Kamis, 21 Juli 2016

Short Story: Mariana

Sekarang.

Di luar hanya hujan. Dan suara ribut klakson mobil-mobil yang seperti tak sabar untuk sampai tujuan. Setiakah suamimu di rumah? Hingga tak ingin rugi waktu barang dua menit pun? Aku menatap wajahku sendiri yang penuh sisa-sisa riasan dan terpampang kuyu pada kaca spion tengah di dalam mobil. Tak cantik. Ada sepasang lingkaran hitam membayangi dua mataku. Kemurungan semakin terlihat dari dua bola mata yang sama sekali tak berbinar. Siapapun yang melihat dapat dengan mudah mengambil kesimpulan akan dirku: aku tidak bahagia.

Jalanan di depan taman makam Tanah Kusir memang selalu megantri pada Jumat malam, apalagi di tengah cuaca hujan seperti ini. Entah ingin kemana beratus kendaraan bermesin tenaga kuda ini. Pulang menemui keluarganya di rumah, atau? Ah. Taik! Makiku. Memaki siapa? Enggak tahu. Kalau saja sosok laki-laki setinggi 182 cm itu duduk di samping kursi kemudiku, sudah pasti ia yang kumaki. Kutampar kalau perlu. Atau kupukul? Kebetulan stik softball di bawah kursiku belum pernah digunakan. Mungkin wajahnya bisa jadi sasaran empuk yang pertama. Ah.

Tik. Tik. Tik.

Aku menatap kosong pada kedua tanganku yang bertopang pada kemudi mobil. Lama. Dan kenapa mataku harus terpaku pada benda kecil berbentuk lingkaran yang melingkar manja di jari manis tangan kananku? Benda kecil berwarna silver. Dengan satu berlian putih cantik persis di bagian tengahnya. Bertahun-tahun aku berjuang demi ini. Bertahun-tahun kututup mata hatiku untuk hal lain. Hanya ini yang kuinginkan. Sampai nanti aku tersengal-sengal menikmati dicabutnya nyawa.


Lima tahun yang lalu.

”Aku tidak punya siapa-siapa selain kamu.” Ucap Mariana disela tangisnya. Ayah ibunya pergi. Awalnya hanya ingin pergi umrah untuk merayakan pernikahan perak. Tapi rupanya mereka enggan kembali. Dua hari Mariana menunggu untuk menatap wajah beku ayah ibunya.

”Aku tidak akan kemana-mana. Tidak akan.” Reza memeluknya erat. Kekasihnya betul-betul sendirian sekarang. Mariana betul, hanya dirinya yang ia punya.

Dua minggu kemudian, Reza datang pada suatu pagi yang tanggung. Dengan kaos putih, celana pendek berbahan coduroy warna coklat tua dan tak lupa sepasang sandal jepit hitam polos kegemarannya. Mariana tercenung sebentar. Tidak ada kabar. Dan ini sangat bukan Reza.

”Aku sedang menyiram tanaman.” Ujar Mariana. ”Belum mandi.”

”Ah. Sudah berapa kali kamu tidak mandi ketika bersamaku. Tidak pernah bau.” Reza mengerling genit. Meledek. Mariana tertawa kecil.

”Ada apa? Aku pun tidak membuat sarapan.”

”Oh. Aku sudah kenyang. Ibuku yang rajin, tidak pemalas sepertimu, sudah menghidangkan sarapan paket nasi uduk lengkap di meja sejak subuh.” Mariana tergelak.

”Masuklah.”

”Tidak.”

”Lho?”

”Kemarilah.” Mengernyitkan dahi karena bingung, Marina melompati tanaman pendek tanpa bunga yang menjadi penyekat antara halaman rumah dan trotoar di depannya.

”Matikan dulu selangnya.” Reza meraih tangan Mariana, mengambil selang air yang sedari tadi dikepalnya. Airnya masih mengalir. Ah. Keran air terlalu jauh.

”Takut kusiram?”

”Iya. Nanti aku makin gemuk dan subur.” Mariana tergelak lagi.

”Ada apa, sih?”

”Nggak ada apa-apa.” Reza memainkan air yang mengalir lemas dari selang dalam genggamannya.

”Hey. Apa?” Mariana memegang pipi kekasih tiga tahunnya itu dengan kedua telapak tangannya. ”Tell me.”

