Tiny small thing.
Ingat nggak sih hal-hal sepele apa saja yang seharusnya nggak kita lakukan, tapi kita lakukan, bahkan mungkin, mm, terlalu sering? Beberapa menit lalu, tiba-tiba saya teringat hal-hal kecil apa saja yang sebetulnya tidak perlu saya lakukan, atau bahkan tidak boleh saya lakukan karena dibalik hal kecil itu ada sebuah kesalahan yang sebenarnya tidak bisa dimaafkan. Atau, berlebihannya, menyalahi norma yang berlaku?
Well, banyak sih, sebenarnya. Tapi pagi ini saya diingatkan oleh satu perbuatan kecil, yang kerap saya lakukan waktu masih kerja dulu. Mama saya yang membuat saya ingat. Kurang lebih, begini dialognya:
Saya : Mam, kertas HVS ukuran polio abis, ya?
Mama : Lho, bukannya kita emang nggak punya?
Saya : Oh, gitu. Nanti bawain ya mam dari kantor.
Mama : Ih, amit-amit. Beli sendiri lah, berapa sih harganya?
Saya : *dang!*
Perhatikan dialog baik-baik.
Saat mengucapkan 'oh, gitu. Nanti bawain ya mam dari kantor', saya nggak berpikir apa-apa. Kenapa? Karena sepele menurut saya. Cuma beberapa lembar HVS ukuran polio, apalah arti? Apa beberapa lembar kertas yang tidak sampai 100 gram beratnya itu membuat saya menjadi pantas menerima jawaban: 'ih, amit-amit. Beli sendiri lah, berapa sih harganya?' dari mama saya? Beberapa detik saya merasa mama saya PMS. Reseh. Tapi kemudian saya teringat beberapa kejadian di masa lalu. Kejadian yang mirip.
Waktu itu soal e-toll card. Sebelum saya berangkat, mama saya habis mewanti-wanti saya supaya jangan pakai e-toll card untuk bayar tol. Kenapa? Kata saya. Mama saya bilang, itu untuk bayar tol kalau ke kantor karena itu ditop-up sama kantor. Dan kalimat yang sama persis pun keluar, 'lagian berapa sih, bayar tol?'. Ishh. Lumayan terhina saya waktu itu.
Jadi, hal kecil yang akan saya bahas disini adalah hal kecil yang saya maksud diatas, mengingat terlalu banyak hal kecil penuh dosa yang mungkin saya lakukan.
Waktu kerja dulu, buat saya 'ngambil' alat tulis kantor untuk keperluan sendiri, adek saya misalnya, bukan masalah besar. Kenapa? Aji mumpung. Apalagi ngambil kertas. Saya pun pernah telepon untuk urusan pribadi menggunakan telepon kantor. Bahkan, pakai voucher taksi untuk tujuan yang bukan pekerjaan dan bukan pulang ke rumah. Semua itu saya anggap sepele. Karena menurut saya, apalah arti semuanya buat tempat saya bekerja. Tapi, tampaknya saya lupa satu hal bahwa 'alah bisa karena biasa'. Saya menjadikan habit itu hal yang biasa, prilaku yang sangat tolerable.
Padahal, tanpa sadar saya telah, mungkin, memenuhi unsur pencurian atau penggelapan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mengambil barang yang bukan milik sendiri seluruhnya atau sebagian. Atau mengambil barang yang bukan milik saya, yang berada dalam kekuasaan saya, karena pekerjaan saya. Aih. Malu. Padahal saya sarjana hukum. Tapi tidak cukup menginsyafi perbuatan yang mungkin merugikan orang lain.
Itu dari sisi pikiran saya yang kangen bahas soal hukum (oh, mootcourt I miss you so much). Mari tinjau dari norma agama yang saya imani, Islam. Tuhan saya berjanji dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 bahwa barangsiapa melakukan kebaikan sebesar biji zarah pun niscaya akan mendapatkan balasan dan barangsiapa melakukan kejahatan sebesar biji zarah niscaya akan mendapat balasan pula (biji zarah is something sooo tiny). Ngeri, kan? Padahal jelas kita nggak boleh ambil barang yang bukan hak kita. Bayangkan, beberapa lembar kertas HVS ukuran polio bisa membuat Malaikat Pencatat Amal Buruk harus pegal menulis.
Dari sisi norma kesopanan dan kesusilaan? Jelas perbuatan begini masuk kategori tidak jujur. Dan ketidakjujuran menurut saya bisa jadi pangkal dari hampir semua perbuatan jelek. Kecuali dalam kontrak kerja disebutkan kita berhak atas semua harta kekayaan di dalam kantor untuk digunakan buat kepentingan pribadi, ya. Selain itu, mungkin profesionalitas kali ya? Sebagai manusia yang grown up, saya sudah seharusnya memisahkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan, termasuk hanya menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pekerjaan. Lagian, kan nggak enak kalau sampai diomongin orang hanya karena ngambil-ngambil barang pritilan di kantor. Facebook-an aja udah suka diomongin, apalagi nyomot-nyomot. Hehehe. Malu lah sama sepatu Everbest yang kita pakai.
