?

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

*suatu tempat di bagian selatan Jakarta.
Sayang,

Tita

Jumat, 20 Mei 2011

Aja Gampang Serik

Aja Gampang Serik


Jarik itu kain. Entah itu bahasa Jawa atau apa, but simply the meaning of jarik is kain. Lebih spesifiknya, jarik adalah kain berukuran 2,5 x 1,1 meter yang dibatik dengan berbagai macam motif. Jarik sendiri ternyata merupakan akronim dari kata-kata dalam bahasa Jawa, aja gampang serik atau dalam bahasa Indonesia berarti jangan mudah iri. Fungsi utama jarik adalah sebagai penutup badan bagian bawah. Namun, sebagai selembar kain yang nyaman, jarik jadi memiliki fungsi lain, seperti selimut, alat menggendong bayi sampai yang paling horor, penutup badan orang yang meninggal. (lihat referensi)

Sebagai orang yang sudah jauh sekali dari peradaban asal jarik, yang saya tahu, sebuah jarik adalah kain pembungkus tubuh bagian bawah yang dililit sangat kencang, seperti rok model span, dibatik dan mempunyai beberapa rampel permanen untuk bagian depannya. Saya baru tahu kalau maknanya jauh lebih luas daripada itu.

Beberapa hari yang lalu, saya memakai jarik ke sebuah acara pernikahan. Jarik itu bebatik entah motif apa, warna coklat tua dan memiliki rampel untuk bagian depannya. Jarik yang saya pakai adalah fast jarik atau jarik super-siap pakai karena sudah dibentuk rok span dan diberi retsleting. Cara memakainya sangat mudah, seperti memakai rok konvensional.

Tapi, saya pernah juga memakai jarik untuk pesta pernikahan dengan cara yang super tradisional. Yang dibutukan adalah selembar jarik, sebuah stagen, seutas tali rapia, boleh juga tali sepatu dan long torso. Long torso ini bukan keharusan, sih. Saya hanya menambahkan saja, karena long torso membantu membuat tubuh lebih tegap dan singset, tentunya. Wah. Memakai jarik model begini benar-benar nggilani. Saking sesetnya, saya hanya sanggup memasukkan 3 potong somay dan beberapa teguk air putih ke dalam mulut. Betul-betul mencengkram perut. Efek di cermin memang canggih sih, badan jadi super singset macam Syahrini (silahkan protes). Tapi tetep, there is a price to pay. Hiks. Cara memakai stagennya saja sudah serem. Caranya, stagen diikat ke tiang rumah dan kemudian saya lilit ujung stagen ke perut saya. Cara ini efektif membuat stagen terlilit dengan kencang. Ya jelas. Patokannya adalah tiang rumah dari beton. Hua.

Ketika saya memakai jarik beberapa hari lalu, saya agak kagok berjalan sih. Kaki saya hanya mampu melangkah sedikit sekali, atau persis selebar kedua kaki saya jika disejajarkan dengan posisi depan-belakang. Jalan jadi pelan. Kalau mau cepat, harus berlari-lari unyu. Ribet! Tapi, di cermin terlihat fantastis. Macam sinden dari manaaa gitu.

Saat memakai jarik itu saya berpikir, banyak juga gunanya, selain bagi penampilan fisik perempuan, tapi juga bagi kematangan jiwa.

1. Penampilan Fisik

Seperti saya sudah bilang, dengan memakai jaring tubuh jadi singset. Apalagi yang berpantat aduhai. Wuih, makin jadi deh. Sintal. Berjalan juga jadi lebih anggun karena harus pelan-pelan, apalagi kalau ditambah high heels terbuka. Makin manis. Saya jamin deh, laki-laki bisa nengok dua kali bahkan lebih, walaupun belum tentu berani minta nomer telpon atau PIN BB.

2. Kematangan Jiwa

Memakai jarik berarti berjalan harus pelan. Berjalan pelan berarti butuh waktu lebih banyak. Ketika kita butuh waktu lebih banyak, maka kita dituntut bersiap lebih awal. Beda kalau pakai celana. Pakai jarik tidak bisa buru-buru. Harus direncanakan dengan baik. Kondangan jam 7 dan ingin pakai jarik? Artinya mulai mandi sejak jam setengah 5, kalau ingin berangkat ke tempat acara jam 6 tanpa perlu lari-lari dari kamar ke mobil. Kalau bisa jam 6 kurang 10 sudah duduk manis, siap diangkut. Ini kematangan jiwa pertama: disiplin dan teratur.

Karena harus berjalan lama, jarik menguji kesabaran saya. Saya harus berjalan pelan-pelan untuk sampai tujuan, kalau tidak mau keserimpet jarik dan jatuh terjungkal. Persis sekali semboyan kebanyakan suku Jawa, khususnya bagian tengah, alon alon asal kelakon. Pelan-pelan asal selamat. Dengan berjalan pelan pun, saya merasa lebih calm down, lebih bisa ambil napas dulu sebelum 'meledak'. Bagus buat anger management saya yang bersumbu super pendek. Kematangan jiwa kedua: sabar.

Secara keseluruhan, bagi saya kearifan tradisional itu banyak sekali manfaat dan mempunyai nilai makna tinggi. Seperti jarik ini, contohnya. Dan saya yakin masih banyak lagi dari suku-suku yang lainnya. Arti kata jarik sendiri saja sudah 'tinggi': jangan gampang iri.

Rasanya nggak berlebihan kembali ke kearifan tradisional. Yah, walaupun jarik memang nggak friendly sama sekali dengan kondisi transportasi dan akomodasi di Jakarta tapi boleh lah supaya sedikit anggun dan matang, pakai jarik di acara-acara resmi. Apalagi kalau kamu perempuan Jawa :) Malu ih, sama saya yang Jawa abal-abal. Cuma bisa ngomong 'asu'. Hahaha.


Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Mengapa Hari Dirayakan

Hari ini tanggal 20 Mei. Well known, sebagai hari peringatan kebangkitan nasional. Konon karena merupakan tanggal berdirinya organisasi pemuda pertama Indonesia yg berbau-bau politik, Boedi Utomo. Kenapa dikatakan 'bangkit'? Wajar. Karena saat itu, pemerintah Hindia-Belanda demen sekali buat kita terpuruk sampai terjongkok-jongkok. Sehingga sekelompok pemuda merasa sudah waktunya inlander bangkit berdiri. Tidak cuma jongkok-jongkok lagi. Menjadi masyarakat madani yang bisa tiduran-jongkok-duduk-berdiri sendiri.

Selain Hari Kebangkitan Nasional, banyak hari-hari lain dirayakan. Dan banyak komentar orang-orang yang berceletuk: kenapa juga mesti dirayakan?

Saya pernah sih, mikir begitu. Tapi menurut saya yang sekarang, berpikir begitu hanya bikin saya jadi manusia skeptis. Dulu, bagi saya, ada beberapa 'hari' yang nggak penting tapi entah kenapa dirayakan. Hari Bumi, salah satunya. Dan Hari Lupus atau hari-hari penyakit lainnya. Ga penting. Itu dulu.

Sekarang, yang saya pikir adalah mengapa hari-hari tertentu dirayakan: karena tidak setiap hari manusia mampu mengingat hal-hal penting yang kecil namun berdampak super bagi hidupnya. Dan satu lagi, manusia pada prinsipnya suka hal-hal seremonial. Makin dirayakan, makin sip.

Dibalik sebuah perayaan terhadap hari, ada makna besar yang, tentunya, sulit dijangkau otak kalau kurang informasi. Tapi secara simpel, sebuah hari dirayakan untuk kembali mengingatkan manusia akan beberapa hal. Hari Lupus mengingatkan manusia kalau ada penyakit bernama unyu, Lupus dan ruam berbentuk kupu-kupu yang disebut butterfly effect merupakan salah satu tandanya. Atau hari bersejarah. Seperti Hari Kebangkitan Nasional ini. Dengan dirayakan, manusia Indonesia jadi kenal/kembali kenal dengan organisasi Budi Oetomo, dengan nama asli Ki Hajar Dewantoro, dengan fakta bahwa ditengah keterpurukan parah, pribumi Indonesia pernah dengan semangat bangkit melawan pihak yang demennya mlenet hak-hak mereka.

Efeknya, merayakan hari menjadi satu hal efektif untuk melawan lupa. Penyakit umum yang jamak dialami kebanyakan manusia.

Bisa jadi, untuk memberantas penyakit lupa terhadap beberapa hal menggantung, baiknya dirayakan harinya. Misal, hari pertama pembahasan kasus Century di DPR dijadikan Hari Kasus Century.

Nice, gak?

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Sabtu, 14 Mei 2011

Menjadi Perempuan



Saya suka sekali dengan Shanty.

Iya, Shanty yang artis itu. Suka bukan dalam arti ngefans berat, tapi saya menjadikannya salah satu contoh bagaimana menjadi perempuan.

Sebagai seorang individu yang lumayan berpendidikan (ya, jenjang S1 sekarang tampak lumayan mengingat banyak lulusan S2, entah betulan atau oplosan), saya paham betul apa yang wajib saya lakukan sebagai perempuan. Baik hal-hal yang muncul dalam kepala berdasarkan keinginan dan keyakinan diri sendiri, maupun hal-hal yang di 'doktrin' lingkungan saya melalui norma-norma.

Sebagai perempuan, saya sebaiknya memasak. Sebaiknya bisa hamil. Sebaiknya bisa mengurusi anak-anak. Sebaiknya bisa mengatur uang dan banyak hal 'sebaiknya' lainnya, termasuk tuntutan beberapa laki-laki bahwa perempuan sebaiknya jadi ibu rumah tangga.

Saya pernah merasakan menjadi perempuan yang super. Super bagaimana? Ya, super. Hampir semua hal bisa saya kerjakan sendiri. Mulai dari mencari uang sampai menyetir mobil. Saya terbiasa berangkat pagi dan pulang sangat larut malam dengan kedua kaki saya sendiri. Bung Karno pasti bangga, karena saya Berdikari. Tidak ada istilah diantar pulang, dijemput berangkat kerja, dan hal-hal princess lainnya. Bahkan ketika sakit pun, saya bisa menempuh jarak Kuningan-Ciputat seorang diri saja. Tidak merengek pada siapapun. Ya, mengeluh sedikit mungkin, entah via BBM atau Twitter. But deep down inside, I indeed could do those things by myself.

Kondisi diatas memaksa otak saya berpikir bahwa saya baik-baik saja sendirian. Dan saya baik-baik saja mengerjakan semua hal ini, mulai dari bekerja giat hingga larut sampai bepergian dari pagi sampai malam, sendirian. Saya merasa ini hidup saya. Hidup yang sungguh menyenangkan. Karena saya merasa mandiri. Sebagai perempuan, merasa mandiri membuat saya powerful. Saya pun enggan meninggalkan gua ini. Saya nyaman disini.

Tapi ketika membuka mata lebar pada sekeliling, ternyata banyak aspek dan unsur dari gua saya yang tidak sesuai dengan pikiran kebanyakan orang, terutama laki-laki. Saya harus peduli. Karena laki-laki tempat asal tulang rusuk saya. Rasanya terlalu kurang ajar kalau tidak mengindahkan keberadaan mereka. Saya berhutang sebuah tulang rusuk.

Ketika nanti menikah dan saya masih bekerja dari pagi hingga pagi lagi, apakah itu baik? Apakah itu masih menjadikan saya seorang perempuan yang baik? Saya khawatir. Walaupun di satu sisi, saya sebenarnya kurang rela. Haruskah melepaskan hal-hal yang menjadi hasil jerih payah saya?

Lalu saya melihat Shanty.

Yang saya tahu, dia mati-matian memperjuangkan karirnya, mulai dari menjadi penari, VJ MTV sampai akhirnya bisa benar-benar jadi penyanyi. Hal ini diperjuangkannya berbelas-belas tahun. Bukan waktu yang sebentar. Dan ketika dia sampai pada cita-citanya, dia menikah. Lalu pergi ke Hongkong. Karirnya? Dipasrahkan, mungkin ya. Artinya, digeser dulu skala prioritasnya.

Kemudian saya merasa berlega hati. Sebagai perempuan, mungkin hidup saya 70 persen adalah pengorbanan. Tapi itulah menjadi perempuan. Esensinya. Tinggal kita pandai-pandai pilih laki-laki. Laki-laki yang bisa membelikan sepasang Manolo tanpa perlu kita bekerja? *biggrin*

Mohon maaf atas kedangkalan akal.

Kamis, 12 Mei 2011

Dua Rindu Merah Jambu

Malam ini langit tidak bisa dibilang hitam. Tidak bisa dibilang biru gelap. Abu-abu gelap? Ah. Mari mendeskripsikannya sebagai warna-tak-terkatakan. Lebih adil untuk langit. Lebih manusiawi untuk kita. Berhenti sok tahu.

Dalam malam dengan warna-tak-terkatakan itu, dua rindu merah jambu menggantung manis pada seonggok hati yang belum terdetoksifikasi. Masih penuh racun-racunmu. Mungkin harus kurendam kaki dalam air garam dimana ion positif dan ion negatif dapat bertemu. Supaya hatiku bersih. Dari kamu.

Pasti bukan kali ini kubacakan gerombolan kata-kata yang menurut orang awam hanya serombongan kegombalan. Aku tidak pernah bilang akan mencintaimu sampai mati, toh? Seperti Bang Iwan Fals bilang: hanya mampu katakan aku cinta kau saat ini. Entah esok hari. Entah lusa nanti. Begitupun aku adanya. Dua rindu merah jambu menggantungiku malam ini. Tak janji hal serupa akan ada esok hari atau bulan depan.

Yang aku pedulikan adalah malam ini.

Tiba-tiba bayangan tubuhmu datang tanpa mengetuk pintu. Ujug-ujug, kalau kata pembantuku. Tiba-tiba muncul. Tapi aku tidak kaget. Seperti aku sudah tahu bayangan kamu akan datang, kapan saja kamu mau. Persis seperti pemilik bayangannya. Itu sudah menjadi ritualmu. Ciri khasmu. Aku hapal betul. Seperti Aman Sembiring hapal betul setiap kata dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Telapak tangan. Yang bahkan lebih halus dari telapak tanganku. Aku selalu penasaran, apakah kelingkingmu sebesar jari manisku? Jika iya, kita berjodoh. Benar-benar akan rutin kukunjungi pengajian di Paramadina. Coba kamu balikkan telapak tangan. Beberapa bekas luka. Dan pergelangan tangan tak bertuan. Tali jam tangannya putus, katamu. Tapi aku suka. Makin tak bertuan. Makin pergelangan dan telapak itu bisa kukenai hak kepemilikan tertinggi. Tidak rebutan dengan jam tangan apapun.

Rindu merah jambuku yang pertama.

Kulit. Yang bahkan lebih putih dari kulitku. Iya! Memalukan memang. Walaupun berulang kali kamu bilang ingin lebih hitam supaya tampak lebih Indonesia, mataku tetap menari-nari dalam rak-rak produk kecantikan di supermarket, mencari pelembap yang memutihkan. Ah. Favoritku adalah kulit muka di sekitar mata yang selalu berkerut hebat ketika tertawa. Juga kulit di pipi yang ditumbuhi beberapa helai bulu-bulu aneh yang berjarak berjauhan, memancing tangan mengambil pinset dan mencabutinya. Gemas! Tahukah? Aku pakai krim malam ini supaya suatu saat nanti tidak terlalu hitam-putih saat kita berfoto bersama. Suatu saat nanti.

Rindu merah jambuku yang kedua.

Tiga bulan terasa sudah seperti beberapa tahun. Walaupun bukan jam tangan baru, tapi pergelangan tangan sudah tidak lagi tak bertuan. Kamu punya gelang baru. Kulit juga semakin menghitam. Siapa dan apa. Bertemu seseorang dan sering berjalan kaki keluar di siang hari berdua sajakah?

tita,
ketika ujung hidung digigit nyamuk

Baju Pertama!

Kurang lebih seminggu belakangan, saya mulai bermain-main dengan mesin jahit Jerome hadiah dari Mama.

Setelah sebuah bed cover, saya came out dengan sebuah ide mengenai sebuah model baju dan 'terpaksa' mengorbankan salah satu sarung Papa karena bakal mubazir kalau beli bahan baru tapi hasilnya... gagal. Hahaha.

Hasilnya...

Sila melihat!






Me, personally, like it :)

Gimana menurut kalian?

Selasa, 10 Mei 2011

Mindset Itu Tentang Apa Yang Di-Set Oleh Mind


Tampak bukan solusi, ya, judul saya?

Memang bukan solusi. Saya nggak mau sok tahu dan sok hebat menjanjikan solusi. Saya lebih senang dibilang sebagai pemberi ide. Atau pemuncul ide yang sebenarnya sudah ada dalam kepala tapi terlupakan entah karena apa.

Mindset. Apa sih? Itu bahasa Inggris, sih. Lalu apa istilahnya dalam bahasa Indonesia? Saya, entah kenapa, mempunyai perasaan sangat kuat kalau mindset dalam bahasa Indonesia artinya adalah 'pola pikir'.

Pola pikir. Apa itu? Dalam ruang imajinasi saya yang saya duga tidak hanya menguasai otak kanan tapi juga otak sebelah kiri, pola pikir berarti pattern ajeg yang menuntun kita untuk berpikir. Pola pikir akan bersahabat karib dengan 'sudut pandang'. Setiap pola pikir tergantung pada sudut pandang dan setiap sudut pandang akan mempengaruhi pola pikir.

Sudahlah, sok tahunya.

Kenapa sih saya tiba-tiba berpikir tentang 'pola pikir'? Sebenarnya hal ini pasti pernah terlintas dalam kepala saya, cuma saya lupa kapan waktunya. Dan baru-baru ini, pikiran itu muncul lagi. Fokus dan tesis saya kali ini adalah:

Betapa emosi itu sangat bergantung dengan pola pikir. Tergantung pada mindset. Tergantung pada apa yang disetting dalam pikiran kita.

Sok tahu? Well, kali ini adalah pengalaman pribadi. Jadi tipe penelitian saya kali ini sangat empiris.

Begini,
Adik kandung perempuan saya akan menikah bulan Juli. Saat saya belum menikah. Inilah kondisinya. Satu kondisi yang (ternyata) memancing emosi beragam dari beberapa pihak. Yang saya yakin, dilatarbelakangi kuat oleh pola pikir.

Saya. Saya orang yang simpel. Dan agak ajeg. Jika saya berpikir melakukan A maka hasilnya adalah B, maka itulah yang akan terus bercokol lama dalam kepala saya. Saya jarang berpikir negatif, mungkin karena saya cuek. Dan saya lumayan optimis. Ditularkan dengan sangat baik oleh mama dan papa saya.

Maka, ketika saya harus 'dilangkahi' adik saya menikah duluan, saya tidak merasakan kekhawatiran apapun. Tidak secuil pun. Rasa 'tidak mau' pun tidak ada. Saya betul-betul santai menanggapinya. Karena bagi saya itu hal super biasa. Tidak ada yang heboh. Dilangkahi atau menikah duluan, sama sekali bukan urusan fundamental dalam hidup saya. Saya yakin, ini karena saya dikuasai pola pikir simpel tadi, sehingga saya tidak merasakan emosi berlebihan mengenai hal ini.

Dan saya menjadi lumayan terkejut, ketika ternyata, mengenai hal ini, saya menemukan tanggapan yang berbeda-beda. Mulai dari mama saya, tante-tante saya, bahkan teman-teman seusia saya.

Mama saya ternyata sampai menangis-nangis cerita pada adik iparnya. Tidak tega sebenarnya, kata dia.

Tante saya pun demikian. Merasa sedikit ngilu hatinya, katanya. Beberapa malah (saya rasa) menatap saya dengan takjub dan tidak henti memeluk saya.

Beberapa teman saya kaget dan memuji saya 'sangat baik' walaupun ada juga yang bertanya 'kok mau?'.

Saya tidak menyalahkan pola pikir mereka. Karena sepertinya, tidak pernah ada yang salah dengan cara berpikir orang. Tapi kembali ke bait diatas, mereka hanya memiliki pola pikir yang berbeda dengan saya. Bahkan ketika usia dan latar belakang pendidikan sudah sama pun, tidak menjamin cara berpikir akan sama.

Pada akhirnya, kedua telinga saya memang harus lebih banyak mendengar. Supaya hati saya lebih peka dengan orang-orang yang punya pola pikir lebih rumit dari punya saya. Dalam kondisi sekarang, saya harus lebih peka dengan Mama saya. Karena ternyata, keputusan ini bukan sekedar keputusan yang mengakibatkan beliau harus keluar uang berpuluh-puluh juta dan melepas salah satu anak gadisnya, tapi beliau juga mau tidak mau terbebani dengan perasaan 'tidak-enaknya' kepada saya. Bagi saya mungkin ini super sepele. Namun tidak buat beliau. Itulah mengapa saya butuh empati. Supaya bisa menyelami perasaannya dan menyesuaikan diri. Tidak hanya untuk keadaan satu ini.

Pola pikir memang berbeda. Tapi selalu ada waktu untuk empati. Toleransi. Tepa selira. Dan istilah manis lainnya, yang dapat dengan mudah kalian temukan dalam buku Pendidikan Moral Pancasila Kelas V SD Kurikulum 1994.

Tita. Sambil nonton Opera van Java.

*mohon maaf atas kedangkalan akal.

Senin, 09 Mei 2011

Taurus Betina Berulang Tahun


Bulan ini dan sedikit bulan kemarin menjadi bulan menyenangkan bagi banyak Taurus. Mereka berulangtahun! Dan (mostly) merasa berulangtahun.

Hari ini seorang Taurus betina kenalan saya, bermata kecil dan berkulit agak kuning gading, berulang tahun. Jujur saja, saya tidak tahu persis yang ke berapa si Chinese manis ini mengulang tahun hidupnya. Seharusnya dia seusia saya, karena kami seangkatan. Tapi bisa saja dia seperti ras Mongoloid di Indonesia kebanyakan, berotak super excellent dan mengambil dua kali kelas akselerasi waktu sekolah menengah. Bisa saja. Walaupun saya super sangsi :)

Seperti seorang Taurus kebanyakan, teman manis saya ini mengandalkan kekeraskepalaannya. Wow. Bagai seekor banteng betina, si manis seperti enggan menumpulan tanduknya. Matador manapun bisa diseruduknya. Walaupun si matador menjanjikan cinta. Eaa. Mudah-mudahan dia tidak muntah saat membaca paragraf ini. Saya sedang haid hari kedua, so, mellow is my middle name. Dan mellow adalah selalu tentang cinta, kan?