”Nggak. Aku cuma...” Reza berhenti sebentar. Matanya bergerak-gerak mencoba mencari keyakinan dalam mata Mariana. ”ingin menikahimu.”


Sekarang.

Bayangan jalanan menjadi buram. Memperparah cacat astigmatisma pada kedua mataku. Hanya cahaya oranye-merah berebutan memasuki retina tanpa aku tahu persis itu apa. Belum lagi rasanya panas. Panas sekali disekitar mata dan telinga. Rasanya seperti ketel yang airnya sudah mendidih dan berteriak-teriak minta diangkat. Panas. Aku tak tahan.


Beberapa menit yang lalu.

”Istrimu tidak mencari?” perempuan dua puluh satu tahun berwajah teramat manis bergelayut manja pada pundak kiriku. Aku suka ketika dia bermanja. Ketika dia memainkan jemarinya pada bagian dalam lenganku sambil menonton serial TV favorit kami. Ketika suara riangnya tidak berhenti menceritakan kegiatannya sehari-hari walaupun tidak pernah kutanya, sepertinya. Aku selalu merasakan ditulari semangat dan jiwa muda dengan apapun yang dilakukannya. Apapun, yang sudah lama tidak dilakukan Mariana.

Mariana.

”Tidak.” Ya. Singkat saja. Aku enggan bicarakan dia. Sudahlah, jangan tanya.”

”Siap, Jenderal!” si manis mengucapkannya dengan kenes dengan kedua mata berbinar riang. Aku gemas.


Menulis pesan singkat tidak pernah kurasakan menjadi seberat dan sesulit ini. Aku hanya ingin sampaikan beberapa kata. Menelepon? Tak sudi aku mendengar suaranya. Apalagi alasan-alasannya. Aku tak perlu alasan. Mataku makin memanas dan mungkin bisa terbakar lalu menghilang jadi abu kalau masih harus mendengar semua justifikasinya. Basi.

”Aku sudah tahu.”

Hanya itu yang ingin kukatakan. Tidak banyak. Tidak ada pertanyaan. Membayangkan pertanyaannya saja sudah mual, apalagi harus menanyakannya. Aku memberinya hidup, tapi dia memberikan sepenuh hatinya pun tidak. Bagiku, dia tak pantas menyampaikan pembelaan.


Interaksi seksual kami tertunda. Suara pesan melalui WhatsApp bukan datang dari siapapun kecuali dia.

”Sebentar, aku perlu melihatnya.”

”Katamu tak perlu kita bahas.” Wajah mungilnya cemberut. Aku meremas pipi kanannya pelan.

”Sebentar, ya. Aku toh akan dua hari disini.”

”Oke.” Tidak ada binar puas dalam matanya.

Harusnya aku bersiap dengan semprotan asmaku ketika membuka pesan yang baru dikirim untukku. Selesai mataku menjelajah sampai titik, saat itu juga aku merasa kerongkonganku menyempit dan paru-paruku mengecil. Sulit sekali mendapat oksigen. Kupukul dadaku keras-keras sampai terbatuk. Si manis tampak panik. Dia langsung berlari ke arah tempat aku menyimpan tas dan menumpahkan seluruh isinya begitu saja ke lantai. Sementara aku mencoba berbaring dan membuka kancing kemeja satu persatu. Sulit. Si manis kemudian datang dengan sebotol obat asma dan membantu membuka kancing baju.

”Kenapa, mas?” Suaranya panik. Ingin menangis. Aku tak bisa menjawab. Tapi si manis langsung diam begitu ia mengambil ponselku dan melihat ke layarnya.

”Mas...”

Dadaku makin sakit. Aku rasanya mau mati. Apalagi dia?


Satu bulan yang lalu.

Tell me her name I want to know/the way she looks and where you go/I need to see her face I need to understand/why you and I come to an end…

Lina datang padaku sore itu. Ingin bertemu denganku dan berbicara, katanya. Aku baru akan masuk ke salah satu kedai kopi terkemuka, tempat kami janjian, sebelum akhirnya ditegur Lina yang juga baru sampai.

”Di mobil Mbak saja, nggak apa-apa ya?

”Kenapa?” Tanyaku. Heran. Mulai terbayang adegan transaksi narkotika dalan film-film detektif koleksi Abang. Ya, semenjak menikah, aku memanggil Reza dengan “Abang”, panggilan yang juga digunakan seluruh keluarganya.

”Saya buru-buru. Nggak apa-apa kan, Mbak?” Aku manut saja. Toh memang tidak ada masalah bagiku.

Sepanjang jalan dari lobi menuju tempat parkir yang memakan waktu sampai 10 menit tidak dihiasi percakapan apapun. Lina hanya diam. Aku pun jadi canggung. Ini sangat aneh. Dalam keramaian pusat perbelanjaan, kami hanya berjalan bersisian dalam diam. Tapi aku tak punya firasat. Tidak pernah. Kami memang tidak pernah begitu akrab sebelumnya, walaupun Lina sudah lama jadi sekretaris Abang.

“Bukalah.” Lina menyodorkan agendanya ke pangkuanku. Agenda kerjanya. Tempat ia mencatat semua hal yang berhubungan dengan pekerjaannya, melayani dan meladeni kesibukan Abang. Kami sudah berada di dalam mobilku. Setelah beberapa detik yang canggung, Lina memulai pembicaraan dengan menyodorkan sebuah agenda.

”Apa maksudnya?”

”Bukalah dulu. Lihat catatan tanggal 30 Mei kemarin.” Aku membuka agenda dengan pelan. Mataku masih menatap Lina, mencoba mengerti apa maksudnya. Tak sabar, Lina membantuku membalik halaman demi halaman, sampai akhirnya dia berhenti.

”Coba Mbak cari tanggal 30 Mei.” Jemariku menelusuri halaman itu. Menyentuh angka-angka di dalamnya. Dua puluh tujuh, dua puluh delapan, dua puluh sembilan, tiga puluh...

”Lina, Abang tidak ke kantor?” Ini baru kejutan. Untuk apa pada 30 Mei ia tidak ke kantor padahal aku yang membuatkan sarapan dan menyiapkan bekal makan siang untuknya? Bahkan aku yang memilihkan celana dalam, kaus dalam, kaus kaki, kemeja, celana dan dasi yang akan dia pakai. Dia bercerita soal rapat-rapat panjang yang akan dijalaninya hari itu sambil aku mengguntingi kuku-kuku kaki dan tangannya.

”Tidak.” Lina menjadi pucat. ”Coba Mbak lihat lagi tanggal 3 Juni.”

”Apa-apaan ini?” Aku benar-benar bingung. Kemana Abang?

”Bapak tidak ke kantor, Mbak. Dan membatalkan perjalanannya ke Singapura. Harusnya Bapak ada rapat disana, tapi tidak jadi.”

”Lalu kemana dia, Lina? Dua hari dia nggak pulang saat itu!”

”Saya enggak tahu, Mbak. Sumpah. Saya nggak tahu.” Lina hampir menangis.

Tanganku gemetar memegang agenda Lina. Tidak mungkin Abang berbohong. Dan buat apa?

Suami berbohong apa lagi kalau bukan karena dia selingkuh? Terngiang bait dalam salah satu artikel majalah wanita langgananku.

”Ini yang terakhir, Mbak.” Lina menyodorkan tagihan ponsel Abang yang dibayarkan kantor. Ada banyak nomor yang sama yang diberi tanda dengan warna kuning terang. ”Ketika saya coba telepon, yang angkat perempuan.”

Aku sangat yakin saat itu rasanya bangunan tujuh lantai di atasku jatuh menimpa tubuhku, membuatku tidak bisa bergerak. Dan merasa mati.


Tell me again I want to hear/who broke my faith in all these years/who lays with you at night when I’m here all alone/remembering when I was your own…

081224452447
Calling

Halo?
Klik.
Tubuhku merosot ke lantai berlapis kayu dalam kamar. Sampai esok pagi, aku terbangun dalam posisi terduduk memeluk lutut. Abang tidak pulang.

Lina benar. Pemilik nomornya adalah seorang perempuan.

Sayang, aku ada roadshow customer di Denpasar. Pulang besok malam, ya. I’ve told you, kan? Love you.


Sekarang.

Tiiiiin!

Aku kembali terjaga setelah beberapa menit tubuhku seperti melayang-layang kembali ke hari-hari kemarin. Di depanku jalanan sudah kosong sampai 4 meter jaraknya dengan mobil di depanku. Rupanya antrian kuda besi sudah mulai berjalan dan penunggang yang antri di belakangku kehilangan kesabarannya.

Tiiiin!

Aku menurunkan rem tangan dan menginjak pedal gas pelan.

