Sabtu, 30 April 2011

She Has His Heart

Media banyak bahas soal royal wedding William-Kate. Mengingatkan saya akan sosok yang membayangi kehidupan keluarga kerajaan Inggris. Tampak nggak eksis, tapi mengikuti. Persis seperti bayangan.

Tepatnya, bayangan Pangeran Charles.

Camilla.

Setelah saya pikir-pikir, saya iri dengan Camilla.

Banyak alasan untuk iri dengan seorang Camilla. Tapi, satu yang paling saya irikan: bahwa dia membuat seorang pria tidak mampu berpaling darinya.

Diana boleh pernah menjadi istri seorang Charles. Seluruh dunia mengakuinya. Digandeng dan disun pipi di setiap acara resmi. Menggunakan baju menawan dan dikawal belasan penjaga. Secara terang, tidak ada satupun perempuan yang tidak iri dengan Diana. Seperti seorang Cinderella yang melompat keluar dr halaman buku cerita.

Lalu apa Camilla?

Bahkan di masa perceraian dan meninggalnya Diana, makin banyak tim kontra-Camilla. Merebut suami orang lah. Perempuan murahan lah. Jahatnya mungkin ada yang komen (saya sih, sebenernya): ih, apa cantiknya? Udah tua! Ya. Kalau dibandingkan dengan Diana, Camilla memang tidak seujung kuku kecantikannya. Usia pun jauh. Apalagi popularitas. Camilla seperti tak punya 'apa-apa' jika disandingkan dengan seorang Diana.

But, wait. Seperti tweetnya The Icha Rachmanti (@cintapuccino): she has his heart.

Setelah beberapa menit saya berpikir tentang ini, hmm, nggak ada gunanya iri. But I think, there is a moral instead. Apa? Seseorang mungkin terlihat punya segalanya, tapi itu baru 'mungkin'. Karena manusia bukan danau atau laut menurut saya. Sehingga permukaannya belum menunjukkan apa-apa soal 'dalamnya'.

Inilah kenapa saya perlu berhenti iri sama orang lain. Juga berhenti benci. Apa yang saya lihat di permukaan, yang membuat saya iri atau benci, belum tentu merupakan representasi terbaik dari seseorang. 'Dalamannya' bisa lebih parah atau lebih baik. Dan bisa saja 'dalamannya' membuat rasa iri dan rasa benci itu seperti terimbangi. Saya bukan Maha Tahu. Dan berpikir jelek itu bikin keriput di ujung mata lebih cepat datang. Jadi, saya pilih positive thinking sebagai jalan teroke.

Mohon maaf atas kedangkalan akal :)

Rabu, 27 April 2011

Dipeluk Mama

Topik yang sangat umum, saya rasa.

Mama. Ibu. Bunda. Umi. Atau sebutan mahasuci lainnya.

Tapi sebagai sosok sekaligus 'pekerjaan', membahas Mama (saya menggunakan kata Mama, ya) tidak akan pernah habis. Saya malam ini ingin berbagi cerita singkat. Cerita yang langsung terjabar dalam pikiran saya, hanya karena sentuhan Mama beberapa menit saja, tidak sampai lima menit mungkin.

Suatu pagi buta di hari Senin.
Malam Senin, karena adik bontot saya sedang TC Paskibra, saya mencuri posisinya, tidur sama Mama. Ini adalah kali pertama setelah kira-kira 15 tahun atau lebih saya tidak tidur berdua saja dengan Mama. Saya anak pertama dan langsung mendapat kamar sendiri ketika lahir. Kebetulan juga tidak gila ASI. Jadi memang bisa tidur sendiri. Kalau kata Mama, dari umur tiga tahun juga sudah tidur sendiri. Jadi, tidur bersama Mama merupakan salah satu hal 'ajaib' buat saya.

Mama saya punya kebiasaan bangun jam 3 pagi, atau sekitarnya. Kadang untuk berdoa, kadang sahur karena ingin puasa. Pagi itu, saya ikut terbangun sebenarnya, cuma masih malas sekali, jadi saya memilih untuk mencoba tidur lagi. Ketika saya sedang berada diantara sudah tidur-dan-belum, saya merasa tangan lembut membelai pelan rambut saya. Pelan dan dengan gerakan teratur. Mama saya. Lalu saya pura-pura merem.

Apa yang saya rasa?
Terharu dan aman.
Saya merasa beliau tahu belakangan saya sering memberatkan pikiran saya dengan hal-hal kurang penting sehingga mood saya berantakan. Beliau juga paham betapa saya sesungguhnya memendam berjuta rasa karena menjadi pengangguran yang kehabisan tabungan. Saya rasa beliau mengerti belakangan anak gadis tertuanya lumayan cengeng dan hobi menangis menggerung-gerung.

Ah. Mungkin Mama hanya menduga-duga. Tapi dugaan seorang Ibu itu 99,9% benar!

Ya, Mama.

Beberapa bulan ini memang saya suka negative thinking. Berpikir Tuhan usil sama saya. Memberi cobaan yang tidak saya duga-duga. Saya juga pusing tujuh keliling karena digit tabungan makin berkurang dan belum dapat pekerjaan. Hah. Mam, calon suami tak punya, bahkan di akhir bulan depan mungkin harus menodongmu lagi uang jajan. Dan, iya, Mam, kali ini patah hati lagi. Tapi saya berlebihan sekarang. Lupa kalau masih punya beberapa cc otak untuk dipakai selain beberapa ons hati.

Mungkin terlalu banyak rahasia di antara kita, Mam. Banyak hal yang saya takut menceritakannya. Takut Mama sedih atau malu punya anak saya. Tapi Mama selalu berhasil tahu. Paling tidak, tahu suasana hati saya. Sekaligus tahu bagaimana menghilangkan biji kedondong yang serasa menyumbat tenggorokan ini.

Sebuah belaian lembut beberapa menit. Sebuah Magnum Classic. Sebuah joke garing yang entah kenapa, saya selalu ngakak dibuatnya. Sebuah ijin untuk melaju di JORR dalam 120 km/jam. Dan masih banyak sebuah-sebuah lain.

Dan setengah jam lalu, sebuah pelukan. Pelukan disaat saya menangis kencang. Sampai susah napas. Mama cuma balas peluk dengan erat dan bilang: Mama selalu doakan kamu, Nak. Ah! Setelah itu ikut menangis pula Mama. Jadilah kami sepasang ibu-anak berlomba menangis.

Tapi saya tenang. Pelukan itu lebih rasanya dari pelukan sahabat manapun. Belum lagi bisikan doanya di telinga saya. Dipeluk Mama, obat hampir semua sesak saya.

Tuhan. Sayangi Mama, sejuta kali lipat dari sebagaimana Mama menyayangi aku sejak kecil. Amin.

Seperti Uang Koin

Apa sih seperti uang koin?

Kalau hasil nguping pembicaraan penumpang sebelah, atau dengar komentar teman-teman segeng yang sama sok-tahu-nya dengan saya, istilah 'seperti uang koin' itu diibaratkan sebagai satu hal yang punya dua sisi. Muka dua? Ouch, itu terlalu kejam. Tentu bukan begitu maksudnya. Lebih positif (kerena sesungguhnya tidak baik memenuhi pikiran saya dengan hal-hal non-positif).

Lalu teman saya yang sarjana hukum nyeletuk: kenapa nggak seperti pedang bermata dua? Oh. Tentu tidak semaskulin itu. Pedang berfungsi menebas, membuat luka. Makanya istilah itu digunakan salah satunya dalam lembaga penahanan, karena di satu sisi menebas hak asasi manusia untuk bebas, tapi jika itu diutamakan, maka akan menebas hak asasi manusia lain, yaitu merasa aman dari rongrongan pelaku kejahatan. Yah, cukup kuliahnya.

Maka itu, jelas tidak enak pakai bahasa pedang bermata dua. Uang koin lebih pas. Kenapa uang? Mmm, materialistis? Hahahaha. Bukan. Supaya lebih dramatis saja. Karena ketika terjatuh akan berbenturan dengan lantai dengan ramainya. Cring cring! Menarik perhatian. Semua pasti noleh. Bahkan mungkin beberapa akan mencari dengan matanya. Lumayan 500 perak, bisa untuk beli sebiji gehu (toge tahu alias tahu goreng).

Cukup.

Saya ingin cerita tentang sesuatu, yang sangat 'uang koin'. Dua hal yang ada dalam satu.