Saya mengenal beberapa Taurus, dan beberapa diantaranya menyenangkan, termasuk si manis ini. Super menyenangkan. Saya ingat bagaimana mata kecilnya akan semakin mengecil saat dia bercerita dan tertawa yang tak lupa selalu terselip makian yang entah mengapa tidak pernah terdengar tidak sopan di telinga saya. Jemari gemuk-pendek berkuteks dengan warna yang selalu saya irikan, sering sekali disibukkan oleh sebatang rokok bermerek luar berwarna kemasan emas-putih. Rokok kesukaan Taurus kenalan saya yang lain. Si manis selalu melontarkan ucapan yang memancing saya tertawa, atau memancing saya makin enggan mengurangi kebiasaan mengucapkan kata 'taik'. Ahaha. Makian sungguh melegakan.

Saya lumayan sering berbagi cerita, karena seperti kebanyakan Taurus, si manis adalah pendengar yang baik. Kapanpun itu. Entah di sela-sela audit. Entah di suasana romantis malam Menara Rajawali. Entah di pinggiran jalan Lingkar Mega Kuningan yang dihiasi lampu taksi penanda merek vacant. Beberapa cerita saya sama dengan si manis. Dia pun kerap membantu saya menyelami isi kepala Taurus yang laki-laki yang entah kepalanya dibuat dari apa. Cerita dengannya membuat saya bisa menangis lalu memaki-maki lalu kemudian ditutup dengan ketawa ketiwi menertawakan yang belum tentu lucu.

Dearest Marcella Maya,
Si manis yang daritadi saya ceritakan,
Selamat ulangtahun.
Saya harap kamu tetap keras kepala karena pasti itu daya tarik utama yang buat laki-laki kesengsem dan kelojotan.
Saya doakan kamu selalu bisa ketawa ketiwi menertawakan apapun, sampai seluruh mata kecil tertutup dan hanya menyisakan garis-garis di tepinya.

Ah. Banyak sekali yang ingin saya bilang. Tapi kebanyakan rahasia :) Saya tutup dengan doa sapujagad: wish you all the best.

Semoga kamu suka kadonya. Ucapan selamat ulangtahun yang panjang. Saya rasa ini hal terbaik yang bisa dilakukan seorang pengangguran yang kesepian dan kehabisan uang tabungan *ketawaketiwi*.

All the love in the world,
Tita

PS: we are consider to be compatible to each other, Mae. Scorpio and Taurus :) Ohya, saya pamit comot foto kamu dari Fesbuk ;)

Minggu, 08 Mei 2011

Berapa Gaji Kamu?

Bagi saya, itu adalah pertanyaan kurang sopan nomor satu untuk ditanyakan oleh seseorang ke orang lain. Kecuali dalam konteks untuk menggali informasi mengenai suatu jenis pekerjaan. Itupun akan lebih sopan jika pertanyaan diarahkan kepada hal yang lebih umum, seperti: berapa sih, standarnya kalau fresh graduate di oil company kaya tempat lo? Well, itu lebih sopan.

Ah.

Saya kolot barangkali. Tapi buat saya pribadi, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang paling tidak akan saya tanyakan. Kalaupun ingin memperoleh informasi, saya akan lebih cenderung menanyakan mengenai berapa kira-kira saya akan dibayar untuk jenis pekerjaan tertentu pada level tertentu.

Kenapa saya sekolot ini?

Bagi saya, pertanyaan 'berapa gaji kamu?' merupakan pertanyaan yang menyesatkan. Loh? Iya. Entah persepsi saya benar atau salah, tapi bagi saya itu sungguh pertanyaan menyesatkan. Karena pertanyaan itu akan membawa seseorang kepada kemungkinan-kemungkinan yang tidak begitu mengenakkan. Saya akan coba ceritakan.

Kemungkinan pertama.
A : Berapa gaji lo?
B : 10 juta
A : Wah! Gede banget?
B : Iya. Dan tiap tahun gue naik 20 persen dan bonus gue bisa sepuluh kali gaji.

Sombong. Yap. Ujung-ujungnya secara di bawah alam sadar, saya mungkin akan menyombongkan diri sendiri betapa saya dibayar mahal dan dengan demikian saya pantas digolongkan ke dalam kelompok sosial masyarakat kelas menengah ke atas. Buat lawan bicara yang tidak peka atau cuek, saya akan aman. Tapi kalau lawan bicara saya sensi? Bah. Bisa habis saya diomongin di belakang dan jadi topik obrolan seru dengan teman-temannya. Obrolan yang kurang enak biasanya.

Kemungkinan kedua.
A : Berapa gaji lo?
B : Ah, biasa aja...
A : Berapa sih, emangnya?
B : 10 juta
A : Gila! Kecil gimanaa..

(Tetap) Sombong. Tapi dengan cara yang keren disebut dengan istilah: merendahkan untuk meninggikan. Menjawab dengan cara seperti ini akan membuat saya dicap sama tidak enaknya dengan menjawab dengan jawaban diatas. Bahkan beberapa orang mungkin akan menganggap saya super annoying karena berlagak bak malaikat merendahkan diri padahal ujung-ujungnya minta dipuji. Hah. Susah.

Kemungkinan ketiga.
A : Berapa gaji lo?
B : Sebulan take home 10 juta lah.
A : Wah, enak banget!
B : Iya, tapi lo ga sempet main-main, lembur melulu, mana senior gue galak-galak, bla bla bla

Hayo. Jatohnya jadi rumpiin orang. Lebih gawat kalau ditambah bumbu penyedap biar lebih dramatis. Selain menyebabkan orang kasihan dan sukses menghindari saya dari cap 'sombong' tapi secara tidak sadar saya sedang mensugesti orang untuk tidak mengambil pekerjaan seperti saya atau pekerjaan di tempat saya bekerja. Baru awal pembicaraan tentang pekerjaan saja sudah hal-hal jelek keluar dari mulut. Ya lembur, lah. Ya atasan galak, lah. Yang ada saya mungkin membuat orang jadi antipati dengan pekerjaan saya, walaupun awalnya mungkin dia sangat antusias.

Itulah kemungkinan-kemungkinan yang saya baru tahu berdasarkan pengalaman diri sendiri. Dan menurut saya percakapan serupa kerap terjadi dengan model yang sama hanya ada beberapa jenis variasi dan bumbu-bumbu kata yang tentu berbeda-beda. Intinya adalah sama: membicarakan masalah gaji. Hukum yang berlaku adalah yang merasa bergaji besar cenderung melakukan percakapan salah satu dari diatas. Lebih membuat ilfil jika hal serupa dibahas dalam forum-forum atau social media di internet seperti, Twitter. Lalu tersebar luaslah ke seantero masyarakat. Jadilah Sabang sampai Merauke pun tahu. Dapat dipastikan yang mengkasak-kusuki saya di belakang saya pun akan makin banyak atau ya adaa aja.

Itulah mengapa saya bilang menyesatkan.

Saran saya sih, nggak usah lah tanya-tanya soal itu. Karena sebagai pendengar, kamu pun mungkin akan cepat gondok. Apalagi buat orang-orang bersumbu pendek.

Mohon maaf atas kedangkalan akal :)

Kamis, 05 Mei 2011

He's Just Not That Into You

Familiar dengan judul post saya?

Ya, itu adalah sebuah judul film. Pemainnya ciamik semua, diantaranya Jennifer Aniston dan Drew Barrymore. Membuat saya makin menyukai film ini.

Ceritanya berpangkal dari sebuah ide menarik: betapa sangat berseberangannya pikiran perempuan dan laki-laki.

Kelak kalau saya di surga, saya ingin tanya apa maksud Tuhan merancang dua jenis kelamin berbeda ini dengan pemikiran yang begitu berseberangan. Hal ini kerap menyulitkan perempuan. Menyulitkan saya, baru-baru ini.

Sebut saya kolot. Tapi saya memang tipe perempuan yang tidak pernah begitu percaya dengan pertemanan-baik antara perempuan dan laki-laki. Apalagi kalau si laki-laki itu entah ada angin apa tiba-tiba tanya keadaan saya sehat atau tidak. Tiba-tiba memuji saya cantik. Atau tiba-tiba memasang foto berdua dengan saya saja, padahal itu foto bersama teman-teman lain yang terpaksa dikorbankan dengan metode crop. Ya, saya se-GR itu.

Apalagi untuk laki-laki yang pernah saya jadikan sasaran perhatian saya, pusat dimana dunia saya berputar mengelilinginya. Atau simpelnya, laki-laki yang pernah saya sayang. Buat saya, ketika saya dan laki-laki itu sudah tidak bisa bersama sebagai pasangan, maka kami tidak akan pernah bisa menjadi dua manusia dalam hubungan yang lain, apalagi teman baik. Tidak ada dalam 'agama' saya, mantan pacar jadi teman baik atau mantan gebetan jadi teman baik. Bullshit. Hanya menambah daftar hal munafik yang mungkin saya lakukan.

Untuk itu, saya benci sekali dengan dia. Dia yang masih memperhatikan saya atas nama teman baik. Masih mengirim pesan dan menanyakan kabar atas nama teman baik. Tidakkah sadar kalau saya perempuan? Dan hukum yang berlaku dalam film He's Just Not That Into You akan berlaku juga bagi saya. Dimana semua hal biasa yang dilakukan itu akan menjadi hal luar biasa buat saya. Menjadi hal yang menumbuhkan harapan saya, kalau saya dalam kondisi masih punya perasaan.

Tidak sadarkah dia kalau sulit bagi saya untuk menerima fakta bahwa tidak akan lagi ada pesan dalam Blackberry Messenger saya dari dia sekedar hanya untuk menyapa selamat pagi? Tidak pahamkah dia berapa kalori yang sudah saya bakar demi melupakan semua? Berapa porsi makan yang harus saya tambah supaya otak saya berhenti berpikir dia? Tidakkah dia punya empati.

Once you said we're over, just hand on your heart and leave.

Dan jangan pernah kembali jika perasaan tidak pernah ada.

Saya harap dia nggak pernah lagi mimpi untuk menjadikan saya teman baiknya. Teman yang bisa ada dan membantu dia dalam berbagai kesulitan. Teman yang bisa diajak diskusi dan saling mengkritik. Tidak. Saya hanya ingin jadi lebih dari sekedar teman. Di luar itu, saya sama sekali tidak mau.

So, when you are not that into me, show it. Don't ever dare to give a little care. Do not ever.

Rindu Saya Yang Galak

Saya aslinya galak. Paling nggak, itu kata adek-adek saya Dan Mama saya juga. Saya tidak suka barang-barang saya dipindahkan seenak jidat oleh siapapun. Saya tidak suka baju saya dilunturi apapun. Saya benci orang bergerak lelet apalagi ketika tiba saat saya harus menyupir dan berujung pada saya terpaksa ngebut untuk menebus waktu akibat keleletan. Saya juga tidak suka dengan orang yang tidak mengerti dengan cukup sekali peringatan dari saya.

Dan saya santai-santai aja tuh menjadi galak. Saya nggak pernah begitu nggak tega. Apalagi kalau tidak perlu bertatap muka. Makin jadi kadar ketegaan saya. Buat saya, penting untuk orang lain tahu apa yang ada dalam pikiran saya tentang mereka. Supaya nggak ada salah paham apalagi GR-GRan.

Belakangan saya dibuat agak kesal. Kesal banget, sih. Dan terpaksa saya jadi agak galak. Ketus. Kepada orang yang sebenarnya tidak pernah ingin saya galaki. Kenapa harus galak? Karena dia menyinggung sudut damai hati saya. Membuat saya jadi uring-uringan dan berujung pada menjadi super-panasnya ubun-ubun. Hhh. Ingat Tuhan pun tampak percuma. Tapi tetap saja baru 'agak'. Tidak bisa sepol dulu. Segalak dulu. Segengsi dulu.

Beberapa bulan terakhir, saya sudah agak jarang galak. Apalagi gengsian. Dan saya rindu saya yang galak. Yang bisa berkata 'tidak' kepada seseorang dan pendirian itu bertahan lebih lama dari masa kadaluarsa susu Ultra. Saya rindu saya yang gengsian, yang nggak peduli dengan dampak ucapan saya, apakah orang sakit hati atau tidak, apalagi berpikiran untuk minta maaf atas tindakan dan ucapan yang barusan dilakukan. Saya rindu berdiri dengan dagu terangkat lumayan tinggi di atas tanah bumi ini. Rindu menyalak keras setiap saya merasa terancam.

Saya merasa berubah. Berubah menjadi lebih lembek. Tidak gampang galak-galak seperti dulu-dulu. Entah kenapa. Kalau kalian jawab karena cinta, saya siap-siap lempar kalian pakai bantal cinta. Walaupun setelah dipikir-pikir, mungkin saja. Mungkin saja kadar galak saya jadi berkurang setelah saya bertemu seseorang yang menggenggam sekepalan hati saya. Saya jadi luluh dan mau berubah. Tidak lagi galak. Tidak lagi gengsian. Tidak lagi berjalan dengan dagu terangkat lumayan tinggi.

Itu berjalan cukup lama dan, oh, demi Tuhan saya lupa bagaimana cara melakukan ketiga hal diatas. Saya lupa bagaimana cara menjadi galak, menjadi gengsi dan mengangkat dagu lumayan tinggi. Ini menyulitkan saya. Karena saya selalu saja menjadi lembek seperti bagian tengah surabi Notosjuman. Menyebalkan. Diremehkan, pikir saya. Saya tidak menyesal menjadi lebih lembut, yang saya sesali adalah betapa otak saya malah mengganti 'galak' menjadi lembut. Tidak bisakah dia mengkombinasikan keduanya? Sehingga bisa saya gunakan kapan saja saya membutuhkan? Ah.

Sungguh sangat rindu saya yang galak.

Senin, 02 Mei 2011

Selamat Dua Puluh Lima Tahun


Ada beberapa perasaan mengenai kata-kata itu. Ulang tahun.

Ketika ulangtahun kelima, rasa hati mungkin sangat berdebar-debar. Excited. Apalagi kalau akan diadakan pesta di sekolah atau di rumah. Bibir tidak akan berhenti tersenyum manis, bahkan tertawa-tawa. Mood seolah-olah sangat baik. Tidak ada satupun yang mampu merusak, kecuali mengenai pesta itu sendiri. Hati tak sabar lagi menunggu setumpuk hadiah, meniup lilin ulang tahun dan kedatangan seorang badut! Ah. Rasanya ingin hari itu cepat sampai.

Ketika ulangtahun ketigabelas, hati sudah mengenal ketar-ketir ulang tahun a la anak seusia itu. Yang memenuhi pikiran adalah hal yang sedang tren saat itu, traktir. Membujuk mama-papa supaya diberi lebih uang dan bisa mengajak teman-teman makan di suatu tempat yang seru. Hal kedua setelah traktir adalah ditimpuki telur dan tepung. Tak jarang beberapa teman dengan sedikit sadis sanggup menyiram dengan air bekas cucian piring dari kantin. Ah. Rasanya antara senang dan tidak, menunggu hari itu cepat sampai.

Ketika ulangtahun ketujuhbelas, hati gegap gempita. SIM! KTP! Atau mungkin jam malam yang semakin molor. Beberapa berpikir tentang pesta sweet seventeen. Beberapa sedang berada dalam kegetiran pikiran untuk menghadapi kenyataan bahwa usia tidak lagi anak-anak. Ujian akhir, penentuan lulus atau tidak, pilihan jurusan kuliah, berpisah dengan teman-teman bermain. Semua hal 'dewasa' menghadang di depan mata. Ah. Rasanya cemas ketika hari itu semakin dekat.

Ketika ulangtahun keduapuluhlima, hati mulai banyak diam. Otak yang keras bekerja. Mau apa? Mau jadi apa? Bagaimana tahun depan? Bagaimana lima tahun lagi? Semua kegelimangan sebuah kata ulangtahun tampak hilang. Tidak peduli apakah ada hadiah. Tidak peduli apakah ada pesta. Doa dari semua kerabat saja sudah lebih dari cukup. Bahkan, teman yang melupakan tanggal ulangtahun pun sudah tidak terasa begitu menyakitkan. Biasa saja. Semua jadi biasa saja. Biasa jika dibandingkan dengan 1001 hal yang perlu dipikirkan, direnungi dan segera dilaksanakan. Pada usia ini, tidak mungkin hanya menjadi orang yang lebih tua. Tapi harus mampu jadi manusia yang lebih dewasa. Itulah yang membuat kepala menjadi pening kadang kala saat berpikir malam-malam ketika kantuk belum datang. Ah. Rasanya tak sabar hari itu datang, tak sabar menjadi manusia yang lebih dewasa.

Seperempat abad. Bukanlah waktu sekejap mata. Wajah sudah banyak berubah. Berat badan sudah naik terus atau naik-turun. Teman-teman dan kekasih sudah datang dan pergi. Isi kepala sudah jauh lebih penuh. Hati juga seharusnya sudah bisa lebih lapang. Lebih bijak.

Seperempat abad. Terlalu dini untuk menyerah dan menganggap semuanya terlanjur sudah. Your life begins at forty, remember?Dan tidak ada kata terlambat. Tidak ada kata sudah terlalu tua, kecuali untuk memakai setelan kaos distro, topi gaul, celana skinny dan kacamata Ray-Ban super besar. Kaki masih kuat berlari, lengan masih kuat mengangkat beban dan pundak pun masih kokoh untuk menanggungnya. Dua puluh lima tahun hidup membuatmu berlatih keras, bukan?

Maka,
Angkatlah dagumu. Langkahkan lagi kaki. Sungguh dua puluh lima bukan waktu untuk berhenti. Bolehlah istirahat sebentar, tapi jangan pernah berhenti dan berkata ini sudah usai. Doa selalu tercurah, semoga Tuhan melapangkan hati, pikiran dan jalan menuju apapun mimpimu.

Selamat dua puluh lima tahun.
Menjadi matang, menambah kegantenganmu :)

Minggu, 01 Mei 2011

Halo, Buruh :)

Selamat hari Buruh Internasional.

Sebagian awam, begitu mendengar kata buruh, yang terlintas adalah orang-orang yang melakukan pekerjaan kasar di dalam pabrik. Berseragam, bekerja dalam jumlah sangat besar dan semuanya merupakan masyarakat dari golongan kurang mampu. Intinya, kalau bisa punya mobil, bukan buruh, deh! Ya, sesempit itu.

Mari kita lihat.
Definisi buruh atau pekerja menurut UU No. 13 Tahun 2003 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Ya, seluas itu.

Dan menurut saya, selama ini saya termakan oleh kesempitan berpikir tersebut. Yang berujung pada keapesan diri sendiri, sih. Tema 'buruh atau bukan' ini yang menjadi salah satu indikator keapesan saya akibat berpikir terlalu sempit. Akibatnya fatal, yaitu pengabaian hak-hak saya sendiri sebagai seseorang yang bukan cuma menanggung status sebagai manusia.

Salah satu faktor tidak tegaknya hukum, menurut saya, adalah ada beberapa pihak yang sesungguhnya dilindungi oleh hukum, bahkan secara khusus, contoh anak dan buruh, tidak mengetahui atau tidak mau tahu kalau mereka segitu dilindunginya. Jadilah, hukum cuma jadi riasan bak bangles warna-warni dalam pergelangan tangan seorang peragawati. Apalagi kalau penegak hukumnya cuek. Makinlah, dua-duanya cuek. Hapus saja peraturannya dari lembaran negara. Kan nggak begitu. Karena seperti yang didoktrinkan di kepala saya sejak tingkat satu, dan saya sort of menyetujuinya, hukum adalah panglima dan sarana perubahan dalam masyarakat.

Saya akan persempit dalam tema buruh ini, salah satunya sebagai penghormatan saya kepada manusia-manusia yang menyandang status buruh, dikarenakan sebagai individu lulusan sarjana, saya belum bisa berbuat apa-apa.

Buruh. Apa itu? Lihat atas. Sudah? Maka unsur-unsur buruh sangat mudah: bekerja dengan menerima imbalan. Lalu saya berkaca, apakah saya pernah disebut sebagai buruh? Tentu pernah! Saya pernah melakukan pekerjaan dan saya diberikan imbalan berupa gaji dari itu. Tapi, ternyata dulu saya gengsi untuk disebut buruh dan keburu diracuni dengan pendapat beberapa orang kalau pekerjaan saya adalah profesi. Jadi, saya persempit pengertian buruh dalam kepala saya dan mendongakkan dagu sambil berpikir, saya seorang profesional.

Dulu saya bekerja pada sebuah kantor konsultan hukum sebagai salah satu junior associate atau yah, sebut saja posisi paling bawah, helping hands bagi senior-senior saya yang sudah bertahun-tahun bekerja disana. Beberapa orang menyebut pekerjaan saya dengan 'pengacara' atau 'lawyer'. Tapi tidak ada istilah ini dalam konteks lembaga resmi. Dalam undang-undang yang disebut-sebut adalah 'advokat', yang mana untuk dapat dikatakan 'advokat' seorang sarjana hukum perlu memenuhi beberapa persyaratan lain. Singkatnya, saya tidak pernah jadi advokat. Saya hanya pembantu advokat. Lalu, saya buruh?

Bukan, saya lawyer. Begitu pikir saya waktu itu. Wong gaji saya besar dan jabatan saya bergengsi. Saya S1, lho, masak jadi buruh. Saya pun tidak merasa melakukan pekerjaan kasar. Yah, walaupun kadang menggotong-gotong Bantex tebal terasa kasar juga. Intinya, saya bukan buruh. Maka dari itu, saya, salah satunya, tidak berhak atas uang lembur dan hari libur minimal 1 hari atau 2 hari dalam satu minggu.

Padahal, kalau mau diselami, saya ini pernah jadi buruh. Dan kalau saja saya mau mengakui diri saya sebagai buruh, saya bisa mendapatkan hak-hak saya yang tercantum dengan gagah dalam undang-undang. Saya bisa banyak istirahat atau banyak uang karena lembur terus. Tapi, saya kemakan gengsi. Atau kemakan perasaan nggak enak hati macam perasaan emban terhadap Tuan Puteri? Istilah anak jaman sekarang, perasaan nggak enak hati macam pembantu baru. Padahal saya mampu lho berpikir dan menganalisa ini. Saya kan, sarjana hukum. Empat tahun saya makan lembar demi lembar peraturan perundang-undangan.

Pengabaian hak oleh individu, bisa karena tak tahu, bisa juga karena gengsi. Salah satu faktor tidak tegaknya hukum seperti yang saya bilang tadi, lah.

Melindungi mulai dari diri sendiri. Mari. Karena tanpa peduli dengan diri sendiri, bagaimana mau peka sama orang lain?

Mohon maaf atas kedangkalan akal :)