Saya belum pernah merasa menjadi seorang feminis atau penentang feminis. Saya di tengah-tengah, deh, sebagaimana standar orang Indonesia kebanyakan. Maka, pembicaraan wanita-sentris kali ini, mohon jangan ditelan bulat-bulat. Saya takut kalian keselek dan sulit bernapas.
Saya, 24 tahun, perempuan, hidup di negara dunia ketiga a.k.a negara berkembang di kawasan Asia Tenggara. Kenapa negara dunia ketiga? Konon katanya karena negara-negara ini lahir paska atau pada masa Perang Dunia II dimana sebagian negara dalam golongan ini berada di wilayah Asia dan Afrika.
Secara awam, dari kacamata saya yang super ndeso dan terlalu banyak terkontaminasi oleh globalisasi-konsumtif, menjadi perempuan di negara berkembang itu dilematis. Sungguh sangat dilematis. Kami dihadapkan dalam dua kenyataan menohok: adat istiadat/kebiasaan/nilai dalam masyarakat dan tuntutan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Secara general, kondisi negara berkembang didominasi oleh masyarakat yang masih memegang teguh nilai adat istiadat dan agama atau sesuatu yang disebut budaya ketimuran. Secara general pula, kebanyakan masyarakat di negara berkembang hidup di bawah garis kemiskinan, sebagian besar lain di garis pas-pasan dan sebagian kecil di jauh diatas garis pas-pasan. Percaya deh, walaupun Senayan City berdiri megah, bukan berarti 2 KM dari tempat itu sudah bersih dari anak SD yang sekolah bertelanjang kaki saking mahalnya sepatu. Perbandingannya bisa 1:100.000 Satu orang mampu membeli sepatu Rockport dan seratus ribu lainnya tidak bisa beli sepatu. Kondisi ini menyebabkan, perumpamaan membanting tulang di negara berkembang terdengar tidak berlebihan. Karena ya memang seperti itulah upaya masing-masing manusianya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, di masa biaya sekolah dan kesehatan belum kunjung murah atau gratis sekalian.
Disinilah kaum perempuan menemui dilemanya. Tidak bekerja, khawatir uang kurang untuk hidup. Sedangkan bekerja, banyak masalah, paling menyakitkan kalau dibilang perempuan yang nggak tahu kodrat. Kalau mau hidup hepi, mau nggak mau harus cari laki-laki mapan, eh, di peer group malah digosipin materialistis. Hah! Belum lagi mindset pria negara berkembang. Masih nggak mau kalah dari perempuan. Buat pria yang mungkin baca, CMIIW, setahu saya, kebanyakan pria merasa insecure dengan perempuan yang mapan. Apalagi dengan jabatan dan gaji lebih tinggi. Apesnya perempuan tipe ini, yah, terpaksa cari yang lebih tua yang paling mungkin menjamin jabatan dan penghasilannya bisa sama atau lebih tinggi.
Kalau mau di breakdown, perempuan negara berkembang punya beberapa pilihan dengan konsekuensi tertentu:
(1) Berkarir dengan super giat untuk sampai pada tahap pencapaian kesejahteraan tertinggi. Keuntungannya adalah super-mapan dengan koleksi pakaian dan sepatu menawan. Konsekuensinya, pria bisa merasa ngeri sampai minder. Aish. Berhubungan sama pria minder itu paling menyebalkan sedunia.
(2) Berkarir biasa saja. Pekerjaan tidak terlalu banyak. Waktu 9-5. Pendapatan biasa namun cukup. Tapi entah ya cukup untuk cicilan rumah dan mobil atau nggak. Keuntungannya, pergaulan cukup luas untuk menjaring pria-pria yang mungkin jodoh tanpa perlu khawatir mereka minder atau ngeri. Kerugian? Selamat ngiler ketika melewati etalase Debenhams.
(3) Usaha sendiri. Ini paling mungkin. Dari segi waktu, sangat fleksibel. Bisa kita atur mau jadi perempuan gila kerja atau santai. Penghasilan pun bisa diatur sedemikian rupa. Cuma kalau terlalu sukses, konsekuensi di poin pertama sangat mungkin terjadi. Nah. Konsekuensi paling mungkin lain dari poin ini adalah perempuan kudu pintar-pintar memilih tempat pergaulan kalau nggak mau jadi katak dalam tempurung. Pilihan jodoh juga bisa menyempit. Duh!
Opsi lain: cari yang memang sudah mapan. Tapi paling malas sih harus dengar komentar orang kalau kita materialistis. Atau komentar soal bagaimana-kita-nggak-setia-sejak-masa-susah yang konon bisa bikin suami tega selingkuh di kemudian hari. Sigh. (Inilah apes lain perempuan negara berkembang, pola pikir mau maju tapi pikiran masih suka jelek).
Marilah. Berserah pada Tuhan. Sebaik-baiknya penolong. Amin.
bener banget!
BalasHapusdulu disuruh sekolah tinggi-tinggi biar dapet kerja yang bagus, gajinya gede, hidup mapan.
udah lulus, dapet kerja yang bagus, dibilangin jangan "kerajinan" kerja nanti jauh jodoh (atau = poin (1) tulisan di atas).
dilematis.
bener! tau gitu, instead of kursus bahasa Inggris bertahun-tahun, mending les jahit, bikin kue, payet, hahaha
BalasHapus