Hal pertama.
Saya memanggilnya Jendral. Menurut Wikipedia, jenderal adalah salah satu pangkat ketentaraan, di Indonesia digunakan oleh TNI Angkatan Darat dan dilambangkan dengan empat bintang. Menurut kacamata super-awam saya, jenderal itu galak, tegas, berani dan berdiri tegak. Saya pasti nggak berani menatap matanya. Takut. Wibawanya buat saya ngeri menjawab pertanyaan, takut salah. Karena kalau saya salah, akan ada hukuman. Mungkin push-up. Atau lari 12 putaran lapangan sepak bola? Ah. Dua-duanya bikin ngeri.

Karena pandangan super-awam itulah saya menyebutnya jenderal. Orang yang saya takuti nomor dua setelah ayah saya. Eh. Bahkan dalam kondisi tertentu, saya paling takut sama jenderal. Kalau jenderal sudah bilang 'tidak', merajuk berjuta kali pun tampaknya tak ada pengaruh. Dia akan tetap dengan 'tidak'-nya. Ketika jenderal marah tapi saya malah memilih cemberut daripada push up, jenderal ini tidak akan peduli. Saya nggak paham hatinya terbikin dari apa, keraskah? Atau malah alot? Buat jenderal, ketika bersamanya, maka hukumnya lah yang berlaku. Saya? Letnan Dua. Percuma mendebatnya.

Tapi jenderal ini lucu. Perutnya sudah tidak six packs. Gendut. Terlalu banyak makan bakmi. Atau kwetiauw sapi? Ah, mau sebuncit apa perutnya, dia tetap jenderal. Tak pernah mau menurunkan pangkatnya sedikit di depan saya. Ya sih, mana ada lagi pangkat perwira di bawah Letnan Dua. Kecuali jenderal mau jadi Bintara atau Tamtama lagi.

Jenderal itu gagah! Dia mencarikan makan malam-malam. Sendirian! Saya sih, nggak berani. Jenderal juga bawakan barang yang buat perempuan lumayan berat juga mencarikan taksi. Dia juga bersih, suka beres-beres yang kotor-kotor. Lucunya lagi, jenderal baru tahu kalau eskalator Carefour bisa menahan trolinya supaya tidak meluncur. Kebanyakan perang?

Hal kedua.
Saya memanggilnya Amang. Amang itu ada dua kegunaan, untuk menyapa ayah atau untuk menyapa laki-laki pada umumnya. Saya merasakan keduanya, maka itu saya sebut Amang.

Amang paling keras menegur ketika saya salah, seperti Papa. Walaupun, Amang lebih keras, kadang. Apapun yang ditegurnya dari saya, kalau mau saya pikir-pikir semenit dua menit, bermaksud untuk melindungi saya, seperti naluri laki-laki pada umumnya terhadap perempuan. Amang cuma tidak ingin saya ceroboh, bertindak bodoh apalagi salah. Tidak ingin saya dilihat rendah orang. Yah walau, seperti anak gadis kebanyakan, saya suka keras kepala, tidak percaya Amang, dan berpikir dia hanya kolot saya seperti Papa saya atau posesif saja seperti laki-laki kebanyakan.

Amang adalah bahu ternyaman untuk bersandar, seperti Papa. Saya merasa bisa berpuas-puas menangisi apa saja, mulai dari yang penting sampai hanya soal badai menjelang menstruasi. Dan seperti (mungkin) laki-laki kebanyakan, Amang cuma bisa suruh saya diam. Tapi tidak marah. Atau kadang seperti Papa, menyogok dengan coklat. Oh iya, Amang juga seperti Papa. Kadang suka saya minta 10ribu perak untuk ongkos dan karena dia laki-laki, agak gengsi untuk tidak kasih pastinya. Amang juga bingung kalau di supermarket. Katanya, seharusnya saya yang hapal letak barang-barang karena saya perempuan. Ah, dasar laki-laki.

Amang ingin saya nyaman. Tidak membiarkan saya menutup pagar yang berat. Dan yang paling menyenangkan, menyetujui saya yang malas mandi kalau akhir minggu. Amang seperti salah satu titik cerah ketika sekeliling saya hanya ada hitam. Sungguh seperti laki-laki yang beberapa jauh jarak tahunnya dengan saya. Dia juga senang ajak saya diskusi, tidak ingin saya menjadi tua dan tolol. Ah, pokoknya bawel mirip bapak-bapak ke anak perempuan. Mirip laki-laki yang punya perhatian ke perempuan.

Inilah maksud uang koin saya. Satu orang tapi Amang dan jenderal.

Setelah marah besar, bisa jadi sangat lembut. Setelah tertawa-tawa, bisa jadi sangat galak hanya karena saya salah omong. Ketika mengirim pesan, kadang singkat dan harus segera dilaksanakan, kadang panjang, seperti lama tidak berjumpa dan ingin berbincang banyak. Kadang memberi jam malam, kadang membiarkan saya lari-larian di luar sampai puas.

Sekarang, jenderal sudah selesai bertugas. Amang pun sudah merasa harus melepas saya. Tapi pernah diajar seorang jenderal itu membekas, lho :) dan pernah diperhatikan Amang membuat saya punya standar laki-laki yang baik. You soon will be proud of me.



Sudah tidur, Amang?
Siap, Jenderal! Saya nggak akan begadang-begadang lagi.

Minggu, 24 April 2011

Alat Dengan Dua Mesin

Malam minggu kemarin tiba-tiba saya kepikir:

Bahwa rasa suka itu seperti alat dengan dua mesin. Si A dan si B.

Oke, here is my thought.
Ketika seseorang menyukai orang lain, maka saat itulah satu mesin berjalan, tergopoh-gopoh menenteng alat bernama 'suka' ini. Berat, capek, kadang saking beratnya sampai si mesin ini soak, pengen nangis. Karena dia butuh mesin satu lagi, yang belum juga bekerja. Ini kondisi saat rasa suka masih, istilah dangdutnya, bertepuk sebelah tangan. Tak terbalas lah.

Saat si mesin satunya mulai mau kerja, saat itulah beban menenteng si alat ini menjadi lebih ringan untuk si mesin yang lain. Apalagi ketika keduanya sudah mampu bekerja bersama dengan baik dalam ritme dan kecepatan yang sama yang menghasilkan energi yang sama besar. Wow. Saat itulah alat bergerak dan berfungsi dengan maksimal. Si rasa suka jadi dapat memberikan kontribusi yang nyata. Menimbulkan rasa ingin menjajaki perasaan lebih lanjut, rasa sayang (?). Proses ini, dalam kacamata saya, akan berulang terus. Walaupun kedua mesin bekerja, tapi dengan kecepatan yang berbeda dan energi yang berbeda, maka kondisi awal akan kembali terjadi lagi, sih. Salah satu mesin pasti akan merasa lebih capek dibandingkan dengan mesin lainnya.

Dan ketika mesin satunya, atau keduanya, berhenti bekerja (atau dalam konteks rasa suka terus bertepuk sebelah tangan, mesin tidak kunjung bekerja), si alat ini lama-lama akan rusak dan hilang fungsi. Dibuang deh. Atau recycle. Si mesin yang masih mau aktif, mencari mesin yang baru.

*jangan tanya faktor apa yang membuat mesin bisa bekerja baik, itu subjektif, nona :)
**mohon maaf untuk kedangkalan akal

Pembantu Rumah Tangga

Atau mereka biasa dipanggil dengan sebutan 'mbak', 'mbok', 'bibi' (no offense untuk suku Sunda, hehe) atau ada juga tetangga saya yang memanggil PRT-nya dengan sebutan 'bude' dan 'tanta'. Di rumah saya ada seorang PRT. Mbak Eni namanya. Tapi saya beberapa kali senang memanggilnya dengan sebutan 'nyai'.

Mbak Eni sudah bekerja di rumah saya sejak adik saya yang nomor dua berumur 3 tahun, atau saya sekitar umur 7 tahun. Kemudian dia pindah bekerja di pabrik kain dengan alasan gaji yang lebih besar saat saya berusia 12 tahun, namun kembali bekerja di rumah kami sejak 2004 sampai sekarang. Mbak Eni yang saya kenal ketika kecil jauh berbeda dengan Mbak Eni yang saya kenal pada 2004. Waktu saya kecil dulu, Mbak Eni gemar pakai celana jins pendek sobek-sobek. Lagu Elvi Sukaesih selalu terlantun lantang dan merdu dari bibirnya. Ketika saya sedikit besar, tahun 2004, Mbak Eni sudah pakai kerudung dan nggak nyanyi dangdut keras-keras lagi. Hihi.

Sebagai seorang PRT, Mbak Eni bener-bener super. Dia adalah penjaga saya, literally, karena pernah beberapa tetangga laki-laki yang kurang ajar didamprat habis sama dia. Dia juga guru ngaji Mama saya, karena dulu Mbak Eni pernah sekolah di pesantren dan ngajinya fasih sekali, merdu banget.

Aturan di rumah terhadap dia super jelas: Mbak Eni itu tugasnya bantu, bukan mengerjakan semuanya. Apalagi kalau sudah selesai Magrib, kecuali terdesak, itu sudah jadi haknya Mbak Eni untuk having her her-time. Terpaksa deh, gue cuci piring sendiri. Ahahaha.

Kami sangat dekat dengan Mbak Eni. Dia hapal betul tabiat masing-masing anggota keluarga saya. Kapan saya bad mood, kapan adek-adek saya ngambek, kapan Mama saya PMS, dan kapan Papa saya sensi. Dia hafal dan tahu persis how to handle us.

Malam ini, nggak ada Mbak Eni di rumah. Dia sedang cuti. Cieh. Mau nonton Uje (Ustad Jeffry) di masjid kampungnya di Parung. Tadi saya sempat mampir ke kamarnya untuk mengambil beberapa baju yang disetrikanya (dia memang suka menyetrika di kamar sendiri). Saya lalu terpaku pada sebuah baju. Baju muslim atasan warna hitam. Setelah saya ingat-ingat, Mbak Eni selalu (selalu, lho) pakai baju hitam itu setiap menghadiri acara yang menurutnya penting, seperti perkawinan kerabatnya di kampung. Saya lalu diam sejenak. Mikir.

Bagaimana bisa, setahun kemarin saya sudah menghasilkan uang sendiri, tapi belum pernah sekalipun membelikan dia baju bagus untuk ke pesta? Berapa sih, paling harganya? 175ribu? 250ribu? Astaga.

Saya makin diam. Malu, sih. Malu karena sadar saya begitu pelit. Disaat saya beli baju baru beberapa potong, saya malah nggak ingat sama sekali dengan Mbak Eni yang kamarnya persis di sebelah kamar saya. Padahal setiap hari dia yang urus semua urusan pribadi saya, mencuci baju saya dan merapihkan kamar saya. Pokoknya dia baik banget sama saya. Harusnya saya bisa kasih sesuatu sebagai balasan semua perbuatan baiknya.

Saya harus, paling tidak, sekali membelikannya baju pesta. Supaya dia gaya diantara teman-temannya. Oh iya, buat Ummi juga (ummi adalah mamanya Mbak Eni, waktu kecil saya suka main ke Parung dan ummi menganggap saya cucu sendiri. Manis, deh).

Yah. Wacana mengenai hak PRT memang masih alot dibahas dimana-mana. Pemerintah sih, tampaknya agak sulit diharapkan untuk memberikan naungan yang baik bagi mereka. Sebagai masyarakat yang sekolah cukup tinggi dan punya hati, baiknya memang saya mulai dari rumah. Berempati dan menghargai hak-hak Mbak Eni.

Tuhan. Semoga kuburan saya nggak sempit karena sempat terlalu pelit. Amin.

Jumat, 22 April 2011

Tegaslah, wahai Perempuan!

Perempuan Indonesia tampaknya ditakdirkan untuk plin-plan. Tidak tegas. Dan kalau dipikir, akibat dari ketidak-tegasan ini berbuntut sangat panjang. Berlebihannya, kekerasan dalam rumah tangga adalah salah satunya. Lho? Ya iya. Sekali dipukul, nangis, mengancam akan gugat cerai kalau dipukul sekali lagi. Tapi ketika benar-benar dipukul sekali lagi? Bah. Boro-boro gugat cerai, lapor ke orang tua pun belum tentu berani. Tidak tegas, kan? Plin-plan antara ikhlas dipukul atau nggak ikhlas dipukul. Kurang teguh pendirian.

Contohnya terlalu ekstrim, sih. Well, ada banyak contoh simpel bertebaran dimana-mana. Misal:

P : Apa sih mau kamu? Aneh! Nggak usah deket-deketin aku lagi! Aku pergi!
L : Oke! Pergi sana!

P : ... (melangkah pergi)

Beberapa hari kemudian...

