Minggu, 20 Maret 2011

Couldn't Be More Happier

Hari ini kepala saya dipenuhi keheranan.

Seorang teman mempunyai seorang pacar. Orang yang baik dan menurut saya, mereka berhasil membuat masing-masing dari diri mereka bergerak menuju arah yang lebih baik. Terlebih buat teman saya, ya. Saya merasa dia mendapatkan orang yang bisa menuntunnya berjalan selain Bapak dan Abangnya. Dan bagi saya, tidak ada perempuan yang lebih beruntung dari perempuan yang mendapatkan pacar yang mampu memimpinnya.

Tapi seperti biasa, tidak semua hal di dunia berjalan mulus. Kita perlu mati dan masuk surga tampaknya, untuk menghilangkan semua kerikil kurang penting dalam hidup.

Apa kerikil mereka?

Perbedaan keyakinan.

Selama kurang lebih empat tahun saya mengenal teman saya ini, belum pernah saya menyaksikannya pacaran di depan mata saya. Baru kemarin malam. Dan saya melihat dia bahagia. Walaupun pembicaraan mereka kadang penuh perdebatan, tapi saya tahu, she couldn't be more happier (saya per-lebay tuh tata bahasanya hehehe). Sayangnya, mereka tidak berpikir untuk melanjutkan hubungan. Kenapa? Karena berbeda keyakinan.

Saya lalu heran.

Bukan heran sih, aduh apa ya nama perasaannya, tapi kurang lebih saya merasakan 'what would you ask for more?'. Laki-laki baik dihadirkan di depan mata. Sesuatu yang dimohonkan beribu perempuan di luar sana. Sesuatu yang kalau dijalani pun hanya akan membawa sedikit keburukan. Kontra argumen yang biasa digunakan dalam kasus seperti ini adalah mengenai betapa tidak logisnya hubungan untuk dijalani. Aish.

Bagi saya, hidup itu kemungkinan. Menjalani hidup berarti bersiap untuk segala macam kemungkinan. Saya pernah rasanya berada dalam posisi mirip, dimana secara logika, melanjutkan hubungan dengan problema tertentu berarti tidak memberikan keuntungan apa-apa untuk saya, hanya menghabiskan waktu saja. Tapi seiring berjalan waktu saya mencoba belajar. Bahwa Tuhan membiarkan manusia hidup dengan rumus manjur untuk menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang sifatnya kadang sangat tricky. Rumusnya: berusaha, berdoa, serahkan.

Hubungan berbeda keyakinan, menurut saya tricky. Di satu sisi, ingin mengedepankan perasaan diri sendiri, namun di sisi lain, kita ingin menjadi manusia yang mencintai Tuhan lebih dari apapun dan siapapun di dunia. Tapi buat saya, inilah baiknya Tuhan. Dia tidak memberikan kepastian. Dia membiarkan manusia memilih kemungkinan dan menjalaninya dengan Dia selalu berada di sisi manusia, mendampingi menjalani hari-hari menanggung konsekuensi atas dipilihnya suatu kemungkinan. Saya berpegang pada rumus diatas.

Saya akan memilih menjalani hubungan. Dengan rumus diatas. Bagi saya, biarlah bertahun-tahun lewat. Tidak akan terasa lama dan tidak mungkin sia-sia. Yang diperlukan hanya keluasan berpikiran dan kelapangan dada untuk menerima. Mengapa tidak menghadapi siang hari dengan positif, saling memberikan input baik bagi satu sama lain, lalu duduk bersimpuh dan memohon kepada Tuhan di malam hari, meminta petunjuk dari Sang Maha Baik. Hari-hari akan berlalu dengan sangat baik dan menyenangkan, dan pada akhirnya, akan tiba masa dimana semua pertanyaan dijawab, semua doa dikabulkan. Dan pada saat itu, berserahlah. Karena waktu berusaha sudah usai.

Karena menjalani kemungkinan tidak akan sia-sia dan menyerah di awal sudah tentu terlalu pengecut.

Dan logika? Tidakkah semua ilmu yang menggunakan logika kembali didasarkan pada nurani? Berhati-hatilah dengan logika. Bahkan hukum pidana pun lahir karena manusia mempunyai nurani.

Jika masih ada perasaan, majulah. Karena dalam hidup, yang penuh kemungkinan, belum tentu di masa depan kita diberi nikmat untuk merasakan rasa yang sama atau lebih besar dengan orang yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar