Jumat, 18 Desember 2015

I Stand for Ojek (Online and Old-School)

Oke, this post will be a little bit serious. And long.

Hari ini berita, baik online maupun tidak, dan media social ramai membicarakan soal dilarangnya Gojek, Uber Taxi, Grabike dan sejenisnya oleh Kemenhub untuk beroperasi karena dinilai tidak memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai angkutan umum orang. Saya, tentunya, sewot. Kenapa?

Kenapa Saya Memilik Ojek Online
Saya pengguna Gojek rutin, kalau kata “setia” terlalu lebay. Setiap weekdays, saya pakai Gojek dari Stasiun Kebayoran sampai kantor di area SCBD. Di awal ini, saya mau cerita dulu kenapa akhirnya saya memilih memakai jasa Gojek. Saya seorang komuter karena tinggal di daerah Tangerang Selatan tapi bekerja di kawasan Sudirman, Jakarta Selatan. Dalam seminggu, lima hari saya travelling Tangsel-Jaksel, yang jarak normalnya sekitar 22 km. Untuk transportasi PP rumah-kantor, saya memilih menggunakan commuter line/KRL dari Stasiun Sudimara. Menggunakan kendaraan pribadi atau umum selain KRL dari rumah bagi saya tidak masuk akal. Jalanan macet, terutama di sepanjang jalan dari Pasar Ciputat sampai perempatan Lebak Bulus, tol non-JORR Bintaro pun sama. Saya harus berangkat jam setengah 6 kalau mau sampai jam 7 lewat sedikit atau setengah 8 di kantor. Wasting time. Dengan KRL, saya berangkat dari rumah jam 6.15, naik KRL jam 6.30. Jam 06.50 saya sudah sampai di Stasiun Kebayoran dan dengan Gojek, jam 7.15 saya sudah duduk manis di kantor. Satu jam saja waktu yang dibutuhkan. Gojek menawarkan saya biaya perjalanan Rp15.000. Ojek konvensional? Rp30.000. Dua kali lipatnya.

Sebetulnya saya bisa saja terus naik KRL sampai Stasiun Tanah Abang, transit dan berganti KRL Bogor dan turun lagi di Stasiun Sudirman, kemudian naik Kopaja 19 jurusan Blok M, turun di halte Polda dan melanjutkan jalan kaki ke kantor. Sampai kantor jam berapa? 7.45. Lama dan capek. Belum lagi Kopaja yang supirnya menyetir ugal-ugalan, kondisi kendaraan yang jelek dan ancaman copet. Oh, ditambah lagi rekayasa halte yang aneh di Stasiun Sudirman. Seringkali polisi dan Dishub galau. Kadang kita boleh nunggu bis tepat di depan stasiun tapi sering juga diusir sampai depan Wisma Indocement. Sesuka mereka aja. Padahal menurut saya, lebih efektif halte tepat di depan Stasiun Sudirman, jalanan lebih lebar dan calon penumpang dan angkutan umum gak akan berhamburan di jalan dan mengganggu arus lalu lintas dari Jl. Jend. Sudirman menuju Landmark. Gimana dengan naik taksi dari Stasiun Sudirman? Wew, selain lebih mahal, nyampe kantor juga sama lamanya. Gak efektif. Jadi, turun di Stasiun Kebayoran dan menggunakan jasa ojek online adalah pilihan terbaik yang saya punya, dengan kemampuan ekonomi saya dan kebutuhan saya untuk sampai kantor lebih pagi.

Untuk layanan Uber Taxi, saya agak jarang menggunakannya, tapi bisa saya simpulkan memang layanan ini jauh lebih ekonomis dibanding taksi biasa dan armada yang memiliki kapasitas angkut lebih besar menjadikan Uber Taxi pilihan enak untuk bepergian ramai-ramai. Apalagi pembayaran cashless, sepanjang masih ada sisa limit kartu kredit, bisa pakai Uber Taxi.

Ojek Online v. Ojek Konvensional
Selama 3 bulan rutin menggunakan jasa Gojek, saya hanya sekali mendapatkan pengemudi yang rese. Saya komplain via kolom rating dan comment yang disediakan dan setelahnya saya sama sekali tidak pernah menemukan pengemudi yang rese lagi. Sejauh ini perjalan saya juga berlangsung sangat aman dengan cara berkendara dan kelengkapan kendaraan yang sesuai dengan peraturan. Berbeda dengan ojek konvensional. Saya beberapa kali harus menggunakan jasa ojek konvensional hanya karena masalah kepraktisan, yaitu ketika pulang kerja, sampai di Stasiun Sudimara dan akan menuju ke rumah. Ojek konvensional sudah berjejer rapi di depan stasiun, tinggal tunjuk dan jalan. Tidak perlu buka aplikasi. Sungguh, hanya itu kelebihannya. Ojek konvensional, selain sering menembak harga seenak jidat, seringkali tidak memiliki kelengkapan kendaraan yang seharusnya. Tidak jarang saya mendapatkan tukang ojek yang ternyata nggak punya kaca spion, suara knalpot yang berisik atau posisi jok yang dimodifikasi sehingga sangat tidak nyaman untuk diduduki. Pengemudinya juga sering ugal-ugalan, kadang anak-anak muda yang mungkin uangnya hanya buat mabok-mabokan atau minimal beli rokok. Dan tidak ada fasilitas helm. Boro-boro, kadang pengemudinya pun tidak pakai helm. Sungguh meresahkan dan tidak nyaman.

Salah saya, kalau saya memilih ojek online? Saya konsumen dan punyak hak-hak yang dilindungi undang-undang. Saya bebas memilih produk barang dan jasa yang saya butuhkan dan sukai.

About the Law
Kebetulan saya pernah sekolah hukum. Dan karena Kementerian Perhubungan mengungkit soal “tidak sesuai dengan peraturan” maka saya mencoba melihat ke peraturan perundang-undangan mengenai angkutan umum, lebih spesifik mengenai kemungkinan adanya celah dalam peraturan untuk modifikasi bisnis angkutan umum menjadi berbasis daring/online.

Dalam UU LAJ No. 22/2009 dan PP Angkutan Jalan No. 74/2014, mobil dapat menjadi angkutan umum non trayek (kalau trayek contohnya Kopaja 19 dengan trayek Blok M-Tanah Abang, di luar trayek tsb dilarang mengangkut penumpang) dengan beberapa pilihan yaitu sebagai taksi, angkutan dengan tujuan tertentu, keperluan pariwisata dan angkutan untuk kawasan tertentu (misal di kawasan industri atau bandara). Yap, UU dan PP spesifik menyebutkan “taksi” sebagai satu-satunya angkutan umum non trayek yang fleksibel (yang lain kan dibatasi fungsi, wilayah dan tujuan). Taksi boleh seliweran kemana-mana, sepertinya batasannya hanya jarak karena saya pernah naik taksi dari Karawaci ke Cilegon (kawasan plat B ke kawasan plat A). Dan taksi beroda empat (lihat Pasal 42 (3) PP 74/2014, disitu taksi dikatakan meliputi mobil sedan dengan 3 ruang dan non sedan dengan 2 ruang). Tidak ada ruang untuk kendaraan bermotor roda dua sebagai angkutan umum non trayek di Indonesia. Namun, bagi Uber Taxi, masih ada celah. Apalagi Uber mengklaim dirinya sebagai perantara/broker antara pemilik kendaraan dengan calon konsumen.

Angkutan Umum Roda 4 Non Taksi?
Saya mau bahas Uber dulu, yang rodanya empat. Hehehe. Sebelumnya, saya kasih tau definisi Kendaraan Bermotor Umum. Dalam PP 74/2014 Pasal 1 (5), definisi Kendaraan Bermotor Umum adalah kendaraan bermotor yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Please emphasize on last phrase: “dipungut bayaran”.