Banyak hal yang tidak pernah aku dan Abang miliki. Waktu. Anak. Kencan. Abang selalu sibuk, begitu juga dengan aku. Masih bagus kami sempat sarapan bersama. Karena di waktu makan yang lain, aku tidak mungkin menuntutnya makan di satu meja bersama. Mungkin inilah kenapa Tuhan tidak mempercayakan keturunan pada kami.

Ah, bukan. Kami memang tidak pernah terlalu berusaha. Aku malas merayunya lagi seperti dulu di masa-masa awal kami menikah. Abang juga begitu. Dan kami membiarkan ini terus terjadi. Satu hari, satu minggu, satu tahun. Lima tahun.


Sekarang.

Ya. Aku memang bekerja gila-gilaan demi dia. Istriku. Mariana.

Ketika menikahinya, dia seorang diri di dunia. Kami bahkan tidak berpesta. Perayaan kecil saja, cukup keluarga dan teman-teman dekat. Yang penting sah menurut agama dan dicatatkan oleh negara. Aku sangat mencintainya. Waktu itu. Walaupun aku tidak tahu apa bedanya cinta dan rasa ingin melindungi. Rasa berhutang budi.

Sejak hari pertama menjadi suaminya, aku tahu, aku butuh banyak tenaga untuk membuat dia bahagia. Istriku bukan dari keluarga sederhana seperti aku. Dia dapat melakukan apapun yang diinginkannya. Membeli apapun yang menarik perhatiannya. Berlibur bagi istriku bukanlah barang mewah.

Aku?

Keluargaku sederhana. Pernah pada satu masa, kami hanya makan tempe dan tahu selama berbulan-bulan. Ada satu waktu dimana ibuku berhutang kesana kemari untuk membayar uang sekolahku.

Aku tidak mungkin menariknya untuk hidup serba pas-pasan.

Untuk itu, aku bekerja keras. Terlalu keras. Sampai aku tahu, istriku kurang bahagia. Tapi aku diam saja. Aku sudah terlalu lelah dengan semua rutinitas. Dia pun diam.

Kami mulai tidak pernah bicara, kecuali ‘mau sarapan apa?’

Entah siapa yang kehilangan cinta terlebih dulu.


Kemarin.

“Aku capek. Dari awal menikah, kamu pikir untuk siapa aku kerja? Untuk siapa aku lembur setiap hari? Mengejar karir? Untuk kamu. Tapi kamu terlalu banyak meminta…”

Aku diam. Abang membalikkan badannya. Kembali aku disapa murung punggungnya. Ini sudah hari kesekian Abang tidak mau menghadapkan wajahnya padaku ketika tidur. Dia marah. Menurutnya, aku banyak menuntut.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya menangis. Dan Abang tetap diam. Aku ingat ayah dan ibu. Mereka yang tidak pernah membuat aku sedih seperti ini. Tidak pernah menuduhku banyak meminta. Aku merasa sangat sendirian.

“Kalau aku meminta kamu untuk setia saja, apakah itu berlebihan?”

Abang tetap diam.

Aku beranjak dari tempat tidur. Tidak sanggup seranjang lagi dengannya yang berhati terlalu dingin.


Sekarang.

Aku menunggu Abang menelepon. Setelah aku mengirimnya pesan, masihkah dia bersikap seolah tidak ada apa-apa? Kulirik ponsel yang tergeletak di kursi sebelah kemudi setiap menit. Tidak ada bunyi panggilan, tidak ada lampu menyala.

Buat apa?

Pandanganku mulai kabur. Buram. Berkabut. Aku tidak bisa melihat dengan jelas. Mobil-mobil disekelilingku berebut untuk berada di depanku. Mereka hanya terlihat seperti segerombolan kunang-kunang di tengah jalan bebas hambatan ini.

Kriing.

Abang. Mungkin.

Aku meraih ponselku. Tidak tahu siapa yang menelepon walaupun aku berharap itu Abang.

“Sayang..”

Benar Abang. Suaranya kecil sekali. Aku mendengar nada sedih di dalam pelan suaranya. Langsung saja mataku dipenuhi air mata. Seluruh wajahku rasanya panas. Aku tidak bisa melihat.

“Aku …”

Tiiittt. Nada terputus. Dan semua menjadi gelap.



I’ll let you go/I’ll let you fly/why do I keep on asking why?

Love,
Tita 21072016

Rabu, 20 Juli 2016

Daydreaming: An Idea for AADC 2

----------
Menurut saya, AADC2 pada intinya berisi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin tercetus di kepala penonton saat atau setelah menonton AADC. Jawaban yang bikin Cinta penasaran dan diamini penonton (perempuan?). Soal gimana Rangga di New York, gimana perasaan Rangga ke Cinta, ada apa sih dengan keluarganya Rangga dan apa sih sebenernya yang dipengenin Rangga atas hubungannya sama Cinta? Jadi, mungkin judul sekuelnya lebih tepat ada apa dengan Rangga? Hahaha. Enggak lah, kesannya lakik cheesy banget. Kalau perempuan cheesy kan jamak ya.

Asli deh, banyak banget opini saya soal film ini, saya sampai bingung mau start over dari yang mana.

Mungkin mulai dari gambar ya. Seperti biasa, Riri Riza memberikan gambar yang indah dan rasional dengan lokasi-lokasi syuting yang bisa ditelurusi dan ditangkap sisi cantiknya serta "kenormalan" penampilan Cinta dan Rangga (juga cast lainnya). Wardrobe-nya juga juarak (dengan gaya pengucapan a la Milly). Apalagi konon banyak memakai produk-produk kerajinan tangan dari seniman tekstil lokal. Cool! Saya cuma agak terganggu dengan close up pada saat Cinta dan Rangga bertemu untuk pertama kalinya sejak kandasnya hubungan mereka via secarik surat dari Rangga yang saat itu masih di New York. Tapi soal close up ini antara ganggu karena wajah Cinta jadi terlalu gede di layar bioskop atau ekspresi dan intonasi Cinta yang menurut saya "anu". Saya mengharapkan perjumpaan yang lebih feminin, dimana Cinta bisa menunjukkan sisi patah hatinya instead of sisi dendam sama Rangga dan ekspresi sok "hey-i-moved-on"-nya walaupun teman saya berpendapat lain, menurut dia itulah Cinta, dengan segala kegengsiannya, jadi nggak boleh ada air mata. Yah, bebas aja sih. Cuma, subjectively, momen itu kurang saya sukai terutama dari sisi pengambilan gambar close up dan intonasi suara Cinta.

Kemudian saya mau sok-sokan bahas akting, walaupun jelas saya cuma bisa komentar sekedarnya dalam kapasitas sebagai penonton AADC sejak 2002. Seperti gambarnya, akting pemain pendukungnya menurut saya pas. Hebatnya, menonton AADC2 berhasil menarik memori saya ke AADC karena semua karakternya masih berada dalam root yang sama. Bayangkan kalian punya temen deket dan setelah berbelas tahun mereka masih jadi orang yang sama secara karakter, walaupun mungkin ada yang jadi doyan dandan, jadi ibu-ibu, jadi wanita karir, atau nggak nikah. Itulah yang terjadi sama geng Cinta. Bahkan, openingnya pun langsung mengingatkan saya dengan AADC gara-gara lagaknya Cinta yang yaaa masih a la ketua geng dan gitu, deh. Hahahaha.

Kalau soal alur cerita dan tempo menurut saya masih asik dengan tempo yang normal. Nggak grasa grusu dan berkesan mau deliver semua hal yang terjadi bertahun-tahun dalam satu malam. Jadi saya sebagai penonton nggak ngerasa "kekenyangan" sama fakta yang terjadi selama Cinta nggak komunikasi lagi dengan Rangga. Semuanya diberikan pelan-pelan, melalui dialog yang tersirat jadi saya sebagai penonton bisa menyimpulkan sendiri gimana sih hidup Rangga pasca Cinta dan sebaliknya.

Karena kombinasi alur yang enak dan akting yang pas tadi, ke-anu-an yang saya sebutkan di paragraf kedua di atas, berhasil dinetralisir dengan tamparan Cinta ke Rangga di scene berikutnya. Itu seolah menegaskan kalau perasaan Cinta ke Rangga at that moment ya cuma kemarahan. Patah hatinya udah entah kapan tau. Dan di scene ini juga, kebangun suasana "normal" antara Cinta dan Rangga. Saya jadi ngerasa kayak nonton film dokumenter, bukan drama hasil akting pemainnya. I love it!

Yes. Kemistrinya masih ada--
----------

Sebetulnya tulisan di atas saya draft 12 jam setelah nonton AADC 2 di bioskop. Tapi setelah beberapa minggu berlalu, saya menemukan sebuah ide di kepala saya soal film ini. Berawal dari pikiran saya yang menganggap problem Cinta pada AADC 2 terlalu klise. Sudah move on dari Rangga, punya pacar baru dan bahkan akan menikah. Tapi kemudian Rangga muncul, ada flashback dan Cinta tiba-tiba sadar kalau tunangannya bukanlah sosok yang dirindukan. Mungkin seperti Rangga pada mantan pacarnya yang disampaikan melalui dialog manis: saya pikir dia kamu, tapi ternyata bukan. Kondisi ini menunjukkan satu hal paten: baik Rangga maupun Cinta sama-sama nggak move on. Buktinya, Rangga nggak berhasil punya hubungan dengan perempuan lain dan Cinta bahkan meninggalkan tunangannya.

Di sisi Rangga, cerita cintanya kepada Cinta masih terdengar manis dan gentle. Bukankah konon lelaki ketika telah menetapkan hati sulit untuk berpaling? Tapi, di sisi Cinta menurut saya efeknya jadi bikin saya ngerasa Cinta childish banget. She must be 30 something dan masak iya demi masa lalu dia bisa membatalkan semua rencana masa depannya yang sudah almost fixed dengan satu orang? Apalagi karakter Cinta kan memang well-organized person banget, yah walaupun pada akhirnya memang terbukti cuma Rangga yang bisa bikin chaos dunia Cinta.

But somehow, saya punya ide yang lebih menarik..

----------

Saya membayangkan Cinta masa kuliah yang patah hati berat. Berusaha meninggalkan segala sesuatu yang mengingatkan pada Rangga, salah satunya adalah sisi dirinya sendiri yang mencintai sastra, baik dalam bentuk puisi maupun drama. Ingat nggak sih, kalau sebagai perempuan mungkin kita pernah suka sepakbola karena kita jatuh cinta sama penggila sepak bola tapi ketika putus, maka musnah sudah kegemaran pada sepakbola? Bukankah hal yang sama terjadi pada Cinta? Cinta memang anak mading sewaktu SMA, tapi bukan tipe yang menyukai sastra seperti Rangga. Yang mengenalkan Cinta pada Sjumandjaya adalah Rangga dan Cinta kemudian kesengsem. Disinilah mixed feeling, apakah Cinta betul-betul menyukai sastra atau Cinta hanya menyukai Rangga dan kemudian mengamini semua kegemaran Rangga? Nah. Twist ini yang seharusnya dipakai ketika Cinta patah hati dan tumbuh dewasa.

Gambaran Cinta pada iklan Line sebetulnya sudah pas menurut saya. Cinta dewasa yang kerja di majalah. Dunianya bukan lagi soal sastra idealis. Dunianya materialistis. Kerja di majalah fashion, Cinta menjadi sosok yang fashionable, dekat dengan kalangan jetset, punya karir dan jaringan yang menjanjikan dan lupa siapa itu Sjumandjaya. Hidupnya berputar dari satu meeting ke meeting lain, dari satu fashion show ke lainnya, dan berlompatan di antara grand launching butik eksklusif. Cinta sukses melupakan dunia percintaannya dan memiliki karir gemilang. Hal yang dibanggakannya karena lahir dari kerja kerasnya sendiri. Buat apa punya pasangan tetap kalau setiap hari selalu ada undangan makan malam dan keesokan hari setia menanti setumpuk pekerjaan? Bagi Cinta, nggak ada waktu buat cinta.

Sampai suatu hari, datang Rangga (lagi).

Apa Cinta kembali jatuh hati? Iyalah. Tapi... terlalu banyak "tapi". Siapa sih Rangga? Apa pekerjaannya? Apakah dia akan tinggal di Indonesia? Jika nggak, lalu mereka harus mengalami sekali lagi LDR dan berakhir... basi? Atau Cinta harus ke New York? No, Rangga lah yang harus pindah ke Indonesia. Kenapa harus saya? Rangga yang harusnya ninggalin coffee shopnya dan balik ke Indonesia, bukan saya yang tinggalin karir saya dan start over something uncertain far away di New York.

That twists! Twist yang bakal dipahami betul oleh para perempuan single ibukota yang sudah mapan dengan pekerjaannya. Oke, dia love of your life, tapi semakin kita tua, cinta jadi nggak sesimpel dua perasaan yang saling menyambut, tapi merembet ke urusan lain. Kalau cuma sekedar Cinta yang disambangi Rangga kembali disaat dia sudah punya pasangan, itu sih problema cinta standar yang anak SMP juga paham. Menurut saya walaupun dibuat twist yang nggak pro-ABG, film ini tetap bakal jualan kok, karena AADC, Cinta dan Rangga sudah menjadi sebuah brand ali-alih film belaka. Kalau nggak jadi brand, nggak bakal Line pakai untuk iklannya.

Gimana?

Love,
Tita

Working Mom Series: Why Am I Working?

Saya ibu bekerja. Bekerja di kantor, jadi pegawai orang lain, punya jam kerja tetap dan jatah cuti tahunan. Walaupun peraturan jam kerja kantor tidak terlalu ketat, dalam arti saya masih bisa datang terlambat atau izin di tengah weekdays karena anak tetiba sakit, tetap saja jam kerja saya tidak bisa dibilang fleksibel. Setiap hari kerja, dapat dipastikan saya harus meninggalkan rumah untuk ke kantor paling telat pukul 8 pagi dan sampai ke rumah paling cepat pukul setengah tujuh malam. Saya nggak punya kuasa untuk mengatur sendiri jam kerja saya.

Selama saya kerja, anak saya diasuh oleh asisten rumah tangga yang sudah mengasuh anak saya sejak usianya 4 bulan. Saya termasuk beruntung, karena tinggal berdekatan dengan orangtua dan mertua, sehingga di sore hari, ketika urusan masing-masing orangtua dan mertua sudah selesai, biasanya anak saya akan bermain bersama kakek neneknya sampai saya pulang ke rumah. Paling nggak, kehidupan anak saya nggak melulu sama mbaknya, ada keluarga yang juga menjaga dan mengajak bermain sementara saya (dan suami, tentunya) bekerja di luar rumah.

Pernah sih ada yang nanya secara langsung, kenapa saya harus kerja. Asal tahu saja, saya pun awalnya nggak yakin, buat apa sih saya kerja? Bekerja untuk mendapatkan uang adalah hal yang pasti. Tapi masa iya semua hal kita lakukan hanya semata-mata demi uang? Masak iya saya sematerialistis itu, sampai-sampai saya tega titip anak ke mbaknya hanya demi uang? Apa iya waktu bersama anak saya tidak lebih berharga daripada harta?

Bukan, bukan. Itu bukan judgement orang lain. Itu pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan buat diri saya sendiri, ketika saya masih ragu dengan alasan kenapa saya bekerja. Sebagai manusia, saya pengennya melakukan suatu hal yang telah saya pikirkan dengan matang, baik tujuan maupun konsekuensinya, simply supaya saya nggak gampang goyang sama situasi atau opini orang lain. Males aja kan kalau jadi plin plan di tengah jalan lalu mengambil keputusan gegabah dan menyesal di kemudian hari? Iya, saya meminimalisir penyesalan.

Ada masa dimana saya pengen banget stop kerja. Entah itu karena masalah anak atau masalah teknis semata, seperti jalanan ke kantor yang makin macet atau badan yang lebih gampang capek. Pengennya di rumah aja, urus rumah dan anak, nunggu suami pulang, gak pusing mikirin pulang kerja naik apa atau kehujanan di tengah jalan. Tapi pernah juga seminggu full di rumah, ternyata badan juga nggak lebih rileks. Kerjaan di rumah lebih banyak rupanya, apalagi untuk manusia tipe gak bisa kotor model saya. Yang ada, seharian sibuk ngelap, ngepel, nyapu, beberes. Akhir minggu malah minta pijet, lebih-lebih daripada seminggu full kerja di kantor.

Some mothers are happy mother because they achieved something outside their motherhood-
(Gambar dari: http://mayaclinic.in/blog/tag/working-mom/)

Seiring berjalannya waktu dan semakin baiknya saya mengenal diri saya sendiri, saya mulai bisa memahami kenapa saya memilih bekerja. Kenapa saya tahan dengan keputusan ini sampai hari ini. Kali ini saya mau ceritakan salah satu faktor dari dalam diri saya yang membuat saya bertahan berangkat pagi naik komuter ke tengah Jakarta dan pulang ke peraduan Tangerang Selatan di malam hari selama 5 hari dalam seminggu.