Berarti, kalau dapat fasilitas kantor, make sure hak kita apa saja terhadap si fasilitas dan do not get any further beyond that. Susah, ya? Yah. Marilah mulai dengan tidak mencomoti kertas dan alat tulis di kantor untuk keperluan sendiri :)
Well, banyak sih, sebenarnya. Tapi pagi ini saya diingatkan oleh satu perbuatan kecil, yang kerap saya lakukan waktu masih kerja dulu. Mama saya yang membuat saya ingat. Kurang lebih, begini dialognya:
Saya : Mam, kertas HVS ukuran polio abis, ya?
Mama : Lho, bukannya kita emang nggak punya?
Saya : Oh, gitu. Nanti bawain ya mam dari kantor.
Mama : Ih, amit-amit. Beli sendiri lah, berapa sih harganya?
Saya : *dang!*
Perhatikan dialog baik-baik.
Saat mengucapkan 'oh, gitu. Nanti bawain ya mam dari kantor', saya nggak berpikir apa-apa. Kenapa? Karena sepele menurut saya. Cuma beberapa lembar HVS ukuran polio, apalah arti? Apa beberapa lembar kertas yang tidak sampai 100 gram beratnya itu membuat saya menjadi pantas menerima jawaban: 'ih, amit-amit. Beli sendiri lah, berapa sih harganya?' dari mama saya? Beberapa detik saya merasa mama saya PMS. Reseh. Tapi kemudian saya teringat beberapa kejadian di masa lalu. Kejadian yang mirip.
Waktu itu soal e-toll card. Sebelum saya berangkat, mama saya habis mewanti-wanti saya supaya jangan pakai e-toll card untuk bayar tol. Kenapa? Kata saya. Mama saya bilang, itu untuk bayar tol kalau ke kantor karena itu ditop-up sama kantor. Dan kalimat yang sama persis pun keluar, 'lagian berapa sih, bayar tol?'. Ishh. Lumayan terhina saya waktu itu.
Jadi, hal kecil yang akan saya bahas disini adalah hal kecil yang saya maksud diatas, mengingat terlalu banyak hal kecil penuh dosa yang mungkin saya lakukan.
Waktu kerja dulu, buat saya 'ngambil' alat tulis kantor untuk keperluan sendiri, adek saya misalnya, bukan masalah besar. Kenapa? Aji mumpung. Apalagi ngambil kertas. Saya pun pernah telepon untuk urusan pribadi menggunakan telepon kantor. Bahkan, pakai voucher taksi untuk tujuan yang bukan pekerjaan dan bukan pulang ke rumah. Semua itu saya anggap sepele. Karena menurut saya, apalah arti semuanya buat tempat saya bekerja. Tapi, tampaknya saya lupa satu hal bahwa 'alah bisa karena biasa'. Saya menjadikan habit itu hal yang biasa, prilaku yang sangat tolerable.
Padahal, tanpa sadar saya telah, mungkin, memenuhi unsur pencurian atau penggelapan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Mengambil barang yang bukan milik sendiri seluruhnya atau sebagian. Atau mengambil barang yang bukan milik saya, yang berada dalam kekuasaan saya, karena pekerjaan saya. Aih. Malu. Padahal saya sarjana hukum. Tapi tidak cukup menginsyafi perbuatan yang mungkin merugikan orang lain.
Itu dari sisi pikiran saya yang kangen bahas soal hukum (oh, mootcourt I miss you so much). Mari tinjau dari norma agama yang saya imani, Islam. Tuhan saya berjanji dalam Surat Al Zalzalah ayat 7-8 bahwa barangsiapa melakukan kebaikan sebesar biji zarah pun niscaya akan mendapatkan balasan dan barangsiapa melakukan kejahatan sebesar biji zarah niscaya akan mendapat balasan pula (biji zarah is something sooo tiny). Ngeri, kan? Padahal jelas kita nggak boleh ambil barang yang bukan hak kita. Bayangkan, beberapa lembar kertas HVS ukuran polio bisa membuat Malaikat Pencatat Amal Buruk harus pegal menulis.
Dari sisi norma kesopanan dan kesusilaan? Jelas perbuatan begini masuk kategori tidak jujur. Dan ketidakjujuran menurut saya bisa jadi pangkal dari hampir semua perbuatan jelek. Kecuali dalam kontrak kerja disebutkan kita berhak atas semua harta kekayaan di dalam kantor untuk digunakan buat kepentingan pribadi, ya. Selain itu, mungkin profesionalitas kali ya? Sebagai manusia yang grown up, saya sudah seharusnya memisahkan urusan pribadi dengan urusan pekerjaan, termasuk hanya menggunakan fasilitas kantor untuk urusan pekerjaan. Lagian, kan nggak enak kalau sampai diomongin orang hanya karena ngambil-ngambil barang pritilan di kantor. Facebook-an aja udah suka diomongin, apalagi nyomot-nyomot. Hehehe. Malu lah sama sepatu Everbest yang kita pakai.
Berarti, kalau dapat fasilitas kantor, make sure hak kita apa saja terhadap si fasilitas dan do not get any further beyond that. Susah, ya? Yah. Marilah mulai dengan tidak mencomoti kertas dan alat tulis di kantor untuk keperluan sendiri :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar