Senin, 31 Oktober 2011

Cerita Cat Kuku


Saat itu warna cat kukunya mirip ini. Punya saya:: Frankly Scarlet by Revlon :)

Hai.

Semalam saya mimpi digentayangin blog. Dia ngambek karena sering saya lupakan. Hihihi.

Malam ini, saya mau sedikit nyolek si blog dengan sebuah cerita yang... sederhana. Cerita yang berhasil saya ingat dengan detil berkat bantuan cairan berwarna semi coklat-merah muda sebanyak 15 mil dalam botol bertuliskan Revlon. Cerita kemudian berputar lancar di dalam kepala selama saya mengoleskan cairan itu perhalan di setiap kuku-kuku saya. Makin kencang berputar, ketika saya harus mengolesi kuku-kuku di tangan kanan saya. Artinya, saya harus mengoleskannya dengan tangan kiri. Sebagai seorang right-handed, saya sangat tidak terlatih menggunakan tangan kiri. Pemolesan cat kuku pun menjadi sedikit butuh perjuangan.

Cerita membawa saya kembali ke.. entah berapa tahun lalu. Pada sebuah teras kos-kosan di bilangan Tubagus Ismail, Bandung. Cuaca seingat saya cukup dingin. Yah, walaupun Tubagus Ismail memang, entah kenapa, selalu menghadirkan suasana dingin. Mungkin karena malam. Dan lantai teras yang pandai menghantarkan rasa smriwing.

Sebenarnya semua biasa saja. Sangat biasa. Percakapan biasa. Makanan biasa. Dan minuman biasa. Saya mendengarkan celotehan sambil mengolesi cat kuku pada kuku-kuku kaki. Kemudian, ketika tiba giliran kuku-kuku di tangan kanan, saya berhenti sejenak. Malas.

Tak sampai lama, si lawan bicara membantu saya mengolesi cat kuku pada tangan kanan. Tanpa diminta, tanpa saya perlu merajuk. Perlahan sekali sampai akhirnya selesai juga. Walau rasanya seperti seabad.

Ada pelajaran yang saya ingat. Bahwa, tidak semua orang sangat ringan tangan membantu, tanpa pedulikan apa aktivitasnya. Tujuannya sederhana: sekedar menunjukkan perhatian dan kepedulian. Kalau boleh meminjam istilah Syahrini; buat saya, itu sesuatu banget :)

Kenapa begitu spesial? Karena si yang membantu mengoles cat kuku adalah laki-laki. Dan kejutan kedua, dia bukan laki-laki yang sedang ada-maunya :))


Love,

Tita

Selasa, 04 Oktober 2011

Dua Keluarga Menjadi Satu

Hai.

Saya nggak punya pacar, sih. Tapi saya punya dua telinga untuk mendengar dan cukup intelegensia untuk mencerna masalah. Hal mengenai hubungan laki-laki dan perempuan yang ingin saya bahas kali ini timbul dari keheranan saya, bahwa ternyata masih banyak pasangan yang kurang mengerti kalau mereka adalah duta besar bagi pasangan masing-masing di dalam keluarga.

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa dua manusia bersama adalah dua manusia yang berbeda, baik fisik, materi maupun spiritual. Kenapa? Simpel. Karena dua manusia ini mengalami pengalaman yang berbeda, salah satunya: mengalami keluarga yang berbeda.

Bagi yang sudah sedemikian serius dengan kekasihnya dan hendak menikah, mungkin sangat akrab dengan pedoman adat Timur yang mengatakan bahwa dua individu menikah artinya adalah juga pernikahan dua keluarga. Kita, sebagai masyarakat Timur, masih menerima bahwa pernikahan bukan mengecilkan jumlah anggota keluarga, tetapi menambah. Menambah anak, orang tua, paman, bibi, sepupu, keponakan bahkan kakek. Akan menjadi satu keluarga besar yang baru.

Lalu, apa arti keluarga? Family stick together and accept each other fools. Ini yang susah. Accept. Alias menerima. Nrimo.

Bagi orangtua kita, dan kita, saling menerima mungkin akan mudah. Lah wong kita berhutang materi-spiritual kepada mereka. Tapi, bagaimana dengan menerima orangtua pasangan? Atau bagaimana dengan orangtua menerima pasangan anak? Saya tertarik membahas pertanyaan kedua. Bagaimana orangtua menerima pasangan si anak?