Uber, hanya menerima pemilik kendaraan roda empat untuk dipasarkan via aplikasinya ke calon konsumen jasa. Uber sama sekali bukan taksi karena tidak pakai argo dan tentunya tidak punya izin taksi. Dalam rantai hubungan produsen dan konsumen, Uber adalah broker. Dia membuat aplikasi, membuka pendaftaran bagi produsen jasa angkut mobil untuk dipasarkan ke calon konsumen jasa. Persis pasar dalam arti sebenarnya. Bayangkan Uber adalah Pasar Modern BSD, para pemilik kendaraan adalah tenant dan calon konsumen masuk ke pasar untuk milih akan belanja ke tenant yang mana. Dengan kegiatan seperti ini, Uber jelas tidak butuh izin sebagai penyelenggara angkutan umum orang. Kalaupun ada pihak yang memerlukan izin penyelenggaran angkutan umum orang, maka pihak itu adalah si pemilik mobil. Apa salahnya Uber? Secara filosofis, bisnisnya dia biasa aja. Cuma beda media dan barang yang dijual. Sama aja kayak Bukalapak.com. Pasar juga. Kaskus? Sama. Mungkin Uber mirip banget sama FJB Kaskus dengan rekber (Rekening Bersama). Beda barang jualan.

Uber mungkin bakal kesandung masalah harga. Uber mempunyai harga standar, yang ditawarkan sama kepada seluruh calon konsumen walaupun pemilik mobilnya beda. Kesepakatan harga mungkin dibuat oleh Uber agar tidak perlu rempong bikin harga beda-beda antara pemilik kendaraan satu dengan yang lain. Ini bisa jadi problem karena secara umum, sebuah “pasar” tidak menentukan harga yang boleh ditawarkan penjual/tenant ke calon pembeli. Si pengelola pasar hanya berhak atas uang sewa (dalam hal Uber, fee). Untuk harga seharusnya murni kesepakatan antara pemilik kendaraan dan calon konsumen.

Tapi tetep, saya maunya fair. Kalau memang Uber dipersalahkan karena menggunakan mobil yang bukan merupakan angkutan umum orang, gimana dengan “omprengan” yang kerap mengangkut pekerja dari daerah Bodetabek ke pusat Jakarta? Omprengan ini biasanya untuk rute-rute Cibubur, Bekasi Timur, Bogor. Banyak lho, teman-teman saya yang pakai jasa omprengan ini. Kalau dibandingkan dengan mobil-mobil yang ditawarkan via Uber, mereka sama: sama-sama bukan taksi, bukan mobil pariwisata tapi ngangkut orang dan memungut bayaran. Platnya juga nggak kuning. Dan biasanya dioperasikan orang perorang. Kalau mau  bicara menegakkan aturan, omprengan gini juga seharusnya kena. Yakan?

Oh, apa Kemenhub udah tahu soal Nebengers.com? Bisa makin ruwet mereka. Di Nebengers, ditawarkan mobil dan motor, dengan sistem nebeng. Tapi enggak selalu nebeng for free, pemilik kendaraan dibolehkan meminta imbalan, misal dalam bentuk uang tol, patungan bensin. “Dipungut bayaran”, juga kan walaupun kecil atau bentuknya tukar barang/barter?

I Stand for Ojek (Online and Old-School)
Seperti sudah ditulis di atas, motor roda dua tidak masuk kategori kendaraan umum angkutan orang non trayek. Ada kekosongan hukum karena bukan dilarang, tapi tidak disebutkan. Sama halnya keberadaan pembantu rumah tangga sebelum Permenakernya keluar, bukan dilarang tapi hanya tidak disebutkan di aturan manapun. Bedanya, Kementerian Tenaga Kerja cukup berbesar hati dan peka terhadap kebutuhan masyarakat. Alih-alih melarang sesuatu yang “tidak ada hukumnya” Kemenaker berusaha mengakomodir sedemikian rupa agar PRT bisa tetap bekerja secara legal, aman dan nyaman sehingga para ibu tidak perlu pusing merasa kehilangan tenaga untuk membantu di rumah (kalau Kemenaker meng”haram”kan PRT). Walaupun masih ada kekurangan, tapi penerbitan permenaker PRT harus diapresiasi.