----------
Sedikit flash back ke masa sekolah saya, tepatnya SMP. Ketika mulai kelasi 2 SMP, mama saya memberikan saya uang jajan dengan sistem bulanan. Saya diminta menghitung berapa kebutuhan saya selama sebulan dan jumlah tersebut yang akan diberikan mama saya sebagai uang jajan bulanan di setiap awal bulan. Di luar uang jajan bulanan, saya tidak dibolehkan minta uang jajan lagi. Uang jajan lho ya, kalau keperluan sekolah beda lagi. Kalau saya ingin ada kenaikan uang jajan, maka saya harus buat laporan kenapa uang jajan saya kurang dan perlu dinaikkan. Apakah karena ongkos angkutan umum naik? Atau karena saya ada les atau kelas tambahan sehingga butuh uang makan lebih banyak. Hal ini berlangsung sampai saya selesai kuliah. Kurang lebih 9 tahunan lah ya.

Dari kebiasaan itu, saya ternyata menjadi orang yang nggak biasa minta uang dan menikmati mempunyai kuasa atas pengeluaran saya sendiri. Gimana saya mau minta-minta uang, lha mama saya nggak bakal kasih, kecuali untuk alasan sekolah dan saya kurang nekad untuk mark up keperluan sekolah saya. Jadi, saya harus berpuas diri dengan uang bulanan saya dan merasa sangaaat senang kalau tiba-tiba mama saya kasih bonus uang jajan tambahan. Di sisi lain, uang jajan bulanan memberikan saya kebebasan untuk menggunakan uang tersebut sesuka hati saya. Nggak ada pertanyaan "buat apa?", pertanyaan yang kayaknya wajib diajukan orangtua kalau anaknya minta uang. Saya bebas pakai uang untuk nonton bioskop, beli kuteks, creambath di salon daaaan lainnyaaa. Yah, paling konsekuensinya jadi super irit dengan bawa bekal makan siang dari rumah,

Rasa nyaman memiliki uang sendiri ternyata berlanjut sampai menikah. Saya selalu enggan minta uang ke suami untuk keperluan saya, misal beli eyeliner atau tas atau ngasih uang ke adik-adik. Kadang karena nggak tega, atau karena males dikomentarin kenapa barang belanjaan saya mahal atau nggak penting. Saya hanya nyaman minta minta uang ke suami untuk keperluan rumah dan anak, karena ya menurut saya itu memang tanggung jawab beliau kan? Dan kalau sampai suami kasih saya uang lebih dari yang dibutuhkan untuk keperluan rumah atau anak, saya jadi punya beban untuk membelanjakannya dengan wajar. Saya jadi ragu mau jajan Cha Time sering-sering atau makan siang mevvah sama wece-wece (kebetulan suami saya bukan tipe orang yang suka makan aneh-aneh di mal, beliau pecinta makanan tradisional dengan selera terbatas pada bakso, pempek, mi ayam dan kawan-kawannya).

Jadi, no wonder saya tahan menghadapi badai bekerja dan ngurus rumah serta anak-suami. Ternyata kebebasan finansial yang saya punya sekarang sudah berlangsung sejak lama. Saya nggak menyalahkan orangtua, ndak apa-apa. So far saya enjoy aja kok, meskipun jauh di lubuk hati punya cita-cita suatu saat bisa menghasilkan uang dari rumah. Bukan apa-apa, lama-lama aku capek menembus rimba Jakarta~

----------
Begitulah. Makanya saya miris sih kalau ada yang buat judgement asal-asalan soal keputusan seorang ibu untuk sambil bekerja atau full time hanya mengurus rumah dan keluarga. Setiap ibu punya pertimbangannya masing-masing dan terlalu kompleks kalau mau diteliti alasannya. Yang pasti ada pertimbangan berdasarkan faktor dari dalam dan luar diri masing-masing ibu. Dari mulai hal yang tampak sepele seperti saya misalnya (hanya masalah kebiasaan), sampai ke alasan yang memang penting dan mendasar.

Kalau kata mama saya, jadi manusia yang penting eling. Eling maksudnya bukan sekedar ingat dan tidak lupa, tapi juga nyadar. Jangan denial meluluk apalagi kalau urusannya sudah menyangkut keluarga. Dan yang nggak kalah pentingnya adalah memikirkan diri sendiri. Bukannya egois, tapi ibu juga manusia, punya passion, cita-cita atau kegemaran. Sebisa mungkin kita ini buibu punya kesempatan buat melakukan hal yang kita suka. Supaya mood tetap terjaga karena konon happy mom means happy family :)


Lots love,
Tita