(via SMS)

P : Kamu lg apa? Aku kangen.

L : (tersenyum senang (atau menang?))


[sumpah, bukan pengalaman pribadi Penulis]

Tahu nggak dampak ke-plin-plan-an diatas? Kita diremehkan! Laki-laki pasti mikir, 'alah nanti juga baik sendiri'. Tuh! Walaupun pada kenyataannya emang iya sih, tapi kita kan jadi kurang gereget. Ya nggak?

Itu contoh plin-plan dan sikap tidak tegas yang menyengsarakan diri sendiri. Gimana kalau sikap yang seperti itu menyengsarakan orang lain? Misal, perempuan-perempuan yang tidak bisa tegas menolak. Didekati laki-laki, manut wae. Sampai akhirnya bengong sendiri waktu ditembak. Terima nggak, ya? Lah. Piye toh? Tak pikir situ tresno, soalnya mau ditenteng sana-sini malam minggu pula. Ealah. Tinggal laki-lakinya lemes ketika mendengar jawaban 'tidak' si perempuan. Kasihan. Dan itu bisa jadi bumerang juga. Apalagi kalau si laki-laki mulutnya jelek. Bah. Rusak sudah nama baik.

Tapi mungkin inilah warisan. Sifat yang diwarisi. Coba deh lihat Dayang Sumbi dan Roro Jonggrang.

Sifat plin-plan dan tidak tegas Roro Jonggrang menyusahkan dirinya sendiri pada akhirnya. Iyalah. Siapa yang mau hidup berakhir jadi patung? Cukup Malin Kundang lah (eh itu jadi batu, ya?). Sedangkan ketidaktegasan Dayang Sumbi menyebabkan Sangkuriang sakit hati, bahkan konon sampai menghancurkan bendungan dan membanjiri kota. Banyak betul manusia yang harus ikut sengsara.

Marilah perempuan, kita think back. Jangan sampai jadi Roro Jonggrang selanjutnya atau ada Sangkuriang dan manusia kebanjiran lainnya, cuma gara-gara plin plan dan tidak tegas antara bilang 'iya' atau 'tidak'.

Mohon maaf untuk kedangkalan pikiran :)

Cium jauh,

prittakartika

Not A Bieber's Fan

LnA racerback tank top
$74 - boutique1.com

Balmain skinny leg jeans
$2,010 - barneys.com

Pumps
zappos.com

Wendy Nichol leather handbag
$575 - lagarconne.com

Black strap watch
110 GBP - coggles.com

Luna bracelet
nelly.com

Necklace
patinastores.com

Vintage fedora
99 EUR - jades24.com

Oversized sunglass
$40 - shopnastygal.com

Ornate Rose Frame
$18 - urbanoutfitters.com

Suspender

Cotton tank
6.99 GBP - hm.com

Pants
100 EUR - webstore.scotch-soda.com

TOMS flat heel shoes
$54 - nordstrom.com

Raffia handbag
$1,695 - matthewwilliamson.com

Anya Hindmarch party handbag
$395 - editnewyork.com

Face jewelry
50 GBP - coggles.com

TopShop neon jewelry
$28 - topshop.com

Mesh jewelry
fantasyjewelrybox.com

Luna bracelet
nelly.com

Summer shawl
$475 - matthewwilliamson.com

Oranje!

TopShop long sleeve top
$70 - topshop.com

Carven pleated short
$425 - net-a-porter.com

TopShop wedge high heels
$140 - topshop.com

Marc Jacobs brown leather handbag
850 GBP - matchesfashion.com

Bracelet
$220 - thecorner.com

Bracelet
6.99 GBP - hm.com

Feather earring
4 GBP - peacocks.co.uk

Tom Ford sport sunglass
256 GBP - my-wardrobe.com

Fnubbu knitted scarve
$120 - youheshe.com

Boss Orange Sunset (50ml)
38 GBP - harrods.com

Kamis, 21 April 2011

Surat Untuk Perempuan-Perempuan Terdahulu Indonesia

Teruntuk perempuan-perempuan terdahulu di tanah Indonesia,

Mulai dari Sabang sampai Merauke,
Timor sampai ke Talaud,
Mulai dari masa Kutai Kertanegara sampai untaian pulau ini disebut Indonesia

Pertama-tama, aku ingin menghaturkan kekagumanku,

Pasti sulit bergerak gesit dengan batasan-batasan yang mengekang bagai kain bawahan mengekang kaki, tapi itu sama sekali bukan alasanmu untuk berhenti. Kau terus berpikir sambil menimba, menjerang air panas, memandikan selusin anak-anak, bagaimana supaya dapat hidup lebih baik, makan lebih baik dan mati dalam keadaan baik.

Pasti sangat iri rasanya tidak boleh pergi sekolah hanya karena kalian perempuan. Padahal mungkin kebanyakan laki-laki yang pergi sekolah itu cuma manusia dungu yang hanya mampu menghisap cerutu kiriman Sekutu. Padahal kalian juga mampu dengan mudah menjelaskan bagaimana sistem kerja katrol yang dipakai menimba air! Bagaimana jeruk nipis menyembuhkan penyakit batuk! Tapi hidup tetap sebatas tembok pekarangan rumah.

Pasti berat bagimu merasakan tidak bisa berbuat dan berkata apa-apa padahal isi kepalamu mempunyai agenda untuk mengadidayakan tanah airmu. Tidak tahukah laki-laki bahwa bukan hanya mereka yang punya gagasan sosialisme, kemanusiaan dan kesejahteraan? Bahkan isi kepalamu ditambah dengan gagasan persamaan hak laki-laki dan perempuan, sesuatu yang juga mulia.

Mengapakah aku tidak diberi kesempatan yang sama? ucapmu. Namun hanya dalam hati. Mungkin sedikit tersampaikan oleh Kartini, Dewi Sartika atau Nyi Ageng Serang.

Tak cukupkah pembuktian diriku untuk dipandang sama? ucapmu. Setelah apa yang pernah dilakukan Laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cristina Martatiahahu.

Apakah di benakmu kemudian? Kekuatan apa yang membuatmu terus berkata 'perjuangan belum berakhir'? Padahal sekitarmu tiada henti menggerusmu dengan teori kelaki-lakian. Sungguh tidak akan ada kekuatan sebesar itu. Akupun mungkin tak mampu.

Kedua, aku ingin meminta sudimu untuk memaafkanku.

Aku tidak lagi sulit bergerak, sudah banyak diciptakan celana dari berbagai bahan untuk perempuan begitupun dengan kesempatan, tapi aku malah menyulitkan diriku untuk bergerak, mengkang diriku dengan pikiran-pikiran yang tak sampai seujung kukumu. Aku tidak menimba lagi, tidak menjerang air lagi, dan tidak memandikan selusin anak-anak, tapi aku kadang berhenti berpikir.

Aku pun sudah boleh sekolah. Sampai setinggi apapun, strata 4 kalau ada. Berjuta beasiswa untuk perempuan diberikan. Aku didorong untuk sekolah. Tapi aku berhenti di strata 1. Bahkan lebih parah, aku berhenti membaca, aku berhenti menjawab pertanyaan-pertanyaan bahkan tentang kaumku sendiri. Aku kesampingkan itu, tergoda televisi dan promo diskon mal.

Aku sudah boleh berbicara tentang apapun untuk Indonesia. Melalui media apapun. Laki-laki tidak lagi superior di bidang ini. Tapi aku memilih diam, menghindari topik yang seperti tanpa jalan keluar ini. Aku lebih suka membahas lain yang tidak ada hubungannya dengan negara ini. Mendurhakai Ibu Pertiwi.

Apa baktiku sebagai perempuan berbangsa?

Ampuni aku.

Aku seharusnya mampu bergerak dan berpikir lebih gesit tanpa kain, tanpa anak selusin, tanpa kesulitan jerang air dengan kayu bakar. Aku seharusnya mampu menjadi lebih pintar dengan wawasan seluas dunia, tidak terbatas kasur, dapur dan tembok pekarangan rumah. Aku seharusnya bisa lebih lantang berteriak tanpa dilirik sinis sebagai gender tak pantas berpendapat.

Beri aku satu tahun lagi.

Dua puluh satu April tahun depan, akan aku tunjukkan, aku punya kontribusi sebagai perempuan berbangsa.

Sayang dan hormatku selalu,

prittakartika

Selamat Hari Kartini

Kalau diingat-ingat, biasanya Hari Kartini saya rayakan dengan pawai pakai baju-baju tema tertentu, waktu di sekolah. Seiring dengan menuanya umur, dan saya sudah tidak SD lagi, maka makin lama makin hilanglah kebiasaan merayakan Hari Kartini.

Seingat saya lagi, terakhir saya merayakan Hari Kartini secara simbolis, adalah pada saat kuliah, entah tahun berapa. Saat itu saya merayakannya dengan cara waktu SD dulu, memakai pakaian bertema kebaya. Tanpa tahu pasti, apa betul Kartini dulu hanya memakai kebaya? (Mungkin, sih, mengingat ada kebaya dengan model Kartini)

Sekarang, tidak ada yang terlalu spesial. Kecuali saya kembali harus ingat bahwa masih banyak pertanyaan-pertanyaan mengenai perempuan, baik dari segi agama maupun sudut lain, yang belum berhasil saya temukan jawabannya. Dan setiap tanggal 21 April atau menjelang tanggal itu, saya selalu diingatkan. Mudah-mudahan tahun ini pertanyaan-pertanyaan itu tidak akan terlupakan begitu saja. Amin.

Dan ada satu hal yang sangat saya ingat berkenaan dengan Hari Kartini ini. Sesuatu yang saya dapatkan setahun lalu, dan membekas dalam hati saya namun jejaknya hilang bersama ponsel lama saya yang pergi entah kemana. Seingat saya, baru itu saya memperoleh ucapan di Hari Kartini dengan begitu resmi, beserta ucapan doa pula.

Katanya:

'Selamat Hari Kartini, Kartika. Semoga besar jugalah cita-citamu bagi Indonesia.'

Seingat saya juga, saat itu saya duduk di dalam bis Lingkar Mega Kuningan. Dan saya tersenyum lama. Bukan senyum tersanjung, tapi senyum semangat. Dia melihat saya sebagai bagian dari kelompok besar yang disebut Indonesia. Berbeda, jika dibandingkan ucapan lain, yang hanya melihat saya dari perspektif 'menjadi perempuan seharusnya (baca: kebanyakan)'.

PS:
Kalau kamu juga baca ini, maaf ya, kalau kata-kata ucapannya ada yang salah. It has been a year. Mohon dimaklumi :)

Rabu, 20 April 2011

When Life Gives You Lemon...

Lemon oh Lemon

Kemarin saya merasa hidup saya lumayan kecut, kaya lemon. Atau bahasa Indonesianya jeruk nipis kali, ya? Yah, begitulah. Lalu, seperti kebanyakan orang yang sendirian di rumah, saya menghibur diri dengan me-tweet (apa sih yang betul kalau mau menggunakan imbuhan me- pada kata tweet?). Dan ternyata ada dua teman baik yang bantuin saya menghibur diri. Mereka lah Rere dan Anna. Nggak banyak, tapi saya sukses ketawa-ketawa beberapa menit. Here are the tweets:

Pritta Kartika
When life gives you lemon, masukkan ayam cuci bersih, ketumbar dan garam. Rendam selama 45 menit.

anna ztania
@ when life gives you lemon, peresin di atas Indomie soto ayam+telor.

Miarty Ayu Septriana
@ @ when life gives u lemon, peras airnya campur madu, oleskn pd wajah. Tunggu 15mnt, bilas dg air hangat.

Pritta Kartika
When life gives you lemon, peres di air cucian piring. Perawan gak boleh lupa cuci piring. CC: @ @

Miarty Ayu Septriana
@ @ when life gives u lemon, peras airny d bnda berkarat,ksi bakingsoda.Istri yg baik msti pnter ngirit, br**so mhal :P

anna ztania
@ @ when life gives you lemon, rip of zumizola's skin...and put the lemon juice in it.

Pritta Kartika
@ @ when life gives you lemon, don't add it to any alcoholic drink. Haram kata Pak Haji Rhoma!

Yah. Begitulah. Kadang hidup emang suka bikin kita mengernyitkan dahi saking kecutnya, bahkan membuat perut diare. Tapi, selalu ada sisi lucu dari sebuah kekecutan atau keaseman atau bahkan diare. Ingat-ingat deh. Kalau diare betapa kita buru-buru lari ke kamar mandi saking nggak mau 'itu' keluar di luar kamar mandi. Diam sejenak dan pikir, itu lucu! Apalagi kalau kalian sudah 24 tahun. Terlalu tua untuk cepirit.

Well, enjoy our lemons!