Bagaimana dengan ojek (online dan konvensional) dan tanggapan Kemenhub?

Yang saya pelajari di bangku kuliah melalui sebuah mata kuliah berjudul Teori Hukum Pembangunan, Prof. Mochtar Kusumaatmadja mempunyai pendapat bahwa hukum harus dapat menjadi sarana pembaharuan bagi masyarakat. Yang saya tangkap dari teori guru besar Fakultas Hukum Unpad tersebut adalah: hukum harus “mengerti” kondisi masyarakat. Harus peka. Harus melihat kebutuhan, keresahan dan keinginan masyarakat. Bahkan dikatakan, untuk pembaharuan tersebut hukum harus menjadi panglima, artinya apa? Hukum harus berada some steps ahead dari keadaan masyarakat pada saat itu. Berpikir ke depan. Futuristik. Bukan ketinggalan di belakang, apalagi menolak mengakomodir perubahan. Saya rasa UU ITE merupakan suatu produk hukum bisa jadi contoh hukum yang mengakomodir perubahan.

Apalagi fenomena ojek sudah ada sejak lama. PP 74/2014 diterbikan di tahun 2014 tapi kenapa tidak peka terhadap fenomena ojek konvensional? Kenapa saya tekankan disini ojek konvensional, karena Gojek, Blu-Jek dll hanya berbeda dari sisi cara menjual jasa saja, tapi barangnya, objeknya sama, yaitu kendaraan umum orang beroda dua. Saya kira, semua orang di pemerintahan, terutama Kemenhub, tahu betul adanya ojek dan saya jamin 70% pegawai Kemenhub pernah pakai jasa ojek. Apakah pada saat itu Kemenhub mengirimkan surat ke Polri meminta penertiban ojek konvensional? Apakah itu menjadikan pangkalan-pangkalan ojek konvesional sebagai target razia polisi atau Satpol PP? Sebelum ada Gojek, Grabike dll, ojek konvensional bertebaran di depan Stasiun Palmerah dan dijaga Polantas. Bukan diusir, tapi Polantas hanya menjaga supaya ojek tidak terlalu mangkal ke tengah jalan. Tidak dilarang, dirazia atau ditahan.

Andai saja Kemenhub bersedia menerima kenyataan kalau ojek sudah sejak lama jadi angkutan umum dan mengakomodir melalui peraturan perundang-undangan, urusan keabsahan usaha Gojek bisa sedikit terurai dari yang semula riwet kayak benang kusut. Gojek bisa dikategorikan sebagai perusahaan angkutan umum, misal. Yang penting, barangnya (ojek) dulu diatur.

Akhirnya, saya jadi menyimpulkan kalau Kemenhub enggan mencoba mengakomodir perubahan masyarakat. Entah repot, entah tidak sempat, atau… ada tekanan pengusaha atau organisasi pengusaha yang terancam dengan perubahan pola transportasi umum masyarakat ini?

Saya dan pengguna jasa transportasi umum lainnya, sudah cukup capek dengan pilihan transportasi umum yang terbatas, padahal kebutuhan terhadapnya sangat tinggi. Bahkan bukan hanya terbatas, tapi juga tidak aman. Metromini dan Kopaja yang ugal-ugalan, halte yang minim fasilitas, terminal yang seram, KRL penuh sesak dengan keterlambatan jadwal yang seolah jadi rutinitas, angkot yang lebih banyak ngetemnya, dan ketidaknyamanan lain yang masih saja aja di usia Indonesia yang sudah 70 tahun ini. Apa salahnya melegalkan alternatif transportasi umum lain selain yang sudah ditetapkan dalam peraturan?

Oh iya, kabar sedikit melegakan datang dari teman saya yang wartawan. Katanya, sejauh ini Polri masih meninjau aspek kebutuhan masyarakat dan konflik ojek online dengan ojek konvensional, sebelum betul-betul menindak ojek online. So, mungkin para Pak Polisi kali ini betul-betul melakukan pengayoman terhadap masyarakat.

Regards,
Tita