Jawabannya simpel. Orangtua menerima pasangan si anak melalui si anak itu sendiri. Bukan melalui jalur yang lain. Well, normalnya adalah seperti ini. Itulah mengapa, sebagai anak, yang tentunya juga mencintai pasangan dan ingin pasangan diterima di dalam keluarga, kita adalah ujung tombak diterima atau tidaknya pasangan di dalam keluarga.

Kenapa?

Pertama, kita adalah orang yang paling dekat dengan pasangan, di dalam keluarga. Tentu kitalah pihak yang paling mengenal si pasangan. Kedua, orang tua (atau keluarga lebih besarnya), menginginkan anak-anaknya bahagia dengan apapun miliknya, pekerjaan ataupun pasangan.

Bagaimana?

Kita adalah representasi terbesar pasangan dalam keluarga. Kalau keluarga tahu kita sering dibuat sedih oleh pasangan, maka ketebak sudah bagaimana imej pasangan di dalam keluarga. Reaksi kita terhadap pasangan mencerminkan apakah kita bahagia dengan dia atau tidak. Jika terlihat tidak bahagia, jangan kan keluarga, tetangga sebelah pun pasti tidak akan bisa terima pasangan kita.

Selain reaksi yang kita bawa ke dalam rumah, cerita tentang pasangan kepada orangtua/keluarga adalah jalan yang baik. Disinilah dibutuhkan, atau bahkan dilatih, hubungan dan komunikasi yang baik antara kita, sebagai anak, dan keluarga. Sudah sepantasnya, kita banyak menceritakan tentang pasangan kepada keluarga, dari mulai hal yang baik sampai ke hal-hal yang buruk. Jadikan porsinya seimbang. Bukan hanya soal pasangan itu sendiri, tapi juga tentang keluarganya. Cerita-cerita ini membuat kedua keluarga mempunyai cukup waktu untuk menerima kekurangan dan menambalnya dengan kelebihan-kelebihan yang diketahui, dari kedua belah pihak. Dengan ini, maka penyatuan dua keluarga akan berjalan lancar.

Perbedaan antar kedua keluarga ini, bisa terjadi berdasarkan banyak hal, baik materi maupun pendidikan. Baik profesi maupun usia. Sebagai orang yang menjalani hubungan dan ingin hubungan itu direstui, kita adalah orang yang paling bertanggung jawab untuk menerima perbedaan pasangan dan keluarganya. Setelah itu, mempromosikan keduanya di depan keluarga, akan lebih mudah.


love,
_tita

Sabtu, 01 Oktober 2011

Perempuan Bersyukur

Hari Selasa kemarin, saya merasa sangat beruntung menjadi perempuan yang berada dalam komunitas yang menghargai perempuan. Waktu itu saya sedang di atas kereta pukul setengah tujuh dari stasiun Sudimara. Seperti bisa, kereta sudah sangat penuh ketika saya masuk. Setelah agak mendesak masuk, saya akhirnya bisa berdiri di depan deretan kursi. Saat itulah, seorang laki-laki yang sedang duduk, berdiri dan memberikan saya tempat duduknya. Lalu saya duduk. FYI, duduk di atas kereta pukul setengah tujuh dari Sudimara itu sangat langka.

Pujian untuk Tuhan.

Kemudian, beberapa hari lalu, seorang laki-laki menahan pintu lift yang akan tertutup dengan tangannya sampai dia meringis sendiri (lucu, deh), ketika saya hampir terjepit.

Lalu siang tadi, ketika saya pergi makan siang dengan beberapa teman kantor, salah seorang teman kantor laki-laki membukakan pintu taksi untuk kami, perempuan.

Puji-pujian untuk Tuhan.

Begitu banyak penghargaan dan kemudahan, saya merasakannya, bagi perempuan. Gerbong khusus, tempat menunggu khusus di beberapa halte busway, cuti hamil, keringanan pekerjaan ketika hamil bahkan pebisnis pun mempertimbangkan perempuan melalui produk ladies parking mereka.

Pada komunitas yang masih menghargai perempuan seperti ini, saya rasa tidak ada salahnya untuk mari kita balas, dengan hal kecil pun. Mulai dari senyum yang tersungging manis setiap berpapasan dengan orang yang menyapa, bertutur kata lembut dan sabar.

Susah sih, di era polutan nan memancing emosi ini. Hahaha *ups, tertawa terlalu ngakak*



sayang